Liputan6.com, Jakarta Kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dinaikkan menjadi 12 persen pada 2025 akan mengakibatkan kontraksi terhadap perekonomian Indonesia. kenaikan tarif PPN tersebut diproyeksikan berdampak negatif terhadap ekonomi baik pertumbuhan ekonomi, inflasi, upah riil, ekspor, dan impor, serta konsumsi masyarakat juga akan menurun.
Berdasarkan perhitungan INDEF, jika skenario kenaikan tarif PPN sebesar 12,5 persen, upah nominal minus 5,86 persen, IHK minus 0,84 persen, pertumbuhan GDP minus 0,11 persen, konsumsi masyarakat anjlok 3,32 persen, ekspor akan minus 0,14 persen, dan impor juga diproyeksikan minus 7,02 persen.
Baca Juga
Artikel PPN Bakal Naik 12 %, Mimpi Buruk bagi Rakyat? ini menyita perhatian pembaca di Kanal Bisnis Liputan6.com pada Kamis, 12 September 2024. Ingin tahu artikel terpopuler lainnya di Kanal Bisnis Liputan6.com?
Advertisement
Berikut tiga artikel terpopuler di Kanal Bisnis Liputan6.com yang dirangkum pada Jumat (13/9/2024):
1. PPN Bakal Naik 12 %, Mimpi Buruk bagi Rakyat?
Direktur Eksekutif INDEF Esther Sri Astuti mengatakan, kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dinaikkan menjadi 12 persen pada 2025 akan mengakibatkan kontraksi terhadap perekonomian Indonesia.
"Kami coba menghitung jika skenario kenaikan tarif itu PPN 12,5 persen, maka yang terjadi adalah ternyata kenaikan tarif ini membuat perekonomian terkontraksi," kata Esther Diskusi Publik online bertajuk “Moneter dan Fiskal Ketat, Daya Beli Melarat”, Kamis (12/9/2024).
Menurut Esther, kenaikan PPN tersebut diproyeksikan berdampak negatif terhadap ekonomi baik pertumbuhan ekonomi, inflasi, upah riil, ekspor, dan impor, serta konsumsi masyarakat juga akan menurun.
"Artinya upah nominal itu juga akan turun, artinya income riil-nya juga turun, kemudian dari inflasi IHK juga akan terkontraksi menjadi minus, kemudian PDB juga atau pertumbuhan ekonomi juga akan turun, konsumsi masyarakat juga akan turun, ekspor dan impor pun juga akan turun," ujar dia.
2. Aturan Kemasan Rokok Polos Ancam Pedagang Kecil Gulung Tikar
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menolak rencana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek, atau plain packaging produk tembakau. Kebijakan tersebut tercantum dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Ketua Umum Aprindo, Roy N Mandey, juga mengkritik penerapan zonasi larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari institusi pendidikan, serta kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek.
Menurut Roy, sosialisasi terkait regulasi ini kurang memadai dan pelaksanaannya sulit diimplementasikan. Ia juga menyoroti potensi munculnya praktik pungli di lapangan akibat aturan ini.
"Pasal karet dalam PP ini hanya akan memberatkan pelaku usaha dan berpotensi dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu," ungkap Roy dalam keterangan tertulis, Kamis (12/9/2024).
Advertisement
3. Manchester United Masuk Klub Sepak Bola Paling Bernilai di Dunia, Meski Sering Dihujat
Manchester United terus mempertahankan statusnya sebagai salah satu klub sepak bola paling bernilai di dunia. Manchester United (MU) yang bermarkas di Old Trafford ini memiliki sejarah panjang dan prestasi gemilang, menjadikannya sebagai salah satu merek olahraga paling berpengaruh dan komersial di kancah internasional.
Menurut laporan tahunan Forbes, Manchester United konsisten masuk dalam daftar klub sepak bola dengan valuasi tertinggi di dunia. Pada tahun 2023, Forbes memperkirakan nilai klub ini mencapai sekitar $6 miliar atau setara dengan Rp 92,5 triliun.
Nilai ini tidak hanya didorong oleh prestasi di lapangan, tetapi juga kekuatan komersial yang tak tertandingi. Kesepakatan sponsorship besar dengan perusahaan global seperti Adidas, TeamViewer, dan Chevrolet telah memberikan suntikan finansial yang signifikan, memperkuat posisi klub di pasar global.
Terbaru, dikutip dari data Transfermarkt, Kamis (12/9/2024), MU kini menduduki peringkat ke-9 sebagai klub sepak bola yang memiliki nilai pasar termahal di dunia.