Liputan6.com, Jakarta - Kepala Departemen Hukum Bisnis dan Perpajakan Monash University John Bevacqua mengatakan, kepatuhan pajak merupakan hal penting dalam meningkatkan penerimaan negara.
"Kepatuhan jelas merupakan landasan dari sebagian besar tindakan, khususnya di bidang administrasi perpajakan," kata John dalam the Launching Event of the Indonesian Tax Center in Australia (INTACT AUS) yang diselenggarakan DJP, secara virtual, Jumat (12/7/2024).
Baca Juga
Kata Bevacqua, Pemerintah Australia sangat mendorong peningkatan kepatuhan pajak sukarela. Lantaran, hal itu akan meningkatkan kepercayaan antara otoritas pajak dengan wajib pajak.
Advertisement
"Di Australia kepatuhan sukarela terus didorong untuk meningkatkan hubungan saling percaya antara otoritas pajak dan wajib pajak," ujarnya.
Menurut dia, dengan adanya kepatuhan pajak maka Otoritas pajak memiliki wewenang secara tepat dan memadai untuk bisa memastikan mereka yang tidak secara sukarela mematuhi aturan akan dipaksa untuk patuh bayar pajak.
Oleh karena itu, Pemerintah Australia setiap tahunnya terus mendorong para wajib pajak agar melakukan hal yang benar sejak awal daripada membuat kesalahan atau menghilangkan pendapatan atau membayar jumlah pajak yang tepat, tidak lebih dan tidak kurang.
"Demikian untuk memastikan bahwa jika mereka berada di titik puncak melakukan kesalahan, maka mereka diberitahu tentang hal tersebut atau jika mereka mungkin akan melakukan kesalahan. mereka terdorong untuk memperbaiki keadaan dan diingatkan untuk memperbaiki laporannya," ujar dia.
Dia menilai, kepatuhan pajak seringkali menjadi masalah yang dialami setiap negara dalam meningkatkan penerimaan negaranya, termasuk Australia dan Indonesia.
"Jadi, inilah beberapa hal yang menurut saya merupakan permasalahan inti yang menjadi agenda utama saat ini dan sangat penting dalam lanskap perpajakan Australia dan menurut saya memunculkan peluang kolaborasi yang sangat luas dan beragam serta menarik," pungkasnya.
DJP Gandeng Kantor Pajak Australia demi Genjot Kepatuhan Pajak Kripto
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Indonesia dan Kantor Pajak Australia (ATO) menandatangani Nota Kesepahaman untuk pengaturan pertukaran informasi cryptocurrency pada 22 April 2024 di Kedutaan Besar Australia di Jakarta.
Pengaturan ini dirancang untuk meningkatkan deteksi aset yang mungkin memiliki kewajiban pajak di salah satu negara. Artinya, otoritas pajak dapat berbagi data dan informasi terkait aset kripto dengan lebih baik, serta bertukar pengetahuan untuk memastikan kepatuhan terhadap kewajiban perpajakan.
Direktur Perpajakan Internasional DJP, Mekar Satria Utama mengatakan MoU ini mencerminkan perlunya otoritas pajak untuk inovatif dan kolaboratif untuk mengimbangi perubahan global yang cepat dalam teknologi keuangan.
"Meskipun aset kripto relatif baru, kebutuhan untuk memastikan perpajakan yang adil tetap penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memberikan pendapatan bagi investasi publik yang penting di berbagai bidang seperti infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan,” kata Mekar, dikutip dari siaran pers pada situs kedutaan Australia di Jakarta, Kamis (25/4/2024).
Advertisement
Komitmen 2 Negara
Asisten Komisaris ATO, Belinda Darling menegaskan pengaturan tersebut didasarkan pada hubungan yang kuat antara DJP dan ATO.
"Kemitraan antara DJP dan ATO sudah berjalan hampir dua dekade dan kini fokus pada penguatan sistem perpajakan di kedua negara dan meningkatkan kolaborasi kita dalam menghadapi tantangan global yang kompleks,” ujar Belinda.
ATO dan DJP telah berkolaborasi dalam berbagai prioritas DJP, termasuk modernisasi dan digitalisasi layanan wajib pajak melalui pembentukan asisten pajak virtual, dan penerapan pajak pertambahan nilai atas barang dan jasa digital. ATO dan DJP terus bermitra dengan DJP terkait perpajakan internasional dan reformasi yang lebih luas.
Perjanjian terbaru ini menggarisbawahi komitmen bersama antara Indonesia dan Australia untuk beradaptasi dan berinovasi dalam menghadapi lanskap keuangan yang terus berkembang, memastikan kerangka perpajakan yang adil dan berkelanjutan di era digital.
Gawat! Penerimaan Pajak Indonesia Seret, Ini Buktinya
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi penerimaan pajak hingga Mei 2024 mencapai Rp760,38 triliun atau 38,23 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.
“Pajak kita hingga Mei telah terkumpul Rp760,38 triliun,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam paparan Konferensi Pers APBN Kita edisi Juni 2024, Kamis (27/6/2024).
Di sisi lain, bendahara negara ini menyebut penerimaan pajak pada Mei 2024 justru mengalami perlambatan jika dibandingkan dengan kinerja penerimaan pajak pada April 2024.
Pada April 2024 capaian kumulatif tercatat 31,38 persen, naik signifikan dari 19,81 persen pada Maret 2024. Sementara capaian kumulatif penerimaan pajak dari April ke Mei hanya naik sedikit yakni 7 persen.
Penyebab Perlambatan
Menkeu menyebut, perlambatan dipengaruhi oleh penerimaan bruto sejumlah kelompok pajak yang mengalami kontraksi. Misalnya, Pajak penghasilan (PPh) non migas terkontraksi sebesar 5,41 persen dengan realisasi sebesar Rp443,72 triliun atau hanya 41,73 persen dari target.
Adapun kontraksi tersebut disebabkan oleh pelemahan harga komoditas tahun lalu yang menyebabkan profitabilitas tahun 2023 menurun, terutama pada sektor-sektor terkait komoditas.
Kemudian, PPh migas juga mengalami kontraksi, yakni sebesar 20,54 persen. Realisasi penyerapan PPh migas hingga Mei 2024 tercatat Rp29,31 triliun atau 38,38 persen dari target. Sri Mulyani menyebut, kontraksi tersebut dipengaruhi oleh penurunan lifting migas.
Advertisement
Pajak Bumi dan Bangunan
Lalu, untuk Pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pajak lainnya terkontraksi sebesar 15,03 persen dengan realisasi Rp5 triliun.
Kontraksi ini disebabkan oleh tidak terulangnya pembayaran tagihan pajak pada tahun 2023. Disisi lain, realisasi penyerapan PBB dan pajak lainnya telah mencapai 13,26 persen dari target.
Namun berbeda dnegan kinerja pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) yang justru mengalami peningkatan, yakni sebesar 5,72 persen. Adapun penerimaan dari komponen ini tercatat sebesar Rp282,34 triliun atau 34,80 persen.