Kasus penggelapan pajak sebesar Rp 1,25 triliun oleh Asian Agri Grup terus bergulir. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membantah pernyataan perusahaan kelapa sawit yang menyatakan total tagihan pajak melebihi 100% dari keuntungan Asian Agri.
"Tidak benar total tagihan pajak melebihi 100% keuntungan, karena tagihan pajak Asian Agri terdiri dari dua bagian, yakni Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan PPh Pasal 26," jelas Kepala Seksi Hubungan Eksternal Direktorat Jenderal Pajak, Chandra Budi melalui pesan singkatnya kepada Liputan6.com, Jakarta, Selasa (16/7/2013).
Chandra menjelaskan, pengenaan pajak yang merujuk pada pasal 26Â bukanlah pajak Asian Agri, melainkan milik orang lain yang dipangkas oleh perusahaan perkebunan dan pengolahan kelapa sawit itu.
Tagihan pajak itu selanjutnya ditambah sanksi administrasi berupa denda dengan besaran 48% dan 100%. "Sehingga total tagihan pajak Asian Agri menjadi Rp 1,9 triliun," papar Chandra.
Seperti diketahui, Dirjen Pajak Fuad Rahmany pernah mengungkapkan tagihan pajak yang akan dikenakan kepada Asian Agri dari kasus hukum yang melilitnya mencapai Rp 1,9 triliun. Tagihan itu berasal dari pajak pokok senilai Rp 1,29 triliun ditambah sanksi sekitar Rp 600 miliar.
Sanksi denda tersebut merupakan 48% dari besaran tagihan pokok yang dimiliki perusahaan perkebunan kelapa sawit di Riau tersebut. "Hampir Rp 1,9 triliun yang akan ditagih," kata Fuad.
Sementara itu, General Manager Asian Agri Freddy Widjaya dalam konferensi pers di Jakarta, pada akhir Juni lalu mengatakan, perusahaan keberatan dengan keputusan Ditjen Pajak karena selama periode pajak yang dipermasalahkan yaitu tahun 2002 hingga 2005, Asian Agri merasa telah melaksanakan kewajiban dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan membayar pajak.
Bahkan Group Asian Agri termasuk salah satu pembayaran pajak yang dinilai besar pada industri minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) di Indonesia.
Selain itu Asian Agri juga akan mempertanyakan penetapan jumlah kekurangan pajak Rp 1,25 triliun. Besaran tersebut dinilai melebihi total keuntungan perusahaan periode 2002 hingga 2005 yang hanya sebesar Rp 1,24 triliun.
"Tidak ada negara manapun di dunia ini yang memungut pajak yang nilainya lebih dari 100% keuntungan perusahaan," jelas Freddy.(Fik/Shd)
"Tidak benar total tagihan pajak melebihi 100% keuntungan, karena tagihan pajak Asian Agri terdiri dari dua bagian, yakni Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan PPh Pasal 26," jelas Kepala Seksi Hubungan Eksternal Direktorat Jenderal Pajak, Chandra Budi melalui pesan singkatnya kepada Liputan6.com, Jakarta, Selasa (16/7/2013).
Chandra menjelaskan, pengenaan pajak yang merujuk pada pasal 26Â bukanlah pajak Asian Agri, melainkan milik orang lain yang dipangkas oleh perusahaan perkebunan dan pengolahan kelapa sawit itu.
Tagihan pajak itu selanjutnya ditambah sanksi administrasi berupa denda dengan besaran 48% dan 100%. "Sehingga total tagihan pajak Asian Agri menjadi Rp 1,9 triliun," papar Chandra.
Seperti diketahui, Dirjen Pajak Fuad Rahmany pernah mengungkapkan tagihan pajak yang akan dikenakan kepada Asian Agri dari kasus hukum yang melilitnya mencapai Rp 1,9 triliun. Tagihan itu berasal dari pajak pokok senilai Rp 1,29 triliun ditambah sanksi sekitar Rp 600 miliar.
Sanksi denda tersebut merupakan 48% dari besaran tagihan pokok yang dimiliki perusahaan perkebunan kelapa sawit di Riau tersebut. "Hampir Rp 1,9 triliun yang akan ditagih," kata Fuad.
Sementara itu, General Manager Asian Agri Freddy Widjaya dalam konferensi pers di Jakarta, pada akhir Juni lalu mengatakan, perusahaan keberatan dengan keputusan Ditjen Pajak karena selama periode pajak yang dipermasalahkan yaitu tahun 2002 hingga 2005, Asian Agri merasa telah melaksanakan kewajiban dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan membayar pajak.
Bahkan Group Asian Agri termasuk salah satu pembayaran pajak yang dinilai besar pada industri minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) di Indonesia.
Selain itu Asian Agri juga akan mempertanyakan penetapan jumlah kekurangan pajak Rp 1,25 triliun. Besaran tersebut dinilai melebihi total keuntungan perusahaan periode 2002 hingga 2005 yang hanya sebesar Rp 1,24 triliun.
"Tidak ada negara manapun di dunia ini yang memungut pajak yang nilainya lebih dari 100% keuntungan perusahaan," jelas Freddy.(Fik/Shd)