Pamor Indonesia sebagai negara yang mampu bertahan di tengah goncangan perekonomian global tampaknya mulai luntur. Sejumlah pakar ekonomi global menilai Indonesia merupakan negara berkembang yang paling rentan menghadapi konsekuensi penarikan kebijakan stimulus Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) dan perlambatan ekonomi China.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar kian melemah, nilai ekspor Indonesia pun menurun cukup drastis akibat anjloknya penurunan permintaan dari China.
"Indonesia dipukul dari dua sisi (The Fed dan China)," ujar Ekonom Asia di Capital Economics, Gareth Leather seperti dilansir dari Euro Money, Selasa (6/8/2013),Â
Seperti diketahui, pengumuman rencana The Federal Reserves yang akan mengurangi pembelian obligasinya telah mengacaukan perekonomian sejumlah negara berkembang sejak Mei lalu. Selama ini program Quantitative Easing (QE) di Amerika Serikat (AS) telah mendorong para investor masuk ke negara berkembang untuk mencari untung lebih.
Namun dengan langkah terbaru dari The Fed tersebut, yield surat utang di sejumlah negara, termasuk Indonesia, mulai meningkat dari posisi rendahnya.
Pada saat yang sama, perlambatan ekonomi China juga berdampak pada pasar ekspor Indonesia mengingat permintaan komoditas menurun. Hal ini memberikan tekanan tersendiri pada harga minyak dan gas.
Hasilnya, landasan kuat Indonesia, yang diilustrasikan dengan peningkatan nilai investasi tahun lalu, mulai dipertanyakan. Tak hanya itu, kelemahan ekonominya pun mulai dibeberkan.
Pada awal Juli lalu, pemerintah Indonesia kembali melepas obligasi dengan denominasi dolar AS senilai US$ 1 miliar. Obligasi bertenor 10 tahun tersebut dijual dengan yield tertinggi sejak 2010 yaitu 5,45%. Saat itu kupon obligasi bertenor 10 tahun dijual di yield 6%. Pada 16 Juli, yield obligasi bertenor 10 tahun naik menjadi 8,3%.
Pakar ekonomi di Lombard Street Research, London, Shweta Singh mengatakan, perlambatan laju pembelian obligasi The Fed telah menjadi salah satu kekhawatiran utama. Dalam hal itu, negara-negara dengan defisit transaksi berjalan menjadi yang paling berisiko.
Indonesia diketahui mengimpor banyak barang yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi, tapi hasil ekspor yang diperlukan untuk mengganti impor terus menurun. Hal ini karena harga-harga komoditas tahun lalu bergerak tak menentu dan terjadi defisit transaksi berjalan yang terjadi selama enam kuartal berturut-turut. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia tercatat mengekspor barang bernilai US$ 14,7 miliar pada April, turun 9,1% dari tahun sebelumnya.
Meskipun negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN ini telah tumbuh lebih dari 6% dalam empat hingga lima tahun terakhir, terdapat tanda-tanda perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat penurunan permintaan di China.(Sis/Shd)
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar kian melemah, nilai ekspor Indonesia pun menurun cukup drastis akibat anjloknya penurunan permintaan dari China.
"Indonesia dipukul dari dua sisi (The Fed dan China)," ujar Ekonom Asia di Capital Economics, Gareth Leather seperti dilansir dari Euro Money, Selasa (6/8/2013),Â
Seperti diketahui, pengumuman rencana The Federal Reserves yang akan mengurangi pembelian obligasinya telah mengacaukan perekonomian sejumlah negara berkembang sejak Mei lalu. Selama ini program Quantitative Easing (QE) di Amerika Serikat (AS) telah mendorong para investor masuk ke negara berkembang untuk mencari untung lebih.
Namun dengan langkah terbaru dari The Fed tersebut, yield surat utang di sejumlah negara, termasuk Indonesia, mulai meningkat dari posisi rendahnya.
Pada saat yang sama, perlambatan ekonomi China juga berdampak pada pasar ekspor Indonesia mengingat permintaan komoditas menurun. Hal ini memberikan tekanan tersendiri pada harga minyak dan gas.
Hasilnya, landasan kuat Indonesia, yang diilustrasikan dengan peningkatan nilai investasi tahun lalu, mulai dipertanyakan. Tak hanya itu, kelemahan ekonominya pun mulai dibeberkan.
Pada awal Juli lalu, pemerintah Indonesia kembali melepas obligasi dengan denominasi dolar AS senilai US$ 1 miliar. Obligasi bertenor 10 tahun tersebut dijual dengan yield tertinggi sejak 2010 yaitu 5,45%. Saat itu kupon obligasi bertenor 10 tahun dijual di yield 6%. Pada 16 Juli, yield obligasi bertenor 10 tahun naik menjadi 8,3%.
Pakar ekonomi di Lombard Street Research, London, Shweta Singh mengatakan, perlambatan laju pembelian obligasi The Fed telah menjadi salah satu kekhawatiran utama. Dalam hal itu, negara-negara dengan defisit transaksi berjalan menjadi yang paling berisiko.
Indonesia diketahui mengimpor banyak barang yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi, tapi hasil ekspor yang diperlukan untuk mengganti impor terus menurun. Hal ini karena harga-harga komoditas tahun lalu bergerak tak menentu dan terjadi defisit transaksi berjalan yang terjadi selama enam kuartal berturut-turut. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia tercatat mengekspor barang bernilai US$ 14,7 miliar pada April, turun 9,1% dari tahun sebelumnya.
Meskipun negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN ini telah tumbuh lebih dari 6% dalam empat hingga lima tahun terakhir, terdapat tanda-tanda perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat penurunan permintaan di China.(Sis/Shd)