Liputan6.com, Jakarta - Dua ekonom terkemuka, salah satunya adalah pemenang Nobel, telah memperingatkan agar tidak terlalu mengagung-agungkan kecerdasan buatan (AI).
Hal ini ketika OpenAI yang didukung Microsoft, yang berada di garis depan AI generatif, dinyatakan memiliki nilai lebih dari USD 157 miliar atau sekitar Rp 2.463 triliun (asumsi kurs dolar AS terhadap rupiah di kisaran 15.689) setelah putaran pendanaan baru.
Baca Juga
Dikutip melalui Wion, Senin (7/10/20240, dalam beberapa wawancara dan artikel, ekonom MIT, Daron Acemoglu, mengkritik euforia seputar AI. Rekan ekonom dan pemenang Nobel, Paul Romer, juga skeptis terhadap potensi keuntungan ekonomi yang dihasilkan oleh AI atau kecerdasan buatan.
Advertisement
Acemoglu memperingatkan hype ini dapat menyebabkan investasi yang sia-sia dan janji-janji yang tidak terpenuhi, bahkan bisa berujung pada krisis pasar yang mirip dengan keruntuhan pasar cryptocurrency.
Meskipun antusiasme tinggi, Acemoglu, yang merupakan ekonom berkebangsaan Turki-Amerika, merasa hanya lima persen dari pekerjaan global yang akan terpengaruh oleh AI dalam dekade mendatang. Gangguan yang sangat minim ini tidak akan memicu revolusi ekonomi, tegasnya.
Skenario masa depan untuk AI mungkin termasuk beberapa aplikasi sukses yang bertahan dan sisa hype yang mereda, serta siklus fluktuatif antara kegembiraan dan kekecewaan, prediksinya. Ia menambahkan, perusahaan yang menggantikan manusia dengan AI di tempat kerja pada akhirnya akan kembali mempekerjakan orang ketika mereka menyadari keterbatasan AI.
Daron Acemoglu: Optimisme AI Tanpa Bukti Empiris Bisa Jadi Bumerang
Sementara aplikasi seperti ChatGPT, model bahasa besar dari OpenAI, mendapatkan apresiasi, Acemoglu mengatakan AI tidak akan mampu menggantikan pekerja manusia dalam pekerjaan yang membutuhkan penilaian yang bernuansa.
"Anda memerlukan informasi yang sangat andal atau kemampuan model ini untuk melaksanakan langkah-langkah tertentu yang sebelumnya dilakukan oleh pekerja. Mereka bisa melakukannya di beberapa tempat dengan pengawasan manusia, seperti pemrograman, tetapi di sebagian besar tempat mereka tidak bisa. Ini adalah kenyataan di mana kita berada saat ini," katanya.
Studi yang meramalkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan dari AI tidak memiliki bukti empiris, tambahnya, sembari menunjukkan bahwa AI mungkin pada akhirnya memperburuk ketidaksetaraan.
Acemoglu mendorong pendekatan yang lebih teratur terhadap AI, alih-alih optimisme yang tidak kritis tentang teknologi ini. Ia juga memperingatkan bahwa kegilaan terhadap AI pada akhirnya bisa berakhir dengan keruntuhan saham teknologi dalam apa yang ia sebut "musim semi AI diikuti oleh musim dingin AI".
Advertisement
Revolusi AI? Phil Romer Peringatkan Bahaya Terjebak dalam Hype Teknologi
"Jika Anda mendengarkan pemimpin industri teknologi, peramal sektor bisnis, dan banyak media, Anda mungkin percaya bahwa kemajuan terbaru dalam AI generatif akan segera membawa manfaat produktivitas yang luar biasa, merevolusi kehidupan seperti yang kita kenal. Namun, baik teori ekonomi maupun data tidak mendukung ramalan yang berlebihan tersebut," ujarnya.
Dalam sebuah podcast baru-baru ini, seorang profesor di Boston College Phil Romer juga mencerminkan sentimen serupa. Mantan kepala ekonom Bank Dunia itu menyoroti beberapa teknologi yang baru-baru ini mendapat banyak hype, seperti kendaraan otonom, telah gagal.
"Saya pikir orang-orang terlalu terjebak dalam hype ini dan kehilangan perspektif,"
"Saya tidak berpikir AI adalah revolusi besar yang sedang kita alami saat ini." Ujar Romer
"Kendaraan otonom seharusnya menjadi aplikasi AI yang mematikan, dan ternyata itu menjadi kegagalan. Ada alasan mengapa Apple baru saja membatalkan proyek mobilnya," tambah Romer.