Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah lesu terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Rabu, 12 Maret 2025. Pergerakan rupiah yang melemah ini terjadi di tengah pelaku pasar bersiap hadapi data ekonomi AS.
Pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi menuturkan, Rupiah ditutup melemah 43 poin terhadap dolar AS (USD), setelah sempat melemah 60 poin di level Rp 16.452 dari penutupan sebelumnya di level Rp 16.408.
Advertisement
Baca Juga
"Sedangkan untuk perdagangan besok, mata uang Rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp 16.440 - Rp 16.500," ungkap Ibrahim dalam keterangan di Jakarta, Rabu (12/3/2025).
Advertisement
Rupiah melanjutkan penurunan ketika para pedagang tengah bersiap untuk data indeks harga konsumen utama AS, yang akan memberikan lebih banyak petunjuk tentang ekonomi. Data inflasi utama juga diharapkan dapat memberikan wawasan tentang keputusan suku bunga Federal Reserve di masa mendatang.
"Pasar khawatir agenda tarif Trump akan mendukung inflasi dan mencegah Federal Reserve memangkas suku bunga segera, dengan pembacaan hari Rabu diharapkan akan memperkuat gagasan ini,” kata Ibrahim.
Sebelumnya, pejabat The Federal Reserve (the Fed) atau bank sental AS telah mengindikasikan pemotongan suku bunga jangka pendek tidak mungkin terjadi.
Bank sentral AS itu juga menekankan kewaspadaan atas risiko inflasi, terutama mengingat kebijakan tarif baru-baru ini. Fed dijadwalkan bertemu pada 18-19 Maret untuk memutuskan suku bunga.
"Pasar khawatir agenda tarif Trump akan mendukung inflasi setelah tarif baja dan aluminium Trump sebesar 25% mulai berlaku, yang meningkatkan ketegangan perdagangan global,” beber Ibrahim.
Babak Baru Tarif Impor Donald Trump
Ia melihat, kebijakan tarif impor Trump memengaruhi berbagai macam produk, mulai dari komponen mesin industri hingga barang sehari-hari seperti kaleng soda.
Sebelum pemberlakuan tarif impor, Trump sempat mengusulkan peningkatan tarif impor baja dan aluminium Kanada hingga menjadi 50%, yang menjadi reaksi terhadap pembatasan perdagangan baru Ontario.
Namun, setelah diskusi antara Perdana Menteri Ontario Doug Ford dan Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick, Ontario setuju untuk menangguhkan biaya tambahan sebesar 25% atas ekspor listrik ke AS.
Setelah keputusan itu, pemerintahan Trump membatalkan usulan kenaikan tarif sebesar 50%, dan mempertahankan tarif yang berlaku saat ini sebesar 25%.
Advertisement
Wakil PM Singapura: Ekonomi Asia Akan Tetap Cerah Meski Ada Perang Dagang AS-China
Ekonomi Asia diperkirakan tetap mendapat peluang pertumbuhan meski adanya ketegangan perdagangan global. Optimisme itu diungkapkan oleh Wakil Perdana Menteri Singapura, Gan Kim Yong.
"Meskipun sebagian dari kita di Asia mungkin tidak terpengaruh secara langsung, dampak dari meningkatnya tarif dan perang dagang dapat menyebabkan gangguan besar pada rantai pasokan, memperlambat arus perdagangan dan investasi, dan secara signifikan menghambat pertumbuhan ekonomi global," kata Gan Kim Yong, dikutip dari CNBC International, Rabu (12/3/2025).
Gan Kim Yong menuturkan, ada alasan untuk tetap optimis terhadap Asia, di mana ekonomi kawasan tersebut diproyeksikan akan berkembang dari sekitar 50% PDB dunia saat ini menjadi sekitar 60% pada 2030. Asia Tenggara juga diproyeksikan akan menjadi ekonomi terbesar keempat di dunia pada 2030, Wakil PM Singapura menyoroti.
"Asia kemudian harus diposisikan sebagai area perdagangan yang terbuka, terpadu, dan inovatif,” ucapnya.
"Banyak dari kita di Asia menyaksikan dengan cemas tarif Presiden Donald Trump pada tiga mitra dagang terbesar AS, dan rencananya untuk lebih banyak lagi, termasuk tarif timbal balik untuk menyamai bea masuk atas ekspor AS,” papar Gan Kim Yong dalam wawancara CONVERGE LIVE CNBC di Singapura.
Di sisi lain, meskipun dampak langsung dari tarif AS terhadap Singapura kemungkinan akan "terbatas" karena negara tersebut mengalami defisit perdagangan dengan AS, konsekuensinya tidak dapat diremehkan dalam jangka panjang.
Pada 2024, AS mengalami surplus perdagangan dengan Singapura sebesar USD 2,8 miliar.
"Rantai pasokan dan pola perdagangan akan bergeser, karena perusahaan menilai lokasi untuk basis produksi mereka, yang menyebabkan gesekan yang lebih besar dan biaya yang lebih besar dalam ekonomi global yang dapat memperlambatnya,” kata Gan Kim Yong.
