Deretan Kritik Tajam Ekonom Faisal Basri, dari Utang Pemerintah hingga Kenaikan PPN

Sosok ekonom senior dan kritis, Faisal Basri, meninggal dunia. Pendiri lembaga riset Indef ini wafat pada 5 September 2024, pukul 03.50 WIB di RS Mayapada, Kuningan, Jakarta.

oleh Tira Santia diperbarui 05 Sep 2024, 11:30 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2024, 11:30 WIB
Faisal Basri Sebut Indonesia Defisit Perdagangan di Tiga Sektor
Pengamat ekonomi Faisal Basri saat memaparkan tentang Holding BUMN Migas di Jakarta Selatan, Jumat (16/3). Menurutnya, Indonesia defisit perdagangan di sektor manufaktur, makanan dan minuman, serta migas. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom senior Faisal Basri meninggal dunia. Faisal Basri meninggal dunia pada 5 September 2024, pukul 03.50 WIB di RS Mayapada, Kuningan, Jakarta.

Faisal Basri yang merupakan pendiri Indef ini dikenal sebagai sosok intelektual yang kritis, tegas dan berani melayangkan kritik pada Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Berikut beberapa kritikan ekonom Faisal Basri terbaru yang dirangkum Liputan6.com, Kamis (5/9/2024).

1. Faisal Basri Kritik Soal Family Office Jadi Tempat Pencucian Uang

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan usul pembentukan Wealth Management Centre (WMC) kepada Presiden Jokowi Widodo (Jokowi), untuk menjaring dana berbasis perusahaan keluarga (family office) dari luar negeri.

Menurut data dari The Wealth Report, Menko Luhut menyebut populasi individu super kaya raya di Asia diperkirakan akan tumbuh sebesar 38,3 persen selama periode 2023-2028. Peningkatan jumlah aset finansial dunia yang diinvestasikan di luar negara asal juga diproyeksikan akan terus meningkat.

Menanggapi, Ekonom Senior Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri khawatir wealth management consulting (WMC) atau family office malah jadi sarana pencucian uang. Mengingat, sifat family office yang tak memungut pajak bagi dana-dana dari orang super kaya.

Dia mengatakan, wajah satu negara yang menerapkan family office adalah Singapura. Dia menuturkan, Singapura mulai memperketat family office imbas dari kekhawatiran atas praktik pencucian uang.

"Ada (potensi pencucian uang). Tapi gampang dideteksi kok. Di Singapura itu masalahnya. Cukup banyak family business office itu menjadikan Singapura pencucian uang. Jadi mereka sekarang lebih ketat. Ya, itu pencucian uang. Dan jangan-jangan ada judi online, narkoba, pelaku-pelakunya di luar, terus ya lewat nama orang, bikin family (office), bisa saja seperti itu," ujar Faisal, ditemui di Jakarta, Kamis (4/7/2024).

mempertanyakan kesiapan instrumen hukum Indonesia untuk menghadapi tantangan tersebut. Apalagi, pengusaha super kaya yang mendatangu family office kerap mengejar kemudahan, salah satunya tanpa pajak.

Menurut dia, hal itu bisa dihadapi dengan adanya Financial Action Task Force (FATF). Indonesia sendiri sudah menjadi bagian FATF melalui keterlibatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

"Tidak ada lagi yang kebal. Ada yang namanya rezim FATF, Financial Action Task Force. Nah itu, lintas negara itu. Kayak Interpol-nya untuk money laundering segala macam begitu," ucap Faisal.

 

2. Soal PPN 12 persen di 2025 Minta Ditunda

Faisal Basri Sebut Indonesia Defisit Perdagangan di Tiga Sektor
Pengamat ekonomi Faisal Basri saat memaparkan tentang Holding BUMN Migas di Jakarta Selatan, Jumat (16/3). Menurutnya, saat ini Indonesia menghadapi defisit perdagangan di tiga sektor (tripple deficit). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ekonom Senior Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri, mengusulkan agar kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen di 2025 ditunda.

"Kalau menurut saya wajib lah ditunda. Ini kan pertanyaannya itu tadi defisitnya tambah lebar. Karena PPN paling gampang. Kalau PPH Masih suka nilep-nilep kan kalau PPN itu kan setiap transaksi," kata Faisal Basri saat ditemui usai RDP dengan BAKN DPR RI, Rabu (10/7/2024).

Sebagai informasi, tarif PPN sendiri telah ditetapkan pemerintah Indonesia menjadi 11 persen sejak 1 April 2022 lalu, dan akan dinaikkan secara bertahap sampai dengan 12 persen di tahun 2025.

 

3. Pembatasan BBM

Faisal Basri Sebut Indonesia Defisit Perdagangan di Tiga Sektor
Pengamat ekonomi Faisal Basri saat memaparkan tentang Holding BUMN Migas di Jakarta Selatan, Jumat (16/3). Menurutnya, saat ini Indonesia menghadapi defisit perdagangan di tiga sektor (tripple deficit). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ekonom Senior Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri merespon pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terkait rencana pembatasan penggunaan BBM bersubsidi yaitu pertalite. Diketahui pembatasan itu akan dimulai pada 17 Agustus 2024 mendatang.

Menurut Faisal, munculnya rencana tersebut membuktikan bahwa Pemerintah sudah tidak mampu menahan subsidi BBM lagi, sehingga kemungkinan BBM bersubsidi akan dinaikkan.

Pada saat pernyataan ini, kata Faisal harga minyak dunia masih dikisaran USD80 per barel, artinya Pemerintah masih mampu menahan subsidi BBM. Namun, jika harga minyak dunia naik USD90 per barel, maka diproyeksikan Pemerintah tak mampu menahan subsidi lagi, sehingga jalan pintasnya adalah menaikkan harga BBM bersubsidi.

"Misalnya, sekarang harga minyak sih anteng ya di USD80-an. Kalau naik lagi ke USD90, artinya kan subsidi-nya naik gitu kan. Pemerintah enggak sanggup lagi. Artinya, sinyal kemungkinan besar pemerintah akan menaikkan harga BBM yang selama ini di subsidi yaitu Pertalite dan Solar," kata Faisal Basri saat ditemui usai RDP dengan BAKN DPR RI, Rabu (10/7/2024).

Menurutnya, fenomena antri di SPBU menjelang kenaikan BBM sudah merupakan hal biasa. Lantaran, Pemerintah tidak mampu membayarkan dana kompensasi ke Pertamina.

"Kan sudah biasa. Sebelum naik kan antrian panjang dulu. Kan sudah enggak kuat lagi, dan dana kompensasinya gelembung. Terpaksa. Pertamanya sorry, dana kompensasinya enggak saya bayar dulu. Pernah dana kompensasi itu baru dibayar 2 tahun. Sampai PLN pernah hampir gagal bayar," ujarnya.

Disisi lain Faisal juga mengaku kurang setuju dengan rencana Pemerintah yang akan mengeluarkan BBM baru pada 17 Agustus 2024. Hal itu dinilai akan membuat masalah baru.

"Menyelesaikan masalah dengan menciptakan lebih banyak masalah baru. kayak dulu premium dibunuh muncul pertalite, pertalite (mau) dibunuh, muncul macam (BBM baru) gak tau," kata Faisal usai Diskusi INDEF terkait Menguji Rencana Kebijakan BMAD Terhadap Keramik, di Jakarta, Selasa (16/7/2024).

Jika pemerintah tetap ingin meluncurkan produk BBM baru yang dikalim rendah sulfur, Faisal menyebut itu kemungkinan di jenis solar. Kendati begitu, ia pun tetap heran dengan ide tersebut kenapa baru dicetuskan.

 

4. Kritik Utang RI

Seminar Reformasi Pajak
Ekonom FEUI, Faisal Basri saat Seminar Reformasi Pajak di Jakarta, Senin (30/10). Seminar ini mengupas isu-isu terkait kelanjutan proses reformasi di bidang perpajakan, aspek kebijakan publik serta amandemen UU Perpajakan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Dalam podcast Indef yang berjudul Peninggalan Utang Menanti Pemerintah Baru yang diunggah di YouTube Indef 8 hari lalu, Faisal Basri mengaku sangat prihatin lantaran beban utang RI dirasakan oleh generasi muda di masa mendatang.

"Saya prihatin dan oleh karena itu kita harus bersuara terus. Saya kasihan sama generasi muda. Generasi kami yang meminjam tapi generasi muda yang harus membayar karena jatuh tempo utangnya itu 10 tahun, 20 tahun, 30 tahun," kata Faisal Basri dalam podcast tersebut dikutip Kamis, (5/9/2024).

Apalagi tahun 2025 merupakan puncak jatuh tempo utang RI yang nilainya diperkirakan mencapai Rp800 triliun. Hal itu tentunya menjadi Pekerjaan Rumah (PR) yang berat bagi Pemerintahan Baru yang dipimpin Prabowo Subianto.

"Karena tahun depan itu puncak jatuh tempo kira-kira Rp 800 triliun," ujarnya.

 

5. Soal Tapera

Faisal Basri Sebut Indonesia Defisit Perdagangan di Tiga Sektor
Suasana saat pengamat ekonomi, Faisal Basri memaparkan tentang Holding BUMN Migas di Jakarta Selatan, Jumat (16/3). Menurutnya, saat ini Indonesia menghadapi defisit perdagangan di tiga sektor (tripple deficit). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri menilai, potongan iuran Tapera tidak tepat dilakukan ditengah kondisi daya beli masyarakat yang tertekan. Bahkan, dengan sipungut 2,5 persen dari upah per bulan, hitungan kepemilikan rumah masih terlalu lama.

"Nah, kalau 2,5 persen hitung aja dengan sederhana kapan? berapa puluh tahun kira-kira dia punya rumah? karena biaya Taperanya gini (naik tipis), harga tanah gini (meningkat tinggi), kapan punya rumahnya?," ujar Faisal, ditemui di Jakarta, dikutip Jumat (5/7/2024).

Menurut dia seharusnya iuran Tapera tidak bergantung pada potongan upah pekerja. Tapi, ada tambahan lebih banyak dari perusahaan. Dengan asumsi total pungutan 3 persen, maka potongannya bisa masing-masing 1,5 persen, baik perusahaan maupun pekerja.

Faisal menilai, hal itu bisa dilakukan dengan mengkonversi sebagian pungutan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 25 persen ke 22 persen. Dengan begitu, bisa sedikit digunakan untuk menambah iuran ke Tapera.

"Nah, harusnya Tapera jangan dibiarkan sendiri atau Taperanya itu mbok ya beban buruhnya dikurangi, sumbangan perusahaannya ditambah," kata dia.

"Kan perusahaan dulu dapat memotongan corporate income tax dari 25 persen ke 22 persen. Nah kasih 1,5 persen (potongan tapera) sehingga paling tinggi yang dipotong dari buruh itu 1,5 persen," terangnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya