Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan tahunan (YoY) sebesar 5,02% pada kuartal IV 2024. Angka tersebut menandai pertumbuhan ekonomi yang cukup solid meskipun di tengah kondisi ekonomi global yang melambat.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan IV-2024 juga tercatat positif jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Q-to-Q), yakni tumbuh sebesar 0,53%.
Baca Juga
Dengan kinerja ekonomi yang mencatat pertumbuhan positif di akhir 2024, seberapa besar potensi untuk perekonomian domestik mencatat ekspansi di periode selanjutnya? Hal ini mengingat momentum Ramadan dan Idul Fitri yang akan mendorong konsumsi masyarakat di kuartal pertama 2025.
Advertisement
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira memperkirakan aktivitas ekonomi Indonesia tak akan mencatat pertumbuhan yang tidak signifikan, meski didukung oleh momentum Ramadan dan Idul Fitri.
"Artinya pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama 2025 diperkirakan akan rendah. Meskipun ada Ramadan dan Lebaran tetapi sulit berada di angka 5 persen," ungkap Bhima kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (27/2/2025).
Pasalnya, aktivitas ekonomi di masa Ramadan masih dihantui oleh tingginya angka Pemutusan Kerja (PHK) di sektor padat karya. Adapun di sektor hilirisasi industri ada beberapa perusahaan yang mengalami kendala dari sisi produksi olahan.
"(Kondisi) itu bisa berdampak juga pada pendapatan masyarakat terutama di daerah Sulawesi," papar Bhima.
Faktor pelemahan ekonomi lainnya, menurut Bhima, adalah efisiensi belanja pemerintah. Dia menjelaskan, langkah tersebut juga bisa berdampak terhadap pendapatan masyarakat dan pelaku usaha di sektor akomodasi perhotelan, restoran, catering, serta sewa kendaraan.
"Jadi efeknya juga akan memperlambat pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada waktu Ramadan dan Lebaran.
Insentif Listrik Berakhir hingga Permintaan Komsumen Belum Pulih
Faktor lainnya terkait juga dengan adanya insentif diskon listrik yang berakhir pada Februari 2025. Jadi ini juga akan membuat masyarakat lebih banyak menahan diri untuk berbelanja, lebih banyak saving," sambungnya.
Selain itu, pelemahan ekonomi juga disebabkan oleh situasi eksternal dari segi kinerja ekspor, kata Bhima.
"Ada perang dagang, jadi menengah ke atasnya cenderung untuk lebih banyak saving daripada berbelanja. Jadi inflasi yang rendah juga menjelang Ramadan ini jadi bertanda bahwa sisi permintaan belum membaik," bebernya.
Advertisement
3 Kebijakan Donald Trump yang Bisa Berdampak Besar pada Ekonomi RI
Diwartakan sebelumnya, Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri mengingatkan bahwa kebijakan ekonomi yang diterapkan Donald Trump selama masa pemerintahannya memiliki dampak besar terhadap ekonomi global, termasuk Indonesia.
Chatib Basri membeberkan, ada tiga kebijakan utama Trump yang berpotensi mengguncang stabilitas keuangan dunia.
Kebijakan Tarif
Chatib menjelaskan, kebijakan tarif yang diterapkan Donald Trump terhadap berbagai produk impor berdampak langsung pada industri manufaktur di Amerika Serikat (AS). Ini karena, 52 persen dari bahan baku dan bahan modal industri AS berasal dari impor.
"Jika tarif dinaikkan entah 10%, 25%, atau berapa persen pun, itu akan membuat biaya produksi akan meningkat,” kata Chatib dalam pemaparannya pada acara SMBC Indonesia Economic Outlook 2025, Selasa (18/2/2025).
Chatib menuturkan dampak pertama yang akan terjadi akibat hal ini adalah kondisi inflasi AS yang tinggi. Inflasi yang tinggi ini membuat The Federal Reserve (The Fed) atau bank sentral AS akan kesulitan menurunkan suku bunga.
Dalam pertemuan di World Economic Forum di Davos, Chatib mendiskusikan hal ini dengan para ekonom dunia, termasuk mantan Menteri Keuangan AS, Larry Summers.
Chatib bilang, konsensus yang ada saat itu, Larry mengatakan ini mungkin kondisi yang paling pesimistis di dalam kondisi di AS. Saat itu Larry mengatakan dirinya tidak terlalu terkejut ketika ketua The Fed, Jerome Powell menyatakan tidak banyak ruang untuk The Fed menurunkan suku bunga.
Pemotongan Pajak (Tax Cut)
Kebijakan kedua yang diterapkan Trump adalah pemotongan pajak besar-besaran (tax cut). Chatib menuturkan implikasi dari kebijakan ini adalah defisit anggaran AS akan meningkat.
"Untuk menutupi defisit ini, pemerintah AS harus menerbitkan lebih banyak obligasi (bond), yang berarti peningkatan supply obligasi, maka harganya turun dan yield naik. Dalam kondisi ini akan sulit untuk The Fed menurunkan suku bunga,” tutur Chatib.
Deportasi
Trump juga memperketat kebijakan imigrasi dengan mendeportasi pekerja undocumented (tanpa dokumen resmi). Chatib mengungkapkan, sebagian besar posisi yang disebut dengan unskilled worker di AS didominasi oleh mereka yang disebut dengan undocumented worker.
"Kalau kemudian kelompok ini dideportasi maka harus diisi yang tingkat upahnya lebih tinggi. Ini akan membuat Inflasi di AS akan meningkat karena pasar tenaga kerja supply nya berkurang," ujarnya.
Ketika mereka dipulangkan, industri di AS harus mencari tenaga kerja baru dengan upah yang lebih tinggi, yang pada akhirnya kembali memicu kenaikan inflasi.
Advertisement
