Liputan6.com, Jakarta - Mata pencaharian utama nelayan tradisional Surabaya terancam hilang dampak rencana proyek reklamasi di pesisir Kota Surabaya. Proyek Kawasan Pesisir Terpadu Surabaya Waterfront Land (SWL) diklaim menjadi proyek strategis nasional (PSN) yang dibangun oleh PT Granting Jaya.
Proyek reklamasi ini bertujuan untuk memperluas area pantai dan mengembangkan infrastruktur seperti kawasan bisnis, perumahan, dan fasilitas publik di sepanjang pantai Surabaya.
Baca Juga
Meskipun Operator sudah melakukan sosialisasi Juli 2024 lalu, namun proyek ini tidak lepas dari kontroversi dan penolakan, terutama dari komunitas nelayan setempat.
Advertisement
Ketua DPW KNTI Jawa Timur Misbahul Munir menjelaskan, penolakan dilakukan nelayan karena ancaman dampak kerusakan lingkungan yang terjadi meliputi sedimentasi, rusaknya wilayah mangrove, hingga berpindahnya sumberdaya ikan yang selama menjadi sumber rejeki nelayan kecil dan tradisional di Kota Surabaya.
“Saat ini nelayan Kota Surabaya sudah sulit menangkap ikan karena sumberdaya ikan sudah berkurang, kalau ditambah adanya proyek reklamasi ini, lingkungan rusak dan ikan-ikan juga akan menjauh, akibatnya nelayan kecil tambah tidak ada hasil untuk keluarga mereka.” Jelas dia dalam keterangan tertulis, Rabu (7/8/2024).
Pengalaman dari sedimentasi yang pernah terjadi di wilayah Kenjeran dan pesisir Surabaya lainnya, menyebabkan nelayan kesulitan untuk keluar masuk untuk melaut serta menyebabkan perairan tambah keruh.
“Dampak dari reklamasi ini jelas sekali akan menyebabkan nelayan kehilangan pekerjaannya, tidak hanya nelayannya, namun perempuan pesisir yang berprofesi sebagai pencari dan pengupas kerang.” Lanjut Munir.
Ekosistem Rusak
Munir juga menegaskan bahwa jika reklamasi tetap dilakukan, maka ekosistem laut tempat ikan dan biota lain berada akan rusak, dan tidak ada yang bisa nelayan tangkap lagi. Hal ini akan berdampak serius pada sosial ekonomi nelayan, perempuan nelayan bahkan sampai ke keberlanjutan sekolah anak-anak nelayan.
“Posisi perairan Kota Surabaya berada di selat madura, jika reklamasi tetap dilakukan, maka akan mengganggu jalur migrasi ikan yang melalui selat madura. Oleh krena itu tidak hanya nelayan kecil di kota Surabaya saja yang akan terdampak, namun secara luas dapat juga berdampak pada kondisi sumberdaya ikan di kota maupun kabupaten tetangga,” tegas Munir.
Di sisi lain, proses perencanaan proyek ini juga tidak melibatkan pemerintah daerah dan nelayan lokal yang terdampak, sehingga sudah salah dari langkah awal.
“Oleh karena itu, kami menolak proyek ini demi berlangsungnya kehidupan masyarakat nelayan kecil dan tradisional di pesisir Kota Surabaya” Pungkas Munir.
Advertisement
KKP Tutup Proyek Reklamasi Ilegal di Batam
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menutup proyek reklamasi tak berizin di Batam, Kepulauan Riau. Tadinya, lahan ini bakal dibangun kawasan pemukiman dan penunjang lainnya.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Adin Nurawaluddin, menerangkan kalau lahan reklamasi ini terdaftar atas PT DIA. Namun, proyeknya ini tidak mengantongi izin, sehingga pelaksanaannya ilegal.
"Hasil sidak kami bersama Ketua Komisi IV, Ditjen PKRL dan Ditjen Gakkum KLHK di lapangan, telah ditemukan dugaan kegiatan pemanfaatan ruang laut tanpa izin, reklamasi tanpa izin, hingga perusakan ekosistem mangrove," ungkap Adin dalam keterangannya, Senin (10/7/2023).
Adin menyebut, sebelumnya, Polisi Khusus Pengawasan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Polsus PWP3K) Pangkalan PSDKP Batam telah mensinyalir adanya perusakan ekosistem mangrove akibat proyek reklamasi yang berjalan pada lokasi tersebut.
Pemeriksaan Citra Satelit
Dugaan ini kemudian diverifikasi melalui pemeriksaan citra satelit dan potret via udara, bahwa memang benar teridentifikasi adanya perubahan perairan dan ekosistem mangrove pada lokasi lahan reklamasi.
"Mengacu pada UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, tindakan yang dilakukan PT. DIA dapat dikategorikan pelanggaran pidana. Untuk itu, akan kami akan lakukan proses hukum lebih lanjut sesuai aturan yg berlaku," tegas Adin.
Berdasarkan Pasal 73 ayat (1) huruf b, Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, reklamasi tanpa izin dan perusakan mangrove dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun, juga pidana denda paling sedikit 2 miliar rupiah dan paling banyak 10 miliar rupiah.
Advertisement
Kegiatan Perusahaan Disetop
Sementara itu, untuk kepentingan proses hukum lebih lanjut, operasional proyek PT. DIA dihentikan dengan dilakukan Pemasangan Garis Polsus dan Papan Penutupan Lokasi oleh Polsus PWP3K pada Kamis (6/7/2023).
Selain proses pemeriksaan untuk dugaan pelanggaran pidana, kegiatan reklamasi yang dilakukan oleh PT. DIA juga diduga telah memenuhi kriteria pelanggaran administratif.
"Terkait pelanggaran reklamasi dan ruang laut badan jalan yang sudah eksisting, akan dikenakan sanksi administratif mengacu pada PP 21 tahun 2021, Permen KP 28 tahun 2021, dan Permen KP 31 tahun 2021 yang mengatur sanksi Administratif", ungkap Adin.
Adin menuturkan bahwa usai penyegelan, KKP akan melakukan pemeriksaan terhadap Penanggungjawab PT. DIA untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Tindak tegas yang dilakukan ini merupakan wujud komitmen Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono dalam mengimplementasikan lima program prioritas Ekonomi Biru, khususnya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk melindungi sumber daya ikan dan lingkungannya.