Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki pernah mewanti-wanti bahaya peredaran barang impor ilegal ke Indonesia. Lantaran, barang-barang itu merebut pasar produk UMKM lokal.
Staf Khusus Menteri Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif KemenKopUKM Fiki Satari menegaskan, banyak pelaku UMKM yang terpaksa gulung tikar karena tidak bisa bersaing.
Baca Juga
"Produk UMKM akan sulit bersaing dari sisi harga karena barang ilegal masuk ke pasar domestik tanpa membayar pajak atau bea masuk sesuai ketentuan sehingga harga jual di pasaran untuk produk tersebut sangat murah,” kata Fiki dalam keterangan resmi, Kamis (25/7/2024).
Advertisement
Dia mengatakan, padahal secara kualitas produk UMKM saat ini sudah semakin banyak yang tak kalah dengan produk buatan luar negeri. Sayangnya karena masifnya produk impor ilegal yang masuk ke pasar lokal, produk berkualitas yang diproduksi oleh UMKM menjadi kalah harga.
"Yang pasti UMKM kita ini sudah digempur baik dari udara, darat, sampai di perbatasan-perbatasan. Pak Menteri Teten Masduki sudah pernah menyampaikan bahaya ini sejak 2021. Sebab ada produk asing ditransaksikan melalui e-commerce cross border bisa langsung masuk ke berbagai pelosok tanah air dengan harga yang murah," kata Fiki Satari.
Fiki mengingatkan semua pihak saat ini pelaku UMKM juga sedang dihadapkan pada ancaman berupa aplikasi marketplace bernama Temu dari China. Aplikasi ini disebut-sebut lebih dahsyat dampaknya bagi UMKM karena bisa mematikan lantaran pabrik dari China bisa bertransaksi langsung dengan konsumen.
Dia berharap Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta stakeholder terkait bersinergi mencegah masuknya marketplace Temu ke Indonesia. Hal ini diperlukan semata-mata demi melindungi pelaku usaha di dalam negeri khususnya UMKM.
"Ada satu platform MtoC (manufacture to customer) 80 ribu pabrik akan masuk (dalam platform ini). Di Amerika, Temu ini mengalahkan Amazon. Harusnya ini dilarang karena saat ini pukulan bagi UMKM itu sudah semakin habis-habisan," kata Fiki.
Biaya Perizinan Mahal
Demi memastikan UMKM tetap bertahan dari ancaman barang ilegal, Fiki berharap ada kesetaraan dan keadilan dalam menjalankan aktivitas usaha.Importir harus dapat dipastikan patuh terhadap regulasi dengan membayar bea masuk barang impor.
Dengan jaminan penegakan hukum serta aturan terkait barang impor, maka pelaku UMKM dalam negeri dipastikan dapat bersaing.
"Kita harus garis bawahi bahwa jika UMKM kena hit dan kemudian mati maka tidak mudah untuk bangkit lagi karena tidak cukup modal dan kekuatan," kata Fiki.
Biaya Perizinan Mahal
Selain persoalan impor ilegal, UMKM nasional juga dihadapkan pada persoalan mahalnya biaya dan proses dalam mengurus perizinan.
Sebagai contoh ketika satu UMKM membuat brand atau merek, diwajibkan untuk mengurus Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dengan biaya yang cukup mahal. UMKM juga dibebani untuk membuat badan hukum usaha dan dibebani pajak.
"Ini semua kalau diadu dengan produk impor yang murah karena ilegal, maka ini menjadi tidak bisa bersaing. Jadi yang kita inginkan adalah equal playing field," kata Fiki.
Advertisement
30 Juta UMKM Tak Tersentuh Bank, Aturan Credit Scoring Perlu Inovasi
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki bersama Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Arsjad Rasjid sepakat mendorong agar kebijakan terkait akses pembiayaan kepada pelaku UMKM bisa dipermudah.
Lantaran, Teten mengatakan, bank masih menetapkan syarat credit scoring dalam pemberian kredit kepada UMKM. Di sisi lain, jumlah pelaku usaha mikro dan kecil yang sudah masuk ke dalam sistem perbankan masih sedikit.
Akses pembiayaan dari perbankan tetap jadi sorotan, meskipun terdapat cara alternatif bagi para pelaku UMKM untuk bisa mendapatkan modal usaha.
"Kebijakan-kebijakan yang perlu di-adjustment saya kira soal pembiayaan. Karena UMKM butuh akses pembiayaan, tapi ada 30 juta yang belum masuk ke pembiayaan perbankan," kata Teten usai bertemu Kadin Indonesia di Gedung Smesco, Jakarta, Rabu (24/7/2024).
"Walaupun kami juga memikirkan alternatif pengembangan pembiayaan dari sektor swasta, seperti modal ventura, sekuritas, crowdfunding, dan sebagainya," dia menambahkan.
Senada, Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid menekankan bahwa akses pembiayaan jadi hal paling vital bagi keberlangsungan UMKM. Dia menuturkan, persoalan tersebut harus menjadi PR bersama.
"Kita bicara ini kayak telur dan ayam. Pertanyaannya adalah, kadang-kadang kalau kita memberikan pinjaman dari perbankan harus ada sejarahnya. Tetapi di sisi lain, belum masuk bank, belum ada sejarahnya. Jadi ini menjadi dramatis," ungkapnya.
Oleh karenanya, Arsjad menilai perlunya gebrakan regulasi agar UMKM kecil tidak terbebani credit scoring saat hendak menjangkau pembiayaan dari sektor perbankan.
"Pembiayaan UMKM dari perbankan menjadi kunci penting. Karena kalau enggak ini akan seperti ayam dan telur terus. Karena bagaimana mau ada sejarahnya kalau UMKM belum masuk ke dalam perbankan," tegas Arsjad.
Salurkan Kredit, Menteri Teten Minta Bank Tak Tunggu UMKM Punya Jaminan Aset
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki meminta perusahaan pembiayaan termasuk perbankan menerapkan skema penyaluran kredit baru. Misalnya, dengan credit scoring untuk menakar kemampuan UMKM membayar kredit.
Menkop Teten menjelaskan, skema itu bisa memberikan kemudahan bagi UMKM mengakses pembiayaan, tujuannya meningkatkan kapasitas produksinya. Dia melihat, credit scoring ini belum jadi kewajiban bagi perbankan memberikan akses Kredit Usaha Rakyat (KUR) ke UMKM.
"Kemarin saya sudah usulkan supaya KUR itu diperluas penyalur KUR-nya termasuk juga banknya menggunakan indeks inovasi credit scoring. Tapi ini masih belum menjadi compulsory (wajib), walaupun beberapa bank sudah menggunakan indeks inovasi credit scoring," ungkap Teten, ditemui di JCC Senayan, Jakarta, Senin (22/7/2024).
Dia menjelaskan, saat ini bank melihat data historis dalam penyaluran kredit. Misalnya, data biro kredit hingga SLIK OJK. Namun, skema itu hanya terbatas pada beberapa kategori UMKM yang sudah mengakses pembiayaan saja. Padahal masih ada 30-an juta UMKM yang belum mengakses pembiayaan formal.
"Begini, kalau bank pendekatanya kan historik, masalahnya jadi ada 30 juta UMKM yang belum mengakses pembiayaan dari bank. Bagaimana kalau masih menggunakan data historik, sehingga kita usulkan data tambahan yang bersifat prediksi," paparnya.
Usulannya, pemberi pembiayaan bisa melihat kemampuan UMKM dalam membayar tanggungan listrik, misalnya. Kemudian, dilihat juga dari teraturnya pembayaran terkait telekomunikasi.
Teten melihat, dua hal itu bisa menjadi acuan bagi pemberi pembiayaan untuk menilai kemampuan UMKM dalam membayar kredit yang diberikan.
"Sehingga kita harus tambahkan data PLN sama data Telko, di 145 negara sudah menggunakan itu," tegasnya.
Advertisement
Kerek Penyaluran KUR
Menkop Teten mengungkap skema itu bisa meningkatkan penyaluran KUR kepada UMKM. Ini mengacu pada hasil pilot project yang melibatkan 72.000 UMKM.
"Kami sudah exercise bikin piloting dengan 72.000 (UMKM Peserta), (hasilnya) signifikan naik bisa 5 persen, jadi bank bisa menyalurkan kredit nambah 5 persen," ucap dia.
Dia menuturkan, skema ini sudah disampaikan dalam rapat koordinasi terkait KUR bersama beberapa kementerian yang terkait. Dia kembali menegaskan, perbankan tidak bisa menunggu UMKM punya aset sebagai jaminan.
"Sebab kalau masih menggunakan data historik bank, 30 (juta) UMKM kita belum masuk perbankan, ya bagaimana? Mau menunggu mereka punya aset dulu ya gak bisa. Jadi harus ada inovasi dari sisi perbankannyq dan itu kita butuh dukungan kebijakan OJK," pungkas Teten Masduki.