Serap Jutaan Pekerja, Apindo Ingatkan Pemerintah Hati-Hati Bikin Kebijakan Sektor Tembakau

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani mengatakan berbagai tekanan regulasi industri hasil tembakau dirasa cukup memberatkan bagi multisektor yang berkaitan baik dengan pertembakauan.

oleh Septian Deny diperbarui 12 Sep 2024, 14:00 WIB
Diterbitkan 12 Sep 2024, 14:00 WIB
20160119-Buruh-Tembakau-AFP
Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau memproduksi rokok kretek di Malang Jawa Timur, (24/6/2010). (AFP/AMAN RAHMAN)

 

Liputan6.com, Jakarta Puluhan asosiasi lintas sektor menyatakan sikap penolakan atas berbagai kebijakan kontroversial terkait pengaturan produk tembakau pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 serta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang menjadi aturan turunannya.

Aturan yang menjadi sorotan di antaranya zonasi larangan penjualan dan iklan luar ruang serta wacana standardisasi kemasan berupa kemasan polos tanpa merek untuk produk tembakau maupun rokok elektronik. Kebijakan tersebut menimbulkan polemik dan ketidakpastian berusaha bagi para pelaku usaha di berbagai sektor.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani mengatakan berbagai tekanan regulasi industri hasil tembakau dirasa cukup memberatkan bagi multisektor yang berkaitan baik dengan pertembakauan.

Sebagai komoditas dengan kontribusi yang unggul bagi Tanah Air, APINDO menilai pemerintah perlu berhati-hati dalam mengambil kebijakan dan melihat kondisi sosio-ekonomi Indonesia yang berbeda dari negara lainnya.

Di Indonesia, industri tembakau menyerap jutaan tenaga kerja dari petani, pekerja, pedagang dan peritel, hingga industri kreatif. Sehingga, pengambilan kebijakan di Indonesia tidak bisa hanya mengacu dari negara-negara tertentu tanpa adanya pendalaman budaya.

“Kami melihat terdapat proses yang tidak tepat dalam proses penyusunan kebijakan ini, baik PP 28/2024 maupun RPMK dikarenakan minimnya pelibatan industri. Hal ini akan memicu kontraksi berkepanjangan. Padahal seharusnya pengambil kebijakan perlu berhati-hati dalam mengeluarkan peraturan yang akan mengancam kontraksi berkepanjangan,” kata Franky melalui keterangan resminya dalam Konferensi Pers terkait PP No. 28/2024 dan RPMK di Kantor APINDO, Jakarta dikutip Kamis (12/9/2024).

Keluhan Industri

Pada kegiatan yang digelar di kantor APINDO tersebut, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan mengapresiasi upaya APINDO untuk menampung segala aspirasi dan merespons keluhan industri hasil tembakau dengan baik. GAPPRI menekankan industri hasil tembakau tidak hanya pelaku usaha, tetapi mata rantai ekonomi dan budaya industri hasil tembakau yang sangat besar.

“Maka wacana kebijakan kemasan polos tanpa merek bagi produk tembakau dalam RPMK akan memberikan dampak serius atas kebijakan yang makin eksesif dan mengakibatkan kontraksi dari sisi pendapatan negara juga ketenagakerjaan. Oleh karena itu, kami menyatakan dengan tegas menolak aturan tersebut,” tutur Henry.

 

Penjualan Produk Tembakau

Gappri
Cukai rokok memang senikmat kepulan asap tembakau. Bisa dibilang, inilah ATM bagi pemerintah yang tak pernah kering.

Henry juga sepakat dengan pemerintah untuk tidak menjual produk tembakau kepada anak-anak karena selama ini pihaknya telah berkomitmen mencegah akses pembelian produk tembakau di bawah umur.

Selama ini, GAPPRI telah patuh kepada negara dan terus menegakkan komitmen pencegahan perokok anak, sehingga aturan terbaru ini justru akan memberikan dampak negatif kepada mata rantai industri hasil tembakau dari hulu hingga ke hilir.

Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) Benny Wachjudi menekankan selama ini industri hasil tembakau terus terhimpit dan terbebani dengan berbagai aturan. Padahal sebagai industri yang memiliki eksternalitas, industri hasil tembakau selama ini telah mengikuti regulasi dan mematuhi aturan dengan baik, khususnya kepatuhan terhadap pembayaran cukai sebagai salah satu penerimaan negara. Hingga saat ini, cukai hasil tembakau (CHT) masih menjadi sumber penerimaan negara yang cukup besar sampai 10% atau lebih dari Rp200 triliun.

Benny juga mengatakan kebijakan CHT yang telah diimplementasikan selama ini telah menekan industri setiap tahunnya. Dengan adanya PP 28/2024 dan RPMK, maka akan lebih besar dampaknya bagi industri. Sebab selama ini industri hasil tembakau sendiri dinilai telah tertekan oleh berbagai kebijakan eksesif, sehingga minimnya pelibatan industri dalam perumusan aturan zonasi larangan penjualan dan iklan produk tembakau serta wacana aturan kemasan polos tanpa merek akan memperkeruh situasi.

“Kalau prosesnya saja sudah cacat, maka kontennya pasti menjadi tidak baik. Maka PP 28/2024 masih menyisakan hal-hal yang perlu kita kaji ulang, termasuk pengaturan penjualan 200 meter, iklan, dan aturan turunan yang lebih mengkhawatirkan yaitu pengaturan kemasan polos tanpa merek yang tidak memunculkan identitas brand dan makin memicu rokok ilegal,” ungkap dia.

Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Kusnasi Mudi menyebut kebijakan-kebijakan restriktif terhadap produk tembakau dalam PP 28/2024 maupun RPMK menjadi permasalahan bersama. Bukan hanya industri, petani tembakau turut terdampak sebagai bagian dari komponen penting hulu industri hasil tembakau. Aturan ini dianggap mengabaikan sentralitas tembakau dalam agrikultur sebagai tanaman bernilai ekonomi tinggi dan berhasil membantu 2,5 juta mata pencaharian masyarakat sebagai petani.

“Kami sangat kecewa dan keberatan dengan aturan turunan yang akan disusun di RPMK karena adanya ketidaksinambungan pada pemerintah terhadap industri hasil tembakau. Tembakau ini termasuk komoditas strategis, namun eksistensi kami selalu ditekan. Dengan ini, kami memohon perlindungan pemerintah atas nasib 2,5 juta petani yang sama-sama sedang berjuang untuk mata pencaharian kami dan berbagai persoalan lainnya,” paparnya.

 

Diskriminatif

Ilustrasi pekerja di Industri tembakau. (Istimewa)
Ilustrasi pekerja di Industri tembakau. (Istimewa)

Senada dengan itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM-SPSI) Sudarto menyesalkan adanya PP 28/2024 maupun RPMK. Kedua beleid ini dinilai sebagai produk yang diskriminatif karena minimnya partisipasi dan selama ini buruh tidak pernah difasilitasi untuk menyampaikan aspirasinya.

“Pemerintah perlu sadar bahwa buruh ini aset dan jumlah kami besar sekali, jangan dimarjinalkan terus menerus. Aspek yang perlu diperhatikan salah satunya adalah buruh sebagai bagian dari konstitusi Indonesia, di mata hukum kami setara. Perlu diingat bahwa kita ini negara produsen tembakau dan jangan disamakan dengan negara lainnya yang hanya mengonsumsi,” imbuhnya.

Sejatinya PP 28/2024 dan RPMK turut memberikan dampak yang signifikan terhadap para pedagang dan peritel. Ketua Dewan Penasihat Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) Tutum Rahanta menyatakan bahwa PP 28/2024 dan wacana kebijakan kemasan polos tanpa merek merupakan aturan yang dianggap sangat tidak applicable bagi seluruh pihak. Padahal selama ini peritel sudah mematuhi aturan yang berlaku, salah satunya menempatkan produk tembakau sesuai dengan aturan. Di samping itu, kami pembayar pajak yang taat.

“Aturan ini sangat mendiskreditkan industri hasil tembakau di saat sektor ini, baik dari hulu ke hilirnya telah mematuhi aturan yang sudah berlaku sebelumnya. Seharusnya pemerintah fokus memberantas rokok ilegal dan tidak mencampuri rokok legal yang sudah taat hukum,” cetusnya.

 

Kemasan Polos Rokok

20160531-Pedagang-Rokok-Jakarta-Angga-Yuniar
Pedagang memperlihatkan sejumlah rokok saat menggelar aksi damai Terimakasih tembakau di Jakarta, Selasa (31/50). Dalam aksi tersebut mereka melakukan penolakan terhadap hari tanpa tembakau sedunia yang jatuh pada tagl 31 mei. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Tidak sampai di situ, Ketua Umum Asosiasi Media Luar Griya Indonesia (AMLI) Fabianus Bernadi melihat ancaman lain dari wacana kebijakan kemasan polos tanpa merek ini usai dihimpit oleh pasal larangan zonasi penjualan produk tembakau dalam radius 500 meter dari pusat pendidikan dan tempat bermain. AMLI mengaku sudah merasakan dampaknya sejak PP 28/2024 masih dirancang. Saat itu, pihaknya telah menyurati Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, namun hingga saat ini tidak memberikan tanggapan sama sekali.

“Dari sejumlah daerah yang kami survei, 79 persen iklan berasal dari produk tembakau dan 86 persennya terdampak oleh PP 28/2024 karena 50 persen pendapatan mereka berasal dari iklan produk tembakau. Seharusnya peraturan ini dibuat lebih banyak edukasi, bukan melarang. Karena ini tentu akan berdampak besar pada kami selaku pengusaha media luar ruang,” pungkasnya.

Sebagai salah satu upaya untuk menyampaikan aspirasi bersama, sejumlah asosiasi yang terdiri dari pabrikan, petani tembakau dan cengkeh, serikat pekerja, pedagang/peritel, industri kreatif, penyiaran, hingga periklanan menandatangani pernyataan sikap bersama untuk memohon perlindungan pemerintah untuk tidak menyetujui ketentuan standardisasi kemasan dalam RPMK serta sejumlah pasal bermasalah dalam PP 28/2024 yang merugikan berbagai pihak. Adapun konferensi pers yang digelar oleh APINDO ini turut menghadirkan lebih dari 20 asosiasi lintas industri, di antaranya GAPPRI, GAPRINDO, FORMASI, APTI, APCI, AMTI, FSP RTMM SPSI, APRINDO, HIPPINDO, APARSI, APPSI, AMLI, ATVSI, IRPII, APROFI, APFI, BPI, AVISI, APKI, APVI, AVI, APPNINDO, dan ARVINDO.

Infografis PHK Hantui Kenaikan Tarif Cukai Rokok
Infografis PHK Hantui Kenaikan Tarif Cukai Rokok (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya