Liputan6.com, Jakarta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengapresiasi kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang memilih keluar dari Paris Agreement.
Menurut dia, keputusan Trump hengkang dari Paris Agreement membuat batu bara kembali dibutuhkan. Utamanya sebagai sumber kelistrikan yang lebih hemat biaya dibanding energi baru terbarukan (EBT).
Baca Juga
"Kita pikir batu bara udah mau selesai, eh bernyawa lagi barang ini. Jadi bapak/ibu semua, memang batu bara ini jujur saya katakan harganya jauh lebih murah," kata Bahlil di Mandiri Investment Forum 2025 di Fairmont Hotel, Jakarta, Selasa (11/2/2025).
Advertisement
Bahlil menilai, kebijakan Trump itu pun turut mengubah skema pemakaian energi di industri global. Yang tadinya banyak berpaku pemakaian energi hijau, kini energi fosil perlahan mulai kembali mendapat tempat.
"Di awal-awal hampir seluruh dunia berbicara tentang green energy. Industri yang berorientasi terhadap green energy dan green industry, untuk melahirkan produk yang bersih. Tapi begitu pak Trump jadi Presiden Amerika, ubah jalur ini semua, bubar jalan," ungkapnya.
Pengaruh ke Indonesia
Tak hanya secara global, Bahlil menyebut keputusan Amerika Serikat di bawah pimpinan Donald Trump juga turut berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah. Khususnya dalam pemyusunan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034.
"Tadinya, dalam RUPTL 2025-2034, saya tidak lagi menyusun batu bara. Tapi dengan keluarnya Amerika dari komitmen Paris Agreement, ya Amerika aja keluar kok, dia yang buat. Apalagi Indonesia, dia cuman ikut-ikut ini," beber Bahlil.
Â
Bakal Ikutan Keluar Paris Agreement?
Meskipun Amerika Serikat telah cabut dari Paris Agreement, Bahlil menekankan bahwa Indonesia tetap berkomitmen mengikuti perjanjian. Dengan catatan, pemerintah juga ingin memberikan harga energi yang terjangkau untuk masyarakat.
"Oh enggak ada. Kita masih tetap komitmen kok. Tapi, kita lihat skala prioritas untuk melihat keuangan negara, dan biaya listrik kita," kata Bahlil.
Sehingga, ia masih mempertimbangkan pemakaian pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Lantaran secara harga jauh lebih murah dibanding pemakaian EBT, dengan selisih Rp 5-6 triliun per 1 GW setiap tahunnya.
"Jadi Rp 5-6 triliun ini siapa yang mau nanggung? Negara? Subsidi lagi. Atau rakyat? Membebani rakyat. Saya kan harus berpikir mendahulukan kepentingan rakyat dong," sebut dia.
"Wong Amerika aja keluar dari Paris Agreement. Masa kita harus dipaksa-paksa terus," Bahlil menegaskan.
Â
Advertisement
Blending dengan Energi Terbarukan
Hanya saja, Bahlil bilang, bukan berarti Indonesia bakal meninggalkan tren pemakaian EBT. Ia berpikir agar Indonesia bisa menggunakan batu bara bersih untuk sumber kelistrikan.
"Tapi kita setuju loh untuk memakai energi baru terbarukan. Dengan cara tetap PLTU, tapi kita blending dengan gas, kemudian matahari. Atau, kita sedang mendesain untuk menangkap carbon capture-nya. Sehingga batu bara ini batu bara bersih," urainya.
Ke depan, ia pun tidak melupakan komitmen untuk memensiunkan PLTU batu bara. "Pensiun dini pasti ada waktunya untuk pensiun. Sekarang kan 600 MW yang kita lakukan di Cirebon," pungkas Bahlil.
![Loading](https://cdn-production-assets-kly.akamaized.net/assets/images/articles/loadingbox-liputan6.gif)