Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan sistem pembayaran menggunakan QRIS tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
“Payment sistem hari ini ramai, QRIS itu tidak dikenakan PPN sama seperti debit card dan transaksi lain,” kata Airlangga dalam pembukaan acara Launching of EPIC SALE di Alfamart Drive Thru Alam Sutera, Minggu (22/12/2024).
Advertisement
Baca Juga
Airlangga menambahkan pihaknya selalu memantau perkembangan apa yang sedang ramai di masyarakat. Ia menambahkan, PPN hanya dikenakan pada barangnya bukan pada sistem transaksinya.
Advertisement
Menko Perekonomian itu juga menekankan bahan pokok penting dan turunanya tidak akan dikenakan PPN. Selain itu untuk sektor transportasi, pendidikan, dan kesehatan juga tidak dikenakan PPN kecuali hal yang khusus.
“Berita akhir-akhir ini banyak yang salah. Pertama urusan bahan pokok penting tidak kena PPN termasuk turunannya turunan tepung, terigu turunan minyak kita, turunan gula. Bayar tol juga tak kena PPN,” jelas Airlangga.
Transaksi Uang Elektronik
Sebelumnya Beredar isu di masyarakat bahwa transaksi uang elektronik menjadi objek pajak yang dikenakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen mulai 1 Januari 2025. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun memberikan klarifikasi.
“Perlu kami tegaskan bahwa pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik sudah dilakukan sejak berlakunya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang berlaku sejak 1 Juli 1984, artinya bukan objek pajak baru,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti dikutip dari Antara, Jumat (20/12/2024).
UU PPN telah diperbarui dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam UU HPP, layanan uang elektronik tidak termasuk objek yang dibebaskan dari PPN. Artinya, ketika PPN naik menjadi 12 persen nanti, tarif tersebut juga berlaku untuk transaksi uang elektronik.
DJP: Bukan Objek Pajak Baru, Transaksi Uang Elektronik Kena PPN 12%
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menekankan, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada transaksi uang elektronik bukan merupakan objek pajak baru. Penegasan ini diutarakan demi menanggapi kabar transaksi uang elektronik akan turut terkena kenaikan PPN 12 persen mulai tahun depan.
"Jasa atas transaksi uang elektronik dan dompet digital selama ini telah dikenakan PPN sesuai ketentuan PMK (Peraturan Menteri Keuangan) 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial," jelas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, Sabtu (21/12/2024).
Namun, Dwi mengatakan, yang menjadi dasar pengenaan pajaknya bukan nilai pengisian uang (top up), saldo (balance), atau nilai transaksi jual beli. Melainkan atas jasa layanan penggunaan uang elektronik atau dompet digital tersebut.
"Artinya, jasa layanan uang elektronik dan dompet digital bukan merupakan objek pajak baru," ungkap dia.
Sebagai contoh, isi ulang atau top up uang elektronik sebesar Rp 1.000.000. Biaya top up misalnya Rp 1.500, maka PPN dihitung sebagai berikut:
11%xRp 1.500 = Rp 165.
Dengan kenaikan PPN 12%, PPN dihitung menjadi sebagai berikut:
12%xRp 1.500= Rp 180.
Jadi, kenaikannya PPN sebesar 1% hanya Rp 15.
Selain itu contoh lainnya, pengisian dompet digital (e-wallet) Rp 500 ribu. Transaksi itu misalnya kena biaya pengisian dompet digital Rp 1.500. Maka pengenaan PPN dihitung 12 persen dari Rp 1.500, dengan biaya tambahan Rp 180. Sebelumnya PPN dihitung 11 persen dari Rp 1.500 dengan biaya tambahan Rp 165. “Jadi kenaikannya PPN sebesar 1 persen hanya Rp 15,” demikian seperti dikutip.
"Artinya, berapa pun nilai uang yang di-top up tidak akan mempengaruhi PPN terutang atas transaksi tersebut, karena PPN hanya dikenakan atas biaya jasa layanan untuk top up tersebut. Sehingga, sepanjang biaya jasa layanan tidak berubah, maka dasar pengenaan PPN juga tidak berubah,” ujar Dwi.
Selain dompet digital, transaksi pembayaran melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) pun merupakan bagian dari Jasa Sistem Pembayaran.
Atas penyerahan jasa sistem pembayaran oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) kepada para merchant terutang PPN, sesuai ketentuan PMK 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
Advertisement
Bukan Objek Pajak Baru
Dengan begitu, penyelenggaraan jasa sistem pembayaran bukan merupakan objek pajak baru.Yang menjadi dasar pengenaan PPN adalah Merchant Discount Rate (MDR) yang dipungut oleh penyelenggara jasa dari pemilik merchant.
Begitu pun untuk biaya berlangganan platform digital seperti Netflix, Spotify, dan Youtube Premium. Itu merupakan objek pajak PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Ketentuannya diatur dalam PMK 60/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
“Selama ini, platform digital tersebut telah ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE. Artinya, atas biaya berlangganan platform digital bukan merupakan objek pajak baru,” ujar Dwi.
Selain itu, atas transaksi penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucer, selama ini sudah dipungut PPN sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021 tentang Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penghasilan atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer. Artinya, atas penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucher bukan merupakan objek pajak baru.