Liputan6.com, Jakarta - PT Sri Rejeki Isman (Sritex) akhirnya diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Kota Semarang. Presiden KSPI yang juga Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menegaskan bahwa runtuhnya Sritex secara khusus dan industri tekstil secara umum di Indonesia ini karena turunnya daya beli dan impor produk dari China.
Turunnya daya beli masyarakat, faktor utama yang menyebabkan runtuhnya industri tekstil dalam negeri akibat kebijakan upah yang tidak memadai selama tiga tahun terakhir, terutama sejak pemberlakuan Omnibus Law. Selain itu, kebijakan impor yang tidak terkendali juga semakin memperburuk situasi industri tekstil nasional
Baca Juga
"Upah buruh tidak naik atau bahkan berada di bawah tingkat inflasi, menyebabkan daya beli turun dan memicu deflasi," kata Iqbal dalam keterangannya di Jakarta, Senin (28/10/2024).
Advertisement
Dalam kasus Sritex, Iqbal menjelaskan bahwa perusahaan tersebut dipailitkan oleh Pengadilan Niaga Semarang setelah gagal membayar utang. Namun, penyebab pailit ini tidak ada hubungannya dengan kenaikan upah, melainkan kegagalan Sritex dalam memenuhi perjanjian homologasi selama 12 tahun.
"Pailit Sritex bukan akibat kenaikan upah. Upah di Sritex bahkan merupakan yang terendah di dunia," tegas Iqbal.
KSPI telah membentuk Posko Orange untuk mengadvokasi ribuan karyawan Sritex di Sukoharjo dan Semarang. Advokasi ini mencakup beberapa langkah penting.
Desakan Buruh
Pertama, KSPI mendesak Dinas Tenaga Kerja Sukoharjo dan dinas lainnya untuk menolak PHK yang diajukan oleh Sritex, karena pailit ini disebabkan oleh mismanajemen, bukan oleh persoalan perburuhan.
Kedua, karyawan yang terancam PHK harus tetap mendapatkan upah, dan yang ketiga, jika memang tidak ada pekerjaan maka karyawan dirumahkan dengan wajib tetap menerima upah sesuai aturan yang berlaku.
Keempat, pemerintah juga diharapkan ikut mengintervensi proses kasasi di Mahkamah Agung untuk membatalkan pailit Sritex. Selain itu, pemerintah perlu memberikan dana talangan sebesar guna menyelesaikan utang Sritex.
Iqbal menekankan bahwa langkah ini tidak perlu melibatkan banyak menteri, cukup satu pejabat yang mampu bertindak cepat untuk menyelesaikan masalah ini.
"Jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan, KSPI dan Partai Buruh siap terjun langsung membantu karyawan Sritex," tegasnya.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
Sritex Pailit, Perusahaan Tekstil Terbesar di Asia Tenggara
Sebelumnya, kabar tidak menggembirakan datang dari sektor manufaktur. Produsen tekstil dan produk tekstil, PT Sri Rejeki Isman (Sritex) akhirnya diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Kota Semarang.
Keputusan pailit setelah mengabulkan permohonan salah satu kreditur perusahaan tekstil tersebut yang meminta pembatalan perdamaian dalam penundaan kewajiban pembayaran utang yang sudah ada kesepakatan sebelumnya.
Juru Bicara Pengadilan Niaga Kota Semarang Haruno Patriadi di Semarang, Rabu, membenarkan putusan yang mengakibatkan PT Sritex pailit.
Menurut dia, putusan dalam persidangan yang dipimpin Hakim Ketua Muhammad Anshar Majid tersebut mengabulkan permohonan PT Indo Bharat Rayon sebagai debitur PT Sritex. "Mengabulkan permohonan pemohon. Membatalkan rencana perdamaian PKPU pada bulan Januari 2022," katanya.
Dalam putusan tersebut, kata dia, ditunjuk kurator dan hakim pengawas. "Selanjutnya kurator yang akan mengatur rapat dengan para debitur," tambahnya.
Pada bulan Januari 2022 PT Sritex digugat oleh salah satu debiturnya, CV Prima Karya, yang mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Pengadilan Niaga Kota Semarang mengabulkan gugatan PKPU terhadap PT Sritex dan tiga perusahaan tekstil lainnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, Sritex kembali digugat oleh PT Indo Bharat Rayon karena dianggap tidak penuhi kewajiban pembayaran utang yang sudah disepakati.
Advertisement
Sempat Bantah
Sritex sempat buka suara terkait isu yang menyebut perseroan tengah mengalami kebangkrutan.
Direktur Keuangan Sritex, Welly Salam menjelaskan perseroan tidak mengalami kebangkrutan dan masih beroperasi. “Tidak benar, karena perseroan masih beroperasi dan tidak ada putusan pailit dari pengadilan,” kata Welly dalam keterangan resmi pada keterbukaan informasi, dikutip Selasa (25/6/2024).
Meskipun begitu, Welly mengakui kinerja perseroan saat ini sedang mengalami penurunan pendapatan secara drastis yang disebabkan berbagai faktor yaitu akibat dari COVID-19 hingga adanya perang.
Hal ini membuat persaingan ketat di industri tekstil global. Kemudian, adanya over supply tekstil di China menyebabkan terjadinya penurunan harga.
“Produk dumping tersebut menyasar terutama ke negara-negara di luar Eropa dan China yang longgar aturan impornya, salah satunya Indonesia,” jelasnya.