Liputan6.com, Jakarta Chief economist Permata Bank, Josua Pardede memperkirakan bahwa kebijakan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dapat memberi peluang pada penguatan Rupiah.
Dengan catatan, kebijakan Devisa Hasil Ekspor tersebut perlu menghasilkan penerimaan yang besar.
Baca Juga
“Kalau kebijakan DHA ini berhasil, ataupun sesuai dengan harapan pemerintah dimana ada tambahan devisa, katalan saja antara USD 60 sampai 80 miliar di tahun ini tentunya ini akan bisa mendorong ataupun bisa memberikan dampak positif pada Rupiah,” kata Josua dalam Paparan Publik Permata Bank di Jakarta, Jumat (7/3/2025).
Advertisement
“Sehingga diharapkan, meskipun memang kami belum bisa melihat jangka pendek (hasil DHE SDA) mungkin Rupiah masih akan berkisar di Rp16,000. Tapi itu subjek itu lagi bagaimana perkembangan dari sisi kebijakan DHE,” jelasnya.
Namun Josua juga melihat, pergerakan Rupiah tahun ini akan tak jauh berbeda dibandingkan dengan tahun lalu. Hal itu mengingat tantangan eksternal, salah satunya kebijakan tarif impor AS dan potensi dari perang dagang AS-China yang dampaknya diantisipasi cukup luas.
“Di lain kami juga melihat bahwa ada kebijakan kewajiban DHE yang juga sudah berlaku di bulan ini. Sehingga kami melihat ada kombinasi dampaknya dengan faktor eksternal dengan kebijakan dalam negeri. Juga bagaimana upaya-upaya untuk meningkatkan dari sisi nilai tambah ekspor melalui program prioritas pemerintah juga, melalui program Hilirisasi diharapkan akan bisa meningkatkan suplai falas dalam negeri,” papar Josua.
Rupiah Lesu di Rp16.300 Kamis 7 Maret 2025
Sebelumnya, Rupiah mengalami pelemahan pada Kamis, 6 Maret 2025.
Pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi mengungkapkan bahwa Rupiah terpantau ditutup melemah 27 point terhadap Dolar AS (USD), setelah sebelumnya sempat menguat 50 point di level Rp.16.339 dari penutupan sebelumnya di level Rp.16.312.
“Sedangkan untuk perdagangan besok, mata uang Rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp 16.320 - Rp 16.370,” kata Ibrahim dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Jumat (7/3). Seperti diketahui, Presiden AS Donald Trump telah mulai memberlakukan tarif impor terhadap Tiongkok, Kanada, dan Meksiko mulai minggu ini.
Trump menyoroti rencana untuk tindakan tarif yang lebih ketat selama pidatonya di Kongres. “Rencana Trump untuk tarif timbal balik juga akan berdampak pada ekonomi berorientasi ekspor utama di Asia, terutama Korea Selatan, Australia, Taiwan, dan Singapura,” Ibrahim menyoroti.
“Namun, pasar sedikit lega setelah Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick menyatakan bahwa Trump mungkin terbuka untuk mencapai kesepakatan perdagangan dengan Kanada dan Meksiko,” lanjutnya.
Advertisement
Tiongkok Bakal Kenakan Tarif pada Impor Pertanian AS
Dalam responnya pada tarif impor AS, Tiongkok mengumumkan serangkaian tindakan balasan yang menargetkan impor pertanian AS dan sektor lainnya.
“Fokus juga tertuju pada lebih banyak langkah stimulus dari Tiongkok saat Kongres Rakyat Nasional dimulai.Pemerintah diharapkan menguraikan lebih banyak stimulus untuk mendukung ekonomi Tiongkok, terutama dalam menghadapi hambatan terkait perdagangan,” bebernya.
Tiongkok sendiri telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi di kisaran 5% untuk tahun 2025, mempertahankan target tersebut untuk tahun ketiga berturut-turut.
Beijing juga mengumumkan akan menaikkan belanja fiskal dan menjanjikan langkah-langkah yang ditargetkan untuk meningkatkan konsumsi swasta dalam beberapa bulan mendatang.
