Dolas AS Tembus Rp 16.200, Pertamina: Kami Sudah Mitigasi

Masyarakat tak perlu khawatir pada penyediaan energi dalam negeri, selama pasokan masih terjaga. Terlebih, masyarakat sudah menyesuaikan perubahan harga BBM nonsubsidi.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 19 Des 2024, 19:00 WIB
Diterbitkan 19 Des 2024, 19:00 WIB
Rupiah Menguat di Level Rp14.264 per Dolar AS
Pekerja menunjukan mata uang Rupiah dan Dolar AS di Jakarta, Rabu (19/6/2019). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sore ini Rabu (19/6) ditutup menguat sebesar Rp 14.269 per dolar AS atau menguat 56,0 poin (0,39 persen) dari penutupan sebelumnya. (Liputan6.com/Angga Yuniar )

Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina (Persero) telah mengantisipasi dan sudah memiliki skenario memitigasi pelemahan rupiah. Seperti diketahui, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS)  tembus 16.200 per dolar AS pada perdagangan hari ini.

Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan, perseroan sudah lama mengamati dan memitigasi pergerakan nilai tukar rupiah. Hal ini mengingat tarif minyak mentah dan BBM mengikuti nilai tukar di pasar spot.

Maka dari itu, Pertamina menyesuaikan harga jual BBM nonsubsidi setiap bulan.

"Kalau mitigasi (pelemahan rupiah) kita lakukan banyak hal di bidang keuangan, penyesuaian adjustment dari kurs sendiri, kita juga bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk mengatur stabilitas harga kurs,” ujar Fadjar di SPBG Pondok Ungu, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (19/12/2024).

Fadjar pun menyampaikan bahwa masyarakat tak perlu khawatir pada penyediaan energi dalam negeri, selama pasokan masih terjaga. Terlebih, masyarakat sudah menyesuaikan perubahan harga BBM nonsubsidi.

"Masyarakat juga sudah mulai menerima, sekarang harga BBM nonsubsidi setiap bulannya naik turun. Jadi Sudah banyak yang paham bahwa (harga BBM memang tergantung harga kurs, harga minyak dunia juga," pungkasnya.

Rupiah Melemah

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencatat pelemahan signifikan pada pembukaan perdagangan Kamis pagi (19/12/2024). Rupiah melemah 127 poin atau 0,79 persen ke level Rp16.225 per dolar AS, dibandingkan posisi sebelumnya di Rp16.098 per dolar AS.

Menurut Lukman Leong, analis mata uang Doo Financial Futures, pelemahan ini dipicu oleh pernyataan hawkish dari Ketua Federal Reserve Jerome Powell setelah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC).

 

Pernyataan Hawkish Powell

FOTO: Akhir Tahun, Nilai Tukar Rupiah Ditutup Menguat
Karyawan menunjukkan uang dolar AS dan rupiah di Jakarta, Rabu (30/12/2020). Nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup menguat 80 poin atau 0,57 persen ke level Rp 14.050 per dolar AS. (Liputan6.com/Johan Tallo)

The Fed memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin (bps), namun sinyal penurunan suku bunga pada 2025 menjadi lebih terbatas memicu penguatan tajam dolar AS.

“Powell menegaskan hanya akan ada pemangkasan suku bunga sebesar 50 bps tahun depan, turun dari perkiraan sebelumnya di kisaran 75-100 bps,” jelas Lukman dikutip dari Antara, kamis (19/12/2024).

Pernyataan hawkish Powell juga didukung oleh revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat.

Pertumbuhan ekonomi diperkirakan naik dari 2 persen menjadi 2,5 persen, sementara inflasi inti Personal Consumption Expenditure (PCE) diprediksi berada di kisaran 2,4-2,8 persen, masih di atas target 2 persen yang ditetapkan The Fed.

“The Fed juga mempertimbangkan dampak potensial dari kebijakan tarif yang mungkin diterapkan kembali oleh pemerintahan Trump tahun depan,” tambah Lukman.

Kata Bahlil

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia menyampaikan dampak nilai tukar rupiah yang tengah tertekan terhadap sektor energi dan pertambangan.

"Jadi begini, menyangkut dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar, ya kita tahu bahwa memang kondisi ekonomi global sekarang lagi tidak menentu. Pasti dampaknya juga kepada persoalan nilai tukar rupiah kita,” kata Bahlil saat ditemui di kantor BPH Migas, Jakarta, Kamis (19/12/2024).

Bahlil juga menyoroti salah satu sektor yang paling terpengaruh adalah Pertamina, perusahaan negara yang mengimpor sejumlah besar bahan bakar minyak (BBM) dan LPG, yang memerlukan devisa dalam jumlah besar, sekitar Rp500 triliun hingga Rp550 triliun per tahun.

"Di sektor ESDM, memang salah satu yang membutuhkan dolar paling banyak itu adalah Pertamina. (Alasan ya) Kita ini mengimpor mengimpor BBM kita termasuk LPG satu tahun, itu membutuhkan uang sekitar Rp500 triliun sampai Rp 550 triliun devisa kita keluar,” jelasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya