Sukses

Tak Mau Kalah Saing, AS Kritik Ketatnya Regulasi Keuangan di Sejumlah Negara

China menjadi salah satu fokus utama dalam laporan tahunan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025. Negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia ini telah melakukan sejumlah reformasi signifikan selama beberapa tahun terakhir.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Amerika Serikat, melalui laporan tahunan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025, kembali menegaskan pentingnya keterbukaan dan keadilan dalam sistem perdagangan global, khususnya di sektor layanan keuangan.

Laporan ini secara rinci menyoroti berbagai hambatan yang masih dihadapi oleh lembaga keuangan asal Amerika Serikat (AS) dalam mengakses pasar di berbagai negara mitra dagang.

Tak hanya Indonesia yang dikritik AS, melainkan ada sejumlah negara besar yang turut dikritik, berikut daftarnya:

1. China

China menjadi salah satu fokus utama dalam laporan tersebut. Negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia ini telah melakukan sejumlah reformasi signifikan selama beberapa tahun terakhir.

Pemerintah China telah mencabut batas kepemilikan saham asing di sektor perbankan dan menghapus persyaratan aset minimum untuk lembaga asing yang ingin membuka cabang atau anak perusahaan.

"Pembatasan ini telah menghalangi bank asing untuk mendirikan, mengembangkan, dan memperoleh pangsa pasar yang signifikan di China, termasuk melalui kontrol modal dan ambang batas aset minimum," tulis USTR.

Namun demikian, laporan USTR mencatat bahwa masih terdapat tantangan serius, seperti kontrol modal yang ketat, proses perizinan yang panjang dan tidak transparan, serta hambatan non-tarif lainnya.

Selain itu, lingkungan persaingan di China masih cenderung memihak perusahaan domestik, sehingga menyulitkan bank asing untuk bersaing secara setara.

2. Ethiopia

Pada Desember 2024, Parlemen Ethiopia menyetujui proklamasi perbankan yang memungkinkan bank asing untuk memasuki sektor keuangan negara tersebut, meskipun teks proklamasi tersebut belum dipublikasikan pada saat itu.

Undang-undang baru ini memungkinkan kepemilikan asing yang lebih besar di bank-bank Ethiopia, yang memberi izin bagi bank asing untuk membuka cabang, mendirikan anak perusahaan, atau membeli saham di bank-bank Ethiopia yang ada.

"Namun, undang-undang ini masih membatasi kepemilikan asing di bank-bank Ethiopia, membatasi jumlah saham yang dimiliki asing di bank-bank Ethiopia hingga 49 persen," tulis USTR.

Melalui UU tersebut juga mengharuskan bank asing untuk melibatkan warga negara Ethiopia di dewan direksi mereka dan dilaporkan membatasi warga asing hanya pada satu kursi di dewan direksi bank-bank Ethiopia.

Beberapa bank internasional hanya memiliki kantor perwakilan, dan semua pembiayaan perdagangan diwajibkan oleh undang-undang untuk melalui bank Ethiopia. Hal ini menciptakan tantangan besar bagi investor asing dengan akun di luar Ethiopia.

 

2 dari 3 halaman

3. Negara GCC

Di kawasan Timur Tengah, negara-negara anggota Dewan Kerjasama Teluk (GCC) terdiri dari Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA) menunjukkan variasi pendekatan dalam mengatur akses bank asing.

Di Arab Saudi, bank asing hanya boleh memiliki hingga 60 persen saham dalam usaha patungan, sementara di Uni Emirat Arab batas kepemilikan asing adalah 40 persen. Di Oman, bahkan lebih ketat lagi, karena negara tersebut tidak mengizinkan kantor perwakilan perbankan asing.

Pemerintah Qatar mengizinkan bank asing yang dilisensikan oleh QFCRA untuk mendirikan kehadiran fisik dan menjalankan sebagian besar jenis bisnis perbankan, termasuk penyediaan layanan perbankan yang sesuai dengan syariah, di Pusat Keuangan Qatar (QFC).

"Namun Bank-bank ini tidak diperbolehkan menawarkan layanan perbankan ritel berdiri sendiri di luar QFC," tulis USTR.

Arab Saudi membatasi kepemilikan asing di bank-bank komersial hingga 60 persen dari setiap bank individu, tetapi bank investasi dan perusahaan pialang dapat dimiliki 100 persen oleh pihak asing.

Meskipun Bank Sentral UEA mengizinkan kepemilikan asing hingga 40 persen di bank-bank nasional, bagian kepemilikan asing yang sebenarnya jauh lebih rendah. Bank asing yang beroperasi di daratan tidak diperbolehkan membuka lebih dari delapan cabang.

Bank-bank asing tunduk pada pajak penghasilan korporat yang unik di tingkat emirate sub-federal. Emirat Abu Dhabi, Dubai, dan Sharjah telah lama mengenakan pajak penghasilan lokal sebesar 20 persen pada bank asing.

Sebagai respons terhadap pajak penghasilan korporat federal baru sebesar sembilan persen yang mulai berlaku pada 1 Januari 2024, Dubai mengeluarkan undang-undang pada Maret 2024 yang memungkinkan pemberi pinjaman asing untuk mengklaim potongan dari pajak penghasilan lokal pada bank asing untuk pajak yang dibayar berdasarkan pajak penghasilan korporat federal yang baru.

 

3 dari 3 halaman

4. India

India, yang merupakan salah satu pasar potensial terbesar di Asia, masih mempertahankan dominasi bank milik negara dalam sistem keuangannya.

Bank asing memang diperbolehkan beroperasi, tetapi realisasinya masih sangat terbatas. Saat ini, bank asing hanya mengoperasikan sekitar 0,6 persen dari total cabang bank di India.

"Sebagian besar bank yang dimiliki secara privat adalah bank milik India, dengan bank asing hanya membentuk kurang dari 0,6 persen dari total cabang bank di India," tulis USTR.

Adapun USTR menilai regulasi pembukaan cabang bank asing dinilai tidak transparan dan sering kali tertunda tanpa alasan yang jelas. Selain itu, terdapat kebijakan yang mendorong bank asing untuk mengubah status mereka menjadi anak perusahaan lokal, yang membawa sejumlah kewajiban tambahan dan pembatasan operasional.

"India membatasi kepemilikan asing pada bank-bank privat hingga 74 persen dan bank-bank publik hingga 20 persen. Kepemilikan asing pada perusahaan infrastruktur di pasar sekuritas (seperti bursa saham, bursa komoditas, lembaga penyimpanan, dan perusahaan kliring) dibatasi hingga 49 persen," tulis USTR.

EnamPlus