Liputan6.com, Jakarta - Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) menilai, pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2024 tentang Pelaksanaan UU Kesehatan 17 tahun 2023, berpotensi mematikan ekosistem pertembakauan yang sudah berkontribusi terhadap perekonomian nasional.
Direktur P3M Sarmidi Husna mengatakan, sebelum UU Kesehatan disahkan pada Juli 2023, P3M telah melaksanakan kajian untuk mengingatkan pembuat kebijakan dan memfasilitasi masukan-masukan dari berbagai pemangku kepentingan sektor tembakau agar diakomodasi dalam PP tersebut.
"Namun, amat disayangkan pemerintah tetap nekat mensahkan PP Kesehatan berbagai aturan terkait pasal pengamanan zat adiktif yang akan membumihanguskan salah satu sektor padat karya yang menopang perekonomian nasional," kata Sarmidi, Sabtu (10/8/2024).
Advertisement
Sarmidi menyoroti, PP ini sangat berpotensi memiliki dampak negatif yang sangat berpotensi merugikan dan bahkan mematikan ekosistem pertembakauan di Indonesia secara terstruktur massif dan sistematis, baik produk tembakau tradisional maupun rokok elektronik.
"Kami menyadari pentingnya kesehatan masyarakat, namun setiap regulasi harus mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial secara berimbang dan menyeluruh," ujar dia.
"Kementerian Kesehatan belum terlihat perannya dalam edukasi soal pencegahan rokok anak dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan terkait bahaya merokok, malah sibuk mencampuri urusan di luar bidang kesehatan," tegasnya.
Lebih lanjut, ia mendesak agar pemerintah melalui Kementerian Kesehatan bisa membuat langkah agar aturan turunan PP Kesehatan tidak semakin mematikan ekonomi.
"Kami meminta Kementerian Kesehatan untuk menghentikan pembahasan aturan turunan PP Kesehatan hingga keresahan masyarakat dapat diredam," pinta dia.
Rokok Dilarang Dijual Dekat Area Sekolah, Pemilik Warung Kelontong Protes
Sebelumnya, Perkumpulan Pengusaha Kelontong Seluruh Indonesia (PERPEKSI) mengkritisi keras aturan tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang telah disahkan Presiden pada 26 Juli lalu.
Ketua Umum PERPEKSI, Junaidi, menyatakan aturan larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain adalah aturan yang sangat rancu untuk diberlakukan kepada pelaku usaha. Ia menilai aturan tersebut sebagai masalah besar karena menitikberatkan pelarangan hanya kepada pelaku usaha perseorangan.
Perlakuan pelarangan kepada pedagang warung kelontong ini dapat memberikan perlakuan yang berbeda pada satu pedagang dengan pedagang lainnya dan imbasnya menjadi timpang sekali kepada anggota PERPEKSI di seluruh wilayah. Apalagi, warung kelontong umumnya adalah usaha mikro dan ultra-mikro. Maka, aturan ini dinilai merugikan rakyat kecil.
“Ini sangat tidak etis. Bahkan, sebelum adanya peraturan ini, banyak toko kelontong dan warung kecil lainnya yang sudah berjualan. Jaraknya pun gak selalu lebih dari 200 meter. Ini bagaimana jadinya? Masa tiba-tiba dilarang?” kata dia dikutip Rabu (7/8/2024).
Advertisement
Kurang Sosialisasi
Junaidi melanjutkan aturan ini menjadi tidak etis karena kurangnya sosialisasi dengan pelaku usaha dan asosiasi lainnya yang menjadi korban utama pelarangan tersebut. Menurutnya, awal kemunculan dari rencana aturan ini sudah menuai kritik banyak pihak, tidak hanya bagi pelaku usaha, tetapi juga bagi masyarakat yang merasakan dampaknya.
“Aturan ini jelas berisiko apalagi untuk warung kecil. Presentase penjualan rokok untuk satu warung itu bisa sampai 50-80%. Ini besar sekali dan memang produk ini adalah produk yang laku. Bisa dibayangkan kalau aturan ini dijalankan, pasti akan memberatkan kami,” terangnya.