Liputan6.com, Jakarta Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) Mirah Sumirat mengaku tak masalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 12 persen di 2025. Syaratnya, upah buruh juga naik sebesar 20 persen.
Menurutnya, kenaikan upah menjadi satu aspek penting untuk menghadapi tantangan di 2025. Kenaikan upah minimum bisa menjadi bantalan daya beli masyarakat.
Advertisement
Baca Juga
"Kalau seandainya, ini kan lagi musim kenaikan UMP nih ya, UMP 2025. Pemerintah berani saja menetapkan kenaikan UMP 2025 itu 20 persen, maka tadi rencana kenaikan PPN 12 persen enggak menjadi masalah tuh. Itu bagus, jadi dengan 20 persen itu maka masyarakat bisa menaikkan daya beli," kata Mirah kepada Liputan6.com, dikutip Jumat (29/11/2024).
Adanya kenaikan upah, kata dia, bisa juga menstimulasi kinerja perusahaan. Ketika pekerja mendapat upah layak, makan produktivitas turut terpengaruh menjadi lebih tinggi.
Advertisement
"Jadi kenaikan PPN 12 persen juga no problem, tidak ada persoalan gitu loh. Dan malah itu meningkatkan daya beli dan kemudian barang-barang produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan, dari mulai perusahaan kecil sampai besar itu akan terserap dengan baik kalau menurut saya," jelasnya.
Kenaikan Upah 20 Persen
Namun, sepengtahuannya, pemerintah masih belum mau memutuskan kenaikan upah 20 persen tersebut. Kabarnya, hanya ada kenaikan di bawah 6 persen.
Jika kondisinya demikian, buruh sekana jatuh tertimpa tangga, upah naik tipis, tapi dihadapkan dengan PPN 12 persen per 2025.
"Tapi kan pemerintah nggak mau menaikkan UMP 20 persen, masih berkutat saja, di bawah 6 perse malah. Nah itu kayak gitu. Jadi kalau itu dilakukan upahnya misalnya rendah, menaikkan upahnya rendah, lalu PPN 12 persen ya minus lah," ujarnya.
"Dipastikan akan terjadi kemiskinan yang meluas dan krisis ekonomi yang fatal dan berat setelah 1998 itu. Jadi saya kira ini akan terulang kembali kalau ini dipaksakan," sambung Mirah Sumirat.
PPN Naik Jadi 12%, Buruh Minta Jatah Bansos
Sebelumnya, pemerintah kembali melempar wacana menunda kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 12 persen. Ada janji stimulus yang bakal diberikan.
Menanggapi rencana itu, kelompok buruh turut meminta sejumlah stimulus hingga bantuan soal. Mulai dari penurunan harga bahan pokok hingga subsidi biaya transportasi publik.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi), Mirah Sumirat mengatakan hal itu perlu dilakukan pemerintah. Dia meminta harga pangan diturunkan sebesar 20 persen.
"Nah stimulus bagi pekerja atau buruh terkait ini adalah satu, turunkan harga. Kita butuhkan turunkan harga, terutama harga pangan 20 persen," kata Mirah kepada Liputan6.com, Kamis (28/11/2024).
Dia juga meminta pemerintah menurunkan harga sembako. Serta menambah sejumlah subsidi, termasuk transportasi publik hingga listrik.
"Kembalikan subsidi untuk rakyat, kemudian juga berikan subsidi di transportasi listrik, itu diberikan, lalu berikan juga bantuan sosial untuk buruh," ucapnya.
Menurutnya, kelompok buruh perlu juga mendapatkan bansos mengingat beban biaya hidup ditengah kondisi ekonomi nasional saat ini. Ditambah lagi, kelompok buruh tak masuk golongan yang mendapat bansos dari pemerintah.
"Karena memang bantuan sosial untuk buruh pekerja Indonesia itu nggak ada. Jadi data yang ada di RT, RW, Kelurahan untuk buruh nggak ada. Data penerima bahan sosial untuk buruh atau pekerjaan, terutama khususnya yang kena PHK itu nggak ada. Jadi itu yang harus diberikan," tuturnya.
Advertisement
PPN 12% Diprediksi Tambah Penerimaan Negara Rp 75 Triliun
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun depan diproyeksikan mampu menambah penerimaan negara hingga Rp75 triliun. Angka tersebut setara dengan kenaikan sekitar 15% dari prakiraan realisasi PPN pada tahun 2024.
Namun, Senior Economist Bright Institute, Awalil Rizky, menyatakan bahwa capaian tersebut kemungkinan belum cukup untuk memenuhi target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Berdasarkan proyeksi, penerimaan PPN harus tumbuh setidaknya 23,93 persen untuk mencapai target tersebut.
“Peningkatan PPN 12% sangat berpotensi menurunkan aktivitas ekonomi, sehingga tambahan Rp75 triliun itu mungkin sulit tercapai,” ujar Awalil dalam sebuah webinar yang digelar Rabu (27/11/2024).
Bright Institute memprakirakan realisasi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) pada tahun 2024 hanya mencapai Rp1.060 triliun atau 93 persen dari target APBN.
Sementara itu, penerimaan dari PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) diperkirakan mencapai Rp763 triliun atau 94 persen dari target.
Secara keseluruhan, penerimaan pajak pada tahun 2024 diprediksi hanya tumbuh 1,33 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini jauh di bawah target pemerintah yang sebelumnya dipatok pada 3,0 persen dalam outlook Nota Keuangan 2025 dan 9,0 persen dalam target awal APBN 2024.
Tantangan APBN 2025
Awalil menjelaskan bahwa untuk mencapai target penerimaan pajak dalam APBN 2025, pemerintah harus meningkatkan penerimaan perpajakan sebesar 11,48 persen pada tahun depan. Hal ini dinilai sulit dicapai tanpa kebijakan kenaikan pajak yang signifikan.
“Kebutuhan dana tahun 2025 akan jauh lebih sulit dari perkiraan pemerintah sebelumnya, yang sebenarnya sudah pesimis dibanding target awal APBN 2024 yang sangat optimis,” kata Awalil.
Ia juga menyoroti bahwa pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto memiliki rencana belanja yang jauh lebih besar melalui program-program baru, sehingga tekanan untuk meningkatkan pendapatan negara menjadi lebih tinggi.
Menurut Awalil, kebijakan menaikkan PPN dan pemberlakuan kembali tax amnesty yang baru dilakukan dua tahun lalu mencerminkan upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan di tengah situasi yang mendesak.
“Keadaan ini menunjukkan pemerintah terdesak untuk menaikkan pendapatan, dan kenaikan PPN menjadi salah satu solusi utama meskipun dampaknya pada ekonomi dapat menjadi kontraproduktif,” jelasnya.
Advertisement