Liputan6.com, Jakarta Pertarungan politik jelang Pilkada 2024 kian memanas. Sejumlah calon kepala daerah mulai mengkampanyekan visi misinya dengan berbagai senjata, salah satunya data angka inflasi.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan, data penurunan inflasi kerap dipakai oleh beberapa kepala daerah yang akan kembali bertarung di Pilkada 2024 mendatang.
Advertisement
Baca Juga
"Teman-teman kepala daerah yang hasil pilkada, tekniknya datanya BPS kita live streaming-in, dan semua media kita minta untuk monitor, mendengar, dan tolong dipublikasi. Kenapa, karena sebentar lagi mau Pilkada," ujar Tito dalam Anugerah Hari Statistik Nasional 2024 di Grand Mercure Jakarta Kemayoran, Kamis (26/9/2024).
Tito menyebut, para petahana atau penjabat (Pj) kepala daerah kerap memamerkan penurunan inflasi di daerahnya guna mendongkrak elektabilitas.
Advertisement
"Kata-kata elektabilitas itu adalah kata-kata magic. Jadi kalau sudah dibacain dan satu daerah itu inflasinya terbaik, terkontrol dan kita berikan reward, itu nanti enggak lama viral untuk naikan elektabilitas," ungkapnya.
Lonjakan Inflasi
Sebaliknya, lonjakan inflasi di suatu daerah pun kerap dijadikan alat untuk menjungkalkan bos daerah yang bakal menjadi lawannya di Pilkada.
"Yang kira-kira rendah kita bacain aja terus, setelah itu kita tegur. Dan sampaikan kepada publik, kepala daerah ini enggak bisa ngendaliin daerahnya. Mudah (bagi) lawan politiknya, hajar," kata Tito.
Lebih lanjut, ia menyampaikan, banyak kepala daerah yang kini mulai fokus menangani inflasi di wilayah kekuasaannya. Terutama setelah ada ganjaran berupa Dana Insentif Daerah (DID) dari Kementerian Keuangan bagi pemerintah daerah yang mampu mengatasi lonjakan.
"Gara-gara saya memberikan punishment dan reward untuk inflasi, kan tiap tiga bulan sekali Menteri Keuangan memberikan Dana Insentif Daerah. Itu besarannya Rp 6-10 miliar per daerah yang dianggap bisa mengendalikan inflasi. Total satu tahun tuh Rp 1 triliun yang disiapkan Menteri Keuangan, ibu Sri Mulyani," urainya.
Inflasi Indonesia Pernah Nyaris 6%, Begini Kondisinya
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengungkapkan langkah strategis dalam menangani inflasi Indonesia yang sempat di angka 5,9 persen saat pandemi Covid-19.
Tito menceritakan pada September 2022 dirinya dipanggil oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menangani inflasi yang mendekati angka 6 persen itu.
Menurutnya, penanganan inflasi umumnya menggunakan instrumen perbankan, terutama melalui penyesuaian suku bunga dan stabilisasi nilai tukar mata uang.
"Di bulan September tahun 2022, saya dipanggil oleh Bapak Presiden Jokowi. Saat itu, inflasi kita 5,9 persen. Kemudian Pak Jokowi diskusi, menyampaikan Pak Tito, ilmunya menangani inflasi. Kalau pelajaran kampus, termasuk di Harvard pun, dimanapun, itu hanya menggunakan satu instrumen, yaitu instrumen dari perbankan," kata Tito dalam acara Anugrah Hari Statistik Nasional 2024, BPS, Jakarta, Rabu (26/9/2024).Tito menjelaskan jika inflasi meningkat, suku bunga perlu dinaikkan untuk menurunkan permintaan. Sebaliknya, ketika inflasi rendah, penurunan suku bunga dapat mendorong permintaan. Keseimbangan antara permintaan dan penawaran menjadi kunci dalam stabilitas harga.
"Supply dan demand, itu kunci tangan dari penanganan inflasi. Kalau cukup supply, sesuai dengan kebutuhan demand, makanya harga akan stabil. Kalau demand yang tinggi, supply-nya kurang, harga pasti akan naik," papar Tito.
Inflasi di Berbagai Negara
Dalam konteks global, Tito mengamati inflasi di berbagai negara, seperti Zimbabwe dan Turki, telah mencapai angka yang sangat tinggi, bahkan hingga ratusan persen. Hal ini membuat pemerintah Indonesia harus sangat berhati-hati agar inflasi tetap terjaga, terutama karena sebagian besar masyarakat Indonesia lebih fokus pada kebutuhan dasar.
"Inflasi saat itu banyak negara yang sudah sangat tinggi. Zimbabwae itu sudah ratusan persen. Kemudian, inflasi di Turki Inflasinya 60-70 persen. Libanon yang sekarang sedang konflik itu sudah kembali kepada manual. Banknya nggak hidup, sekarang orang gak percaya mata uang lokal, terjadi dolarisasi," jelasnya.
Â
Â
Advertisement
Penanganan Inflasi
Tito juga mencatat pentingnya data dalam penanganan inflasi. Dalam upayanya, ia meminta Badan Pusat Statistik (BPS) untuk aktif memantau inflasi di tingkat daerah.
Dengan menciptakan Indeks Perkembangan Harga (IPH) secara mingguan, BPS dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk mengidentifikasi daerah-daerah dengan inflasi tinggi atau rendah. Data ini menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan intervensi yang tepat.
"Nah belajar dari situ kemudian bagaimana kalau kita menangani inflasi yang sudah merangkak 6 persen berbasis daerah. Saya sampaikan Pak (Jokowi) kalau sudah begini kita harus punya data tiap-tiap daerah. Kalau untuk yang kemarin yang Covid itu kita mengandalkan dari Pemerintah Kesehatan, datanya," terang dia.
"Nah kalau ini saran saya Pak (Jokowi) dari BPS karena dia punya cabang sampai kabupaten, kota semuanya Pak. Nah akhirnya itulah intinya rapatlah kita beliau sepakat dan kemudian rapat kita meminta BPS untuk menggerakkan semua jejaringnya," sambungnya.
Â