Asosiasi Pesantren: Aturan Turunan PP Kesehatan Ancam Bisnis Tembakau dan Rokok Elektronik

PP Kesehatan sangat berpotensi memiliki dampak negatif yang sangat berpotensi merugikan dan bahkan mematikan ekosistem pertembakauan di Indonesia secara terstruktur massif dan sistematis, baik produk tembakau tradisional maupun rokok elektronik.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 10 Agu 2024, 20:29 WIB
Diterbitkan 10 Agu 2024, 20:29 WIB
Ilustrasi tembakau, rokok
Ilustrasi tembakau, rokok. Foto: (Ade Nasihudin/Liputan6.com).

Liputan6.com, Jakarta - Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) menilai, pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2024 tentang Pelaksanaan UU Kesehatan 17 tahun 2023, berpotensi mematikan ekosistem pertembakauan yang sudah berkontribusi terhadap perekonomian nasional. 

Direktur P3M Sarmidi Husna mengatakan, sebelum UU Kesehatan disahkan pada Juli 2023, P3M telah melaksanakan kajian untuk mengingatkan pembuat kebijakan dan memfasilitasi masukan-masukan dari berbagai pemangku kepentingan sektor tembakau agar diakomodasi dalam PP tersebut.

"Namun, amat disayangkan pemerintah tetap nekat mensahkan PP Kesehatan berbagai aturan terkait pasal pengamanan zat adiktif yang akan membumihanguskan salah satu sektor padat karya yang menopang perekonomian nasional," kata Sarmidi, Sabtu (10/8/2024).

Sarmidi menyoroti, PP ini sangat berpotensi memiliki dampak negatif yang sangat berpotensi merugikan dan bahkan mematikan ekosistem pertembakauan di Indonesia secara terstruktur massif dan sistematis, baik produk tembakau tradisional maupun rokok elektronik. 

"Kami menyadari pentingnya kesehatan masyarakat, namun setiap regulasi harus mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial secara berimbang dan menyeluruh," ujar dia. 

"Kementerian Kesehatan belum terlihat perannya dalam edukasi soal pencegahan rokok anak dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan terkait bahaya merokok, malah sibuk mencampuri urusan di luar bidang kesehatan," tegasnya.

Lebih lanjut, ia mendesak agar pemerintah melalui Kementerian Kesehatan bisa membuat langkah agar aturan turunan PP Kesehatan tidak semakin mematikan ekonomi. 

"Kami meminta Kementerian Kesehatan untuk menghentikan pembahasan aturan turunan PP Kesehatan hingga keresahan masyarakat dapat diredam," pinta dia. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Rokok Dilarang Dijual Dekat Area Sekolah, Pemilik Warung Kelontong Protes

20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, Perkumpulan Pengusaha Kelontong Seluruh Indonesia (PERPEKSI) mengkritisi keras aturan tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang telah disahkan Presiden pada 26 Juli lalu.

Ketua Umum PERPEKSI, Junaidi, menyatakan aturan larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain adalah aturan yang sangat rancu untuk diberlakukan kepada pelaku usaha. Ia menilai aturan tersebut sebagai masalah besar karena menitikberatkan pelarangan hanya kepada pelaku usaha perseorangan.

Perlakuan pelarangan kepada pedagang warung kelontong ini dapat memberikan perlakuan yang berbeda pada satu pedagang dengan pedagang lainnya dan imbasnya menjadi timpang sekali kepada anggota PERPEKSI di seluruh wilayah. Apalagi, warung kelontong umumnya adalah usaha mikro dan ultra-mikro. Maka, aturan ini dinilai merugikan rakyat kecil.

“Ini sangat tidak etis. Bahkan, sebelum adanya peraturan ini, banyak toko kelontong dan warung kecil lainnya yang sudah berjualan. Jaraknya pun gak selalu lebih dari 200 meter. Ini bagaimana jadinya? Masa tiba-tiba dilarang?” kata dia dikutip Rabu (7/8/2024).


Kurang Sosialisasi

Junaidi melanjutkan aturan ini menjadi tidak etis karena kurangnya sosialisasi dengan pelaku usaha dan asosiasi lainnya yang menjadi korban utama pelarangan tersebut. Menurutnya, awal kemunculan dari rencana aturan ini sudah menuai kritik banyak pihak, tidak hanya bagi pelaku usaha, tetapi juga bagi masyarakat yang merasakan dampaknya.

“Aturan ini jelas berisiko apalagi untuk warung kecil. Presentase penjualan rokok untuk satu warung itu bisa sampai 50-80%. Ini besar sekali dan memang produk ini adalah produk yang laku. Bisa dibayangkan kalau aturan ini dijalankan, pasti akan memberatkan kami,” terangnya.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya