Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai bahwa badai PHK yang saat ini sedang marak di manufaktur Indonesia menandakan kondisi ekonomi yang kurang baik.
Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Apindo, Sarman Simanjorang mengatakan, ia mengamati PHK di manufaktur padat karya dalam negeri memiliki hubungan dengan berbagai tantangan dari sisi pengaruh kondisi ekonomi global dan geopolitik yang terjadi di mancanegara.
Advertisement
Baca Juga
"Tentu ini akan sangat mengganggu ekspor dalam hal ini. Dan kita tahu bahwa ekspor ini salah satu yang sangat memberikan kontribusi dari sisi industri padat karya," ujar Sarman kepada Liputan6.com di Jakarta, dikutip Selasa (4/3/2025).
Advertisement
Sarman mencatat, industri padat karya Indonesia belum pulih 100% sejak pandemi COVID-19 usai.
"Ketika kita baru selesai COVID-19, kita dihadapkan juga dengan geopolitik perang yang terjadi, sehingga ini semakin memukul industri padat karya kita, sehingga memang kita lihat bahwa industri padat karya kita ini seperti tekstil, garmen, ales kaki, dan lain-lain, ya sudah melakukan pengurangan karyawan, bahkan sudah melakukan PHK dan baru-baru ini kita lihat hampir 10 ribu lebih pekerja sritex, salah satu industri tekstil terbesar di Indonesia juga melakukan PHK yang sangat kita sayangkan dalam hal ini," paparnya.
Sarman juga melihat, PHK massal yang terjadi menjadi satu tantangan bagi pengusaha untuk memaksimalkan masuknya investor-investor yang selama ini memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi kepada Indonesia.
"Karena memang investor ini menjadi salah satu andalan kita saat ini, dengan mereka masuk ke Indonesia tentu akan membuka lapangan pekerjaan dan juga akan memperkuat ketahanan defisit kita dalam hal ini. Itu yang pertama," jelasnya.
Maka dari itu, ia berharap agar pemerintah mempercepat lagi proses hilirisasi. Menurutnya, masih banyak peluang-peluang hilirisasi tambang-tambang di Indonesia, salah satunya adalah bauksit dan emas
Harus Ada Lapangan Kerja Baru
Selain itu, Sarman juga berharap UMKM masih bisa meningkatkan produktivitas dan kinerjanya, mengingat semakin banyak masyarakat yang membutuhkan lapangan pekerjaan.
"Saya rasa pemerintah juga harus membuat suatu terobosan-terobosan baru bagaimana agar terciptanya lapangan-lapangan pekerjaan baru. Kemudian juga mungkin berbagai program-program yang ada di daerah, terutama di desa-desa dengan adanya katakanlah dana-dana desa yang untuk dapat dilakukan sesuai kelola melalui pembangunan-pembangunan investasi yang ada di desa dan itu juga bisa menjadi salah satu peluang juga untuk katakanlah menyediakan lapangan pekerjaan untuk anak-anak kita di desa," imbuhnya.
Seperti diketahui, Badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melanda sejumlah perusahaan di berbagai sektor yang mengalami kebangkrutan.
Salah satu perusahaan yang mengalami kebangkrutan yakni PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex. Kondisi tersebut membuat raksasa tekstil nasional itu melakukan penutupan operasional salah satu pabriknya per 1 Maret 2025, dan melakukan PHK terhadap ribuan pekerjanya.
Kemudian ada PT Sanken Indonesia yang juga mengumumkan penutupan semua lini produksinya di kawasan industri MM 2100, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Sebanyak 400 pekerja diperkirakan akan terdampak keputusan tersebut pada Juni 2025.
Adapun di sektor manufaktur alat musik, PT Yamaha Music Manufacturing Indonesia yang dilanda badai PHK imbas pemberhentian produksi dan merumahkan 2.700 karyawan.
Advertisement
Tantangan Industri Padat Karya di 2025
Adapun Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani menilai bahwa dinamika ketenagakerjaan saat ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat mikro atau terkait kondisi internal keuangan perusahaan masing-masing, maupun faktor yang sifatnya makro termasuk kondisi ekonomi global, perubahan tren industri, kenaikan biaya produksi dan kompetisi dengan produk impor, serta kebijakan ketenagakerjaan yang berlaku.
"Dalam menanggapi dinamika ini, perlu dilakukan analisis secara komprehensif dan berbasis data dengan melihatnya secara case by case. Penting untuk memahami apakah dinamika ketenagakerjaan yang terjadi merupakan keputusan bisnis yang bersifat individual atau mencerminkan tantangan industri secara makro," kata Shinta Kamdani, Selasa (4/3/2025).
Shinta mengungkapkan, pihaknya mencermati bahwa beberapa sektor industri saat ini menghadapi tekanan ekonomi yang signifikan, yang berdampak pada keputusan bisnis yang sulit, termasuk pengurangan tenaga kerja.
Dia mengutip Outlook Ekonomi dan Bisnis 2025 yang telah dirilis Apindo sebelumnya, bahwa industri padat karya diprediksi masih akan menghadapi berbagai tantangan besar sepanjang tahun ini.
"Salah satu isu fundamental yang harus kita hadapi bersama adalah gejala deindustrialisasi dini, yang ditandai dengan terus menurunnya kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB, dari 29% pada tahun 2001 menjadi hanya 19% pada tahun 2024. Tren ini menunjukkan bahwa sektor industri, khususnya padat karya, membutuhkan kebijakan yang lebih mendukung agar tetap mampu bersaing dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional," paparnya.
Shinta pun menyoroti sejumlah tantangan yang dihadapi industri padat karya masih berkisar pada struktur biaya operasional yang tinggi.
Tingginya biaya tersebut mencakup logistik, kenaikan biaya produksi, kenaikan UMP yang cukup signifikan, serta tekanan dari kompetitor di negara lain yang memiliki biaya tenaga kerja lebih rendah, juga pergantian regulasi ketenagakerjaan yang terlalu sering yang menciptakan ketidakpastian yang berdampak pada minat investasi.
Pentingnya Reformasi Struktural
"Oleh karena itu, Apindo terus berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait guna mencari solusi terbaik bagi dunia usaha dan tenaga kerja, termasuk melalui peningkatan keterampilan baik itu upskilling maupun reskilling, serta kebijakan ketenagakerjaan yang mendukung peningkatan investasi pada sektor padat karya," tutur Shinta.
Shinta lebih lanjut menyarankan Pemerintah agar memastikan berjalannya reformasi struktural yang berfokus pada efisiensi biaya operasional, seperti penurunan biaya logistik, efisiensi rantai pasok, dan penyederhanaan regulasi yang sering kali menjadi hambatan bagi pelaku usaha.
"Dalam hal ini, APINDO berharap agar pemerintah terus menjalin dialog terbuka dengan dunia usaha untuk menyempurnakan kebijakan yang ada, sehingga mampu menciptakan ekosistem bisnis yang lebih sehat, berdaya saing, dan berkelanjutan," kata Shinta.
"APINDO juga senantiasa mendorong perusahaan untuk mengedepankan dialog sosial dengan para pekerja serta mengupayakan langkah-langkah yang mendukung keberlangsungan usaha dan perlindungan tenaga kerja," tuturnya.
Advertisement
