Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Agustus 2024 mencapai USD23,56 miliar, mengalami peningkatan sebesar 5,97 persen dibanding bulan sebelumnya.
"Pada Agustus 2024 nilai ekspor mencapai USD23,56 miliar atau naik 5,97 persen dibandingkan Juli 2024," kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Pudji Ismartini dalm rilis BPS Ekspor-Impor periode Agustus, Selasa (17/9/2024).
Untuk rinciannya, nilai ekspor migas tercatat USD1,20 milair atau turun 15,41 persen. Sementara itu, nilai ekspor non migas naik sebesar 7,43 persen dengan nilai USD22,36 miliar.
Advertisement
Peningkatan ekspor Agustus 2024 secara bulanan terutama didorong oleh peningkatan ekspor non-migas yaitu pada komoditas lemak dan minyak hewani atau nabati (HS 15) naik 24,50 persen dengan andil 2,12 persen.
Selanjutnya, bijih logam, terak dan abu (HS26) naik 47,23 persen dengan andil 1,50 persen. Lalu, mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya (HS 85) naik sebesar 12,54 persen dengan andil 0,73 persen.
Sementara, penurunan ekspor migas terutama didorong oleh penurunan ekpsor gas dengan andil sebesar minus 0,68 persen. Kemudian secara tahunan nilai ekspor Agustus 2024 mengalami peningkatan sebesar 7,13 persen.
"Kenaikan ini didorong oleh peningkatan ekspor nonmigas terutama pada logam mulia, perhiasan, dan permata (HS 71); bahan bakar mineral (HS27); mesin dan perlengakap elektrik serta bagiannya (HS85)," pungkasnya.
Deflasi 4 Bulan berturut-turut, Ini Dampaknya ke Sektor Keuangan
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae, mengatakan OJK selalu mewaspadai terkait terjadinya deflasi selama 4 bulan terakhir terhadap sektor keuangan.
"Perbankan juga selalu mewaspadai adanya faktor lain yang mengakibatkan terjadinya deflasi," kata Dian di Jakarta, Senin (16/9/2024).
OJKÂ pun berharap bahwa dampak dari deflasi tersebut tidak akan terlalu signifikan terhadap aktivitas ekonomi dan kinerja perusahaan ke depannya.
Dian menyampaikan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) inflasi berada pada tren menurun secara year-on-year, dan jika dilihat secara month-to-month, telah terjadi deflasi selama 4 bulan terakhir (sejak Mei 2024).
"Di sisi lain meskipun terjadi deflasi, namun inflasi inti masih tetap meningkat," ujarnya.
Menurut BPS, deflasi tersebut didorong dari sisi penawaran, khususnya akibat penurunan harga pada makanan, minuman dan tembakau.
Di sisi lain, saat ini kredit perbankan masih tumbuh tinggi mencapai 12,4% (yoy), dengan tingkat profitabilitas yang terjaga dan level permodalan yang kuat.
Di samping itu, OJK optimistis dengan adanya penurunan suku bunga global, aktivitas ekonomi global juga bisa meningkat sehingga berdampak pada pergerakan perekonomian domestik.
"Ke depannya seiring dengan penurunan suku bunga global, kita berharap aktivitas ekonomi global juga dapat meningkat dan berdampak pada pergerakan roda perekonomian yang lebih baik," pungkasnya.
Advertisement
Indonesia Deflasi 4 Bulan Berturut-turut, Ini Bahayanya
Sebelumnya, Ekonom Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita, menilai risiko dari deflasi yang berkelanjutan dalam empat bulan adalah penurunan tingkat konsumsi rumah tangga.
Sehingga sangat berpotesi akan menekan angka pertumbuhan ekonomi di kuartal III tahun ini, karena kontribusi konsumsi rumah tangga sangat besar kepada pertumbuhan ekonomi nasional.
Risiko lanjutanya yakni prospek investasi untuk beberapa sektor yang terkait dengan konsumsi rumah tangga dan daya beli sehari-sehari masyarakat akan memburuk di satu sisi. Bahkan berpotensi terjadinya PHK alias gulung tikar, misalnya untuk sektor consumer good, manufaktur, terutama tekstil, dan properti.
"Prospek investasi untuk sektor-sektor ini akan menurun. Karena para investor akan berfikir panjang untuk melakukan ekspansi bisnis atau investasi baru di sektor ini, karena prospek pasarnya memburuk," kata Ronny kepada Liputan6.com, Selasa (3/9/2024).
Sementara di sisi lain, dampak deflasi yang berturut-turut ini sudah imbasnya di sektor manufaktur yang eksis, aktivitas bisnis mereka terus tertekan. Kemudian, sebagian tenaga kerja akhirnya harus di "lay off" atau pemutusan kerja.
Â
Â