Liputan6.com, Jakarta Perekonomian Indonesia mengalami fenomena baru. Hal tersebut berupa deflasi yang dialami Indonesia 5 bulan beruntun. Secara umum, Deflasi merupakan kondisi di mana tingkat harga barang dan jasa secara umum mengalami penurunan dalam periode waktu tertentu.
Meskipun sering dianggap sebagai kebalikan dari inflasi, deflasi membawa tantangan dan peluang tersendiri bagi ekonomi suatu negara.
Advertisement
Baca Juga
Di Indonesia, fenomena deflasi dapat memberikan keuntungan bagi konsumen, namun juga menimbulkan sejumlah risiko bagi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Advertisement
Data terbaru, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Indonesia kembali deflasi pada September 2024. BPS mencatat, pada September 2024 terjadi deflasi 0,12 persen secara bulanan, atau terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 106,06 pada Agustus 2024 menjadi 105,93 pada September 2024.
Sementara itu, secara year on year (yoy) atau tahunan terjadi inflasi sebesar 1,84% dan secara tahun kalender ataupun year to date terjadi inflasi sebesar 0,74%.
Deflasi pada September 2024 merupakan capaian selama lima bulan berturut-turut. Bahkan, deflasi pada September 2024 lebih dalam dibandingkan Agustus 2024.
"Deflasi pada bulan September 2024 ini terlihat lebih dalam dibandingkan bulan Agustus 2024, dan ini merupakan deflasi kelima pada tahun 2024 secara bulanan," tutur Plt. Kepala BPS, Amalia A. Widyasanti, Selasa (1/10/2024).
Deflasi yang dialami Indonesia pada 2024 mulai terjadi pada Mei yaitu sebesar 0,03%. Kemudian pada Juni, Juli, Agustus, dan September 2024, Indonesia melanjutkan tren deflasi masing-masing sebesar 0,08%, 0,18%, 0,03%, dan 0,12%.
Deflasi 5 bulan berturut-turut ini membuat publik khawatir momen kelam pelemahan ekonomi tahun 1999 akan terulang.
Amalia menuturkan, deflasi pada tahun 1999 waktu itu terjadi selama tujuh bulan berturut-turut. Dalam catatannya, deflasi terjadi pada Maret hingga September.
Selain itu, Amalia juga mencatat, deflasi secara berturut-turut juga pernah terjadi pada Desember 2008 sampai dengan Januari 2009 akibat anjloknya harga minyak dunia.
Pengertian Deflasi
Deflasi adalah kebalikan dari inflasi, di mana terjadi penurunan harga barang dan jasa secara umum dalam suatu perekonomian. Ini berarti daya beli uang meningkat, karena dengan jumlah uang yang sama, konsumen dapat membeli lebih banyak barang dan jasa.
Meskipun sekilas terlihat menguntungkan bagi konsumen, deflasi sebenarnya dapat menimbulkan berbagai masalah ekonomi yang serius.
Deflasi sering diukur dengan indeks harga konsumen (IHK) atau indeks harga produsen (IHP). Ketika indeks ini menunjukkan penurunan yang konsisten, maka dapat dikatakan ekonomi sedang mengalami deflasi. Fenomena ini biasanya terjadi ketika ada penurunan permintaan agregat atau peningkatan pasokan barang dan jasa yang tidak diimbangi dengan peningkatan permintaan.
Penyebab Deflasi
Berikut penyebab deflasi yakni:
1. Penurunan Permintaan Agregat:
Salah satu penyebab utama deflasi adalah penurunan permintaan agregat. Ketika konsumen dan bisnis mengurangi pengeluaran mereka, permintaan terhadap barang dan jasa menurun. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain penurunan pendapatan, peningkatan pengangguran, atau ketidakpastian ekonomi.
2. Peningkatan Produktivitas:
Kemajuan teknologi dan peningkatan efisiensi produksi dapat menyebabkan peningkatan pasokan barang dan jasa. Jika peningkatan ini tidak diimbangi dengan peningkatan permintaan, harga-harga akan cenderung turun.
3. Kebijakan Moneter yang Ketat:
Kebijakan moneter yang ketat, seperti peningkatan suku bunga, dapat mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan penurunan permintaan dan berkontribusi terhadap deflasi.
4. Penurunan Harga Komoditas:
Penurunan harga komoditas penting, seperti minyak atau logam, dapat menyebabkan penurunan harga barang dan jasa secara umum. Hal ini dapat memicu deflasi, terutama di negara-negara yang bergantung pada ekspor komoditas tersebut.
5. Penguatan Mata Uang:
Mata uang yang kuat dapat membuat barang impor menjadi lebih murah, sehingga menekan harga barang dan jasa di dalam negeri.
Bahaya Deflasi
1. Pengangguran:
Deflasi dapat menyebabkan peningkatan pengangguran. Ketika harga-harga turun, perusahaan mungkin mengalami penurunan pendapatan, yang dapat memaksa untuk mengurangi produksi dan memberhentikan karyawan.
2. Beban Utang yang Meningkat:
Dalam kondisi deflasi, nilai riil dari utang meningkat. Ini berarti peminjam harus membayar kembali utang dengan uang yang lebih berharga, yang dapat meningkatkan beban utang dan menghambat konsumsi serta investasi.
3. Penundaan Konsumsi:
Ketika harga-harga diperkirakan akan terus turun, konsumen cenderung menunda pembelian dengan harapan mendapatkan harga yang lebih murah di masa depan. Hal ini dapat memperburuk penurunan permintaan agregat.
4. Resesi Ekonomi:
Deflasi yang berkepanjangan dapat menyebabkan resesi ekonomi. Dengan penurunan permintaan, produksi melambat, pengangguran meningkat, dan perekonomian secara keseluruhan mengalami kontraksi.
Dampak Deflasi
1. Dampak terhadap Konsumen:
Meskipun harga yang lebih rendah dapat menguntungkan konsumen dalam jangka pendek, dampak negatif jangka panjang, seperti pengangguran dan penurunan pendapatan, dapat mengurangi daya beli mereka.
2. Dampak terhadap Bisnis:
Bisnis mungkin menghadapi penurunan pendapatan dan keuntungan karena harga jual yang lebih rendah. Ini dapat mengakibatkan pengurangan investasi dan inovasi, serta peningkatan PHK.
3. Dampak terhadap Pemerintah:
Pemerintah mungkin mengalami penurunan pendapatan pajak karena aktivitas ekonomi yang melambat. Hal ini dapat membatasi kemampuan pemerintah untuk membiayai program sosial dan infrastruktur.
4. Dampak terhadap Sistem Keuangan:
Deflasi dapat meningkatkan risiko gagal bayar utang, baik di tingkat individu maupun perusahaan. Ini dapat membebani sistem keuangan dan memperburuk krisis ekonomi.
5. Dampak terhadap Investasi:
Deflasi dapat mengurangi insentif untuk berinvestasi, karena ekspektasi keuntungan menurun. Investor mungkin lebih memilih menyimpan uang tunai daripada menginvestasikannya dalam proyek yang berisiko.
Kata Pemerintah soal Deflasi
Tren deflasi yang terjadi di Indonesia ini pun membuat pemerintah buka suara. Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta publik memeriksa betul apa penyebab dari deflasi tersebut.
“(Apa) sebab penurunan harga barang? pasokannya baik, distribusinya baik, transportasi nggak ada hambatan atau (apa) karena memang ada daya beli yang berkurang?,” kata Jokowi kepada awak media di IKN.
Meski begitu, Jokowi memastikan deflasi dan inflasi harus dikendalikan, sehingga harga barang tetap stabil dan tidak merugikan produsen seperti petani, nelayan, pedagang UMKM atau pun pabrikan termasuk konsumen.
“Jangan sampai harga-harga terlalu rendah supaya produsen tidak dirugikan, supaya petani yang produksi tidak dirugikan. Itu menjaga keseimbangan itu yang tidak mudah dan kita akan berusaha terus,” pesan presiden.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pun ikut menanggapi. Menurutnya, Pemerintah memang berkomitmen untuk menekan inflasi. Lantaran yang paling penting adalah pertumbuhan inflasi intinya.
Menurutnya, jika inflasi meningkat maka langkah yang dilakukan pemerintah adalah menekan inflasi dengan mengendalikan harga pangan (volatile food). Sebab, harga pangan menyumbang cukup besar terhadap inflasi.
"Baru-baru ini memang sering media memplesetkan inflasi dan deflasi. Karena inflasi yang utama bagi pemerintah adalah core inflation. Kalau core inflation-nya tumbuh berarti ekonominya tumbuh. Kalau ekonomi tumbuh 5 persen core inflation tumbuh. Yang diperangi oleh pemerintah adalah volatile food," kata Airlangga dalam Sarasehan Kadin: ‘Dinamika Ekonomi 2024 dan Optimisme Masa Depan Indonesia', di Menara Kadin.
Sebab volatile food merupakan sumber inflasi yang harus diwaspadai. Dilansir dari laman Bank Indonesia, volatile food adalah inflasi yang dipengaruhi oleh kejutan dalam kelompok barang, seperti bahan makanan. Hal-hal yang bisa membuat harga bergejolak tiba-tiba, yaitu musim panen, gangguan alam, dan faktor perkembangan harga pangan domestik dan internasional.
Oleh karena itu, upaya yang dilakukan Pemerintah untuk mengendalikan volatile food melalui sinergi pengendalian inflasi Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah.
"Volatile food ini diperangi melalui TPIP. Nah, kebetulan tim pengendali inflasinya itu ketuanya Menko ekonomi. Wakilnya Gubernur BI. Jadi volatile food itu kita bisa jaga karena antar daerah pun kita kontrol," ujarnya.
Dengan demikian, kata Airlangga, deflasi yang terjadi saat ini merupakan hasil kerja keras Pemerintah Pusat dan daerah dalam mengendalikan volatile food. Sebagai contoh, Pemerintah telah melakukan impor beras untuk menjaga stok beras dalam negeri.
"Jadi kalau kita bilang inflasinya turun ke deflasi. Ya ini karena ada extra effort oleh pemerintah menurunkan volatile food. Salah satu misalnya untuk beras kan pemerintah juga melakukan importasi beras untuk menjaga stok beras. Jadi itu adalah kerja-kerja pemerintah. Dan tentunya inflasi ini perlu dijaga dalam range yang 2,5 plus minus 1 persen," pungkasnya.
Bukan Sinyal Bahaya
Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menilai deflasi yang berlangsung selama lima bulan berturut-turut bukanlah sinyal negatif bagi perekonomian.
"Kalau di deflasi ini, 5 bulan terutama dikontribusikan oleh penurunan harga pangan, itu menurut saya merupakan suatu perkembangan yang positif," kata Sri Mulyani saat ditemui di Kantornya, Senin (7/10/2024).
Menkeu menjelaskan, bahwa faktor pendorong deflasi adalah penurunan terhadap komponen harga bergejolak (volatile price). Justru deflasi ini merupakan bukti keberhasilan Pemerintah mengendalikan harga pangan yang sebelumnya sempat bergejolak.
"Di satu sisi penurunan yang berasal dari volatile food, itu adalah memang hal yang kita harapkan bisa menciptakan level harga makanan di level yang stabil rendah, itu baik untuk konsumen di Indonesia yang terutama menengah bahwa mayoritas belanjanya adalah untuk makanan," ujarnya.
Advertisement
Pengusaha dan Buruh Khawatir
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani ikut menyoroti deflasi yang dialami Indonesia selama 5 bulan berturut-turut.
Shinta mengkhawatirkan bahwa daya beli masyarakat akan terus menurun jika permasalahan deflasi ini tidak segera ditangani oleh pemerintah. Oleh karena itu, ia meminta pemerintah untuk segera menjaga daya beli masyarakat.
"Saya rasa kita tidak bisa melihat deflasi hanya sebagai deflasi saja. Jelas tadi disampaikan bahwa ada intervensi dari pemerintah, terutama dari volatilitas harga pangan yang menjadi masalah utama. Yang kita khawatirkan adalah dampaknya terhadap daya beli, dan ini sebenarnya kunci utama," ujar Shinta saat ditemui di Menara Kadin, Jakarta.
Shinta menjelaskan bahwa saat ini laju inflasi masih terjaga pada kisaran 2,5 persen ± 1 persen. Namun, yang menjadi masalah adalah dampak deflasi terhadap daya beli masyarakat.
"Kalau inflasi sangat terjaga, kita lihat deflasi pangan, dan inflasi masih dapat dikendalikan. Namun, yang menjadi perhatian adalah bagaimana pengaruhnya terhadap daya beli masyarakat, karena konsumsi domestik menjadi kunci utama dalam perekonomian kita," jelas Shinta.
Selain deflasi, Shinta juga menyoroti hal lain yang perlu diperhatikan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Salah satunya adalah industrialisasi dan hilirisasi yang harus terus ditingkatkan.
"Pekerjaan rumah yang harus terus kita lakukan adalah melalui industrialisasi, baik itu downstreaming maupun hilirisasi. Pengembangan industri hulu juga harus kita majukan," pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Umum KSPSI Moh Jumhur Hidayat mengatakan deflasi ini merupakan bukti lemahnya daya beli. Ia menilai, bukti rakyat dalam hal ini buruh dan petani tidak punya uang.
"Saldo dana masyarakat rata-rata di bank hanya Rp 1,8 juta saat ini dibanding Rp 3,8 juta pada 2014. Dampak nyata adalah turunnya produksi dan akhirnya PHK,” kata Jumhur kepada Liputan6.com.
Jumhur menambahkan, kondisi buruh saat ini semakin terancam PHK. Hal ini juga didorong semakin menjamurnya skema outsourcing dan kontrak serta kejahatan dalam proses rekrutmen seperti bayar mahal hingga modus "staycation".
Selain maraknya kejahatan pada proses rekrutmen, Jumhur menyarankan agar Pemerintah dapat meningkatkan nilai tukar petani sekitar 120 atau petani untung sekitar 20 persen dari usaha pada On Farm nya.
"Hentikan segala pungutan kepada rakyat, misalnya pungutan Tapera, Pensiun Tambahan hingga Asuransi Kendaraan Pihak Ketiga,” ujarnya.
Adapun, Jumhur menyarankan agar Pemerintah merevisi UU Cipta Kerja yang memiskinkan kaum buruh serta terus meningkatkan iklim investasi dengan kepastian hukum dan memberantas KKN.
"Perangi penyelundupan barang impor termasuk hentikan kecanduan impor yang memukul industri dalam negeri,” pungkasnya.
Tetap Percaya Pemerintah
Meski demikian Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Period 2024-2029 Anindya Bakrie, menyatakan pengusaha tetap percaya kepada Pemerintah meskipun Indonesia mengalami deflasi selama 5 bulan berturut-turut.
Anindya meyakini, Pemerintah bisa menghadapi kondisi ekonomi saat ini yang mengalami deflasi. Tercatat pada September 2024, RI kembali deflasi sebesar 0,12 persen secara bulanan.
"Tadi Pak Menko juga bercerita dengan deflasi dan inflasi. Intinya ada yang volatile, ada yang . Selama semua itu dijaga dengan baik, tentu dari sisi dunia usaha tetap percaya dengan pemerintah," kata Anindya saat ditemui di Menara Kadin.
Dia menuturkan, hingga kini laju inflasi di Indonesia masih terkendali. Hal itu merupakan hasil sinergi pengendalian inflasi Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah.
"Terutama dengan tim khusus yang dibuat dan diketuai oleh Pak Menko untuk menjaga inflasi. Dan sampai sekarang ini kita lihat masih under control,” kata dia.
Dampak ke Pertumbuhan Ekonomi
Sekretaris Jenderal Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), Reynaldi Sarijowan mengungkapkan tren deflasi dalam kurun waktu 5 bulan secara beruntun bisa terlhat secara nyata. Kondisi itu, tercermin dari minimnya belanja rumah tangga ke pasar tradisional.
Reynaldi Sarijowan mengatakan transaksi di pasar tradisional sebetulnya masih terus berjalan. Utamanya, untuk barang-barang kebutuhan pokok.
Hal ini menunjukkan daya beli yang masih bisa berjalan ditengah kondisi deflasi dalam 5 bulan berturut-turut.
"Kalau untuk daya beli di pasar itu tetap bergeliat. Artinya kebutuhan bahan pokok tetap terserap oleh rumah tangga karena kan wajib untuk memenuhi pasokan di rumah tangga," kata Reynaldi kepada Liputan6.com.
Beberapa produk yang dibeli berkisar pada kebutuhan pokok. Seperti beras, cabai, gula pasir, hingga minyak goreng. Dia menilai, produk-produk itu masih terus dibeli oleh ibu-ibu rumah tangga.
Kendati demikian, Reynaldi mencatat ada volume pembelian tersebut yang lebih rendah dari biasanya.
"Walaupun, volume pembeliannya sedikit berkurang karena sebelum deflasi terjadi itu biasanya rumah tangga memasok minyak goreng yang kemasan sederhana yang 2 liter pouch, 2 liter botol," jelasnya.
Dia mencatat, ibu-ibu yang belanja ke pasar kini hanya membeli 1 liter minyak goreng. Bahkan, ada beberapa lainnya yang hanya mampu membeli kemasan lebih kecil.
"Sekarang mungkin hanya mampu membeli 1 liter, 1 liter atau bahkan yang curah belinya seperempat liter. Nah hal-hal ini yang menurut kami (perlu) jadi fokus perhatian pemerintah," pungkasnya.
Sedangkan Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menilai pengaruh deflasi kepada pertumbuhan ekonomi akan cukup besar, karena kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB sangatlah besar, lebih dari 50 persen.
"Sehingga untuk bertahan di angka lima persen, pemerintah harus menambalnya dari sisi lain, terutama dari sisi peningkatan belanja pemerintah, baik untuk belanja produktif maupun belanja sosial kesejahteraan," kata Ronny kepada Liputan6.com.
Adapun terjadinya deflasi berturut-turut ini dipengaruhi oleh dua hal, yang pertama, karena penurunan permintaan akibat dari penurunan konsumsi dari kelas menengah. Sebagaimana data yang telah diumumkan BPS beberapa waktu lalu, jumlah menengah Indonesia memang menurun, akibat berbagai tekanan biaya hidup yang mereka alami.
Kedua, sebagaimana alasan pemerintah selama ini, permintaan yang menurun diikuti dengan supply atau pasokan barang-barang kebutuhan pokok yang cukup, sehingga tidak terjadi kenaikan harga yang berarti sejak beberapa bulan lalu, yakni sejak Indonesia mulai mengalami deflasi.
Maka langkah yang perlu dilakukan pemerintah, agar deflasi tidak berkelanjutan yakni menjaga agar daya beli masyarakat tidak semakin tertekan, sehingga tingkat konsumsi tidak turun drastis.
"Bentuknya bisa berupa bantuan sosial seperti komoditas pokok bersubsidi untuk kelas bawah, bantuan tunai langsung, dan sejenisnya," ujarnya.
Langkah selanjutnya, yakni mengakselerasi investasi, agar lapangan pekerjaan semakin luas. Logikanya, semakin banyak orang bekerja, semakin banyak yang berpendapatan, dan akan semakin banyak yang membelanjakannya untuk konsumsi dan sejenisnya.
Advertisement
Sisi Positif dan Negatif Deflasi
Tren deflasi dapat dilihat dari dua sisi. Pengamat Pasar Modal, Lanjar Nafi menilai, deflasi Indonesia secara bulanan dalam 5 bulan beruntun dapat menjadi indikator terjadinya penurunan permintaan atau daya beli masyarakat.
Meski begitu, kondisi demikian dapat secara tidak langsung mempengaruhi pasar modal, namun tergantung bagaimana kondisi makro ekonomi.
"Secara negatif, deflasi yang beruntun terjadi bisa mencerminkan melemahnya daya beli sehingga menimbulkan spekulasi sentimen negatif ke sektor ritel, properti, konsumsi primer dan siklikal," kata Lanjar kepada Liputan6.com.
Dengan adanya penurunan daya beli, Lanjar mengatakan investor akan memproyeksikan bahwa margin keuntungan yang didapat emiten akan lebih rendah.
Di sisi lain, emiten juga harus melakukan strategi efisiensi untuk menjaga biaya produksi berbanding dengan harga jual yang lebih ketat. Sehingga, sentimen dari sisi profitabilitas akan cenderung tertekan dan membuat investor akan berhati-hati dalam melakukan investasi di asset saham.
"Dampak secara positifnya, deflasi ini akan memaksa Bank Indonesia melonggarkan kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga lanjutan sebagai respon untuk mendorong sisi daya beli yang menurun," imbuh Lanjar.
Adapun penurunan suku bunga akan direspon positif untuk instrumen obligasi. Pasalnya, imbal hasil yang lebih tinggi dari suku bunga bank akan menjadi buruan investor.
Secara jangka panjang, saham sektor properti, perbankan, konstruksi dan teknologi akan diuntungkan lebih besar. Secara keseluruhan, Lanjar mengatakan semua sektor akan tetap diuntungkan seiring biaya pinjaman untuk ekspansi yang lebih murah.
"Instrumen yang menarik tentu, obligasi dengan kupon besar dan tenor yang lebih panjang. dengan pertimbangan penurunan suku bunga Bank Indonesia akan menarik minat investor ke instrumen obligasi, terutama obligasi pemerintah," ulas Lanjar.
Selain itu saham sektor perbankan, properti, konstruksi dan teknologi juga memiliki peluang dengan pertimbangkan biaya pinjaman untuk ekspansi mereka yang dapat lebih mudah dengan penurunan suku bunga.
Solusi Keluar dari Tren Deflasi
Fenomena deflasi ini perlu dianalisis dari dua sudut pandang ekonomi, yaitu sisi permintaan dan sisi penawaran, agar kita dapat mencapai kesimpulan yang lebih komprehensif.
Dari sisi permintaan, indikator-indikator ekonomi menunjukkan bahwa daya beli masyarakat sedang menurun. Pada Agustus 2024, LPEM UI melaporkan lebih dari 8,5 juta penduduk Indonesia telah turun kelas sejak 2018.
Selain itu, Ditjen Pajak juga mengungkapkan penerimaan pajak dari kelas menengah terus mengalami penurunan, mencapai hanya sekitar 1% dari total penerimaan pajak secara agregat.
Analis Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menyatakan daya beli masyarakat yang menjadi faktor konsumsi ini menjadi penopang signifikan pertumbuhan ekonomi, sehingga pemerintah harus cepat memberikan insentif tepat sasaran agar daya beli kembali terjaga.
Ajib menyebut ada tiga hal utama yang perlu menjadi prioritas kebijakan agar deflasi cepat menurun. Pertama adalah kebijakan fiskal.
Kuartal keempat ini menjadi landasan perekonomian kita akan memasuki tahun 2025, dimana pemerintah mempunyai ruang fiskal yang begitu sempit untuk bisa menggunakan kebijakan fiskal sebagai pengatur perekonomian, karena pemerintah membutuhkan dana yang besar untuk kebutuhan APBN.
"Kondisi ini yang kemudian menimbulkan kebijakan kontraproduktif terhadap perekonomian dan daya beli. Contohnya adalah narasi dan kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada tanggal 1 Januari 2025," kata Ajib.
Ajib menilai kondisi ini tentunya perlu dipertimbangkan ulang oleh pemerintah, karena masih banyak opsi lain dalam menambal keuangan negara tanpa membebani masyarakat luas.
Kedua adalah kebijakan moneter. Pada bulan September, Bank Indonesia (BI) sudah melakukan penyesuaian tingkat suku bunga acuan menjadi 6 persen. Harapan dunia usaha, pada kuartal keempat ini, BI kembali melakukan penyesuaian, misalnya diturunkan 25 basis poin.
"Dengan tingkat suku bunga acuan dibawah 6 persen, potensi likuiditas akan lebih banyak mengalir di sistem perekonomian indonesia, dan daya beli masyarakat akan mengalami kenaikan ketika kemudian perbankan juga mengikuti dengan menurunkan suku bunga kreditnya," terang dia.
Ketiga, Ajib melanjutkan adalah kebijakan investasi yang lebih berkualitas dan mampu menyerap tenaga kerja. Hal ini sejalan dengan konsep ekonomi yang masuk dalam Program Asta Cita pemerintahan Prabowo, yaitu penyediaan lapangan pekerjaan.
Ia menerangkan penyediaan lapangan kerja yang masif ini menjadi prasayarat agar pertumbuhan ekonomi bisa eskalatif di masa selanjutnya. Pengangguran yang menyentuh angka 7 juta orang perlu diserap dengan kebijakan investasi yang padat karya.
Di sisi lain, ia bilang kuartal keempat mempunyai momentum positif untuk kembali mendongkrak daya beli secara umum. Event besar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dijalankan secara serentak untuk 38 provinsi, 416 Kabupaten dan 98 Kota di Indonesia menjadi agregator belanja yang cukup signifikan.
"Alokasi dari APBN 2024 tidak kurang dari 30 triliun untuk pemilu. Alokasi dari pasangan calon dan peserta pilkada tentunya lebih besar lagi," terangnya.
Artinya, perputaran uang ini akan langsung mengalir di masyarakat, dalam bentuk barang maupun uang. Kontribusi pilkada serentak ini diharapkan memberikan kontribusi yang cukup signifikan, seperti halnya momentum lebaran terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2024.
"Kuartal keempat menjadi momentum pertumbuhan ekonomi lebih agresif dengan momentum pilkada serentak ini," tutup dia.