Zhang Xin, Kecil Hidup Super Sengsara, Kini Miliarder Top Dunia

Pemimpi ini mulai karirnya dari nol dan sekarang sukses dengan bisnis propertinya di China. Zhang Xin kini punya kekayaan 39,3 triliun.

oleh Siska Amelie F Deil diperbarui 03 Sep 2013, 15:30 WIB
Diterbitkan 03 Sep 2013, 15:30 WIB
zhang-xin-130903b.jpg

Pemimpi ini benar-benar memulai karirnya dari nol dan sekarang sukses dengan berbagai rumah yang dibangunnya di China. Total kekayaan Zhang Xin saat ini tercatat sebesar US$ 3,6 miliar dan membuatnya menjadi wanita terkaya ketujuh di dunia.

Pendiri sekaligus CEO SOHO, pengembang real estate terbesar di China itu sekarang hidup sukses dengan kekayaan mencapai US$ 3,6 miliar atau setara Rp 39,3 triliun.

Perusahaannya yang didirikan bersama suaminya memiliki aset bernilai US$ 10 miliar dengan total pembangunan seluar 56 juta kaki persegi. Wanita 47 tahun ini telah melakukan 18 pengembangan lahan di Beijing dan 11 di Shanghai.
 
Tapi siapa sangka, wanita (47 tahun) ini dulunya dari sejak kecil hidup sangat sengsara dan pernah bekerja sebagai buruh pabrik di kampung halamannya.

Zhang Xin kecil dan remaja hidup sengsara

Zhang Xin kecil hidup dalam kondisi yang teramat miskin. Kedua orang tua Zhang sebenarnya lulusan universitas dan merupakan lulusan sarjana. Namun, di bawah revolusi pemerintahan Mao Zedong saat itu, orang-orang berpendidikan dianggap sebagai musuhnya China. Itu lah yang membuat keluarga kecil Zhang diusir ke pinggiran kota untuk masuk ke lokasi 're-education'. Mao menganggap para kapitalis dan intelektual sebagai sebagai ancaman bagi China.

Saat berusia delapan tahun, ibunya diizinkan kembali ke Beijing dan dia bekerja sebagai penerjemah. Meski memiliki pekerjaan, Zhang dan ibunya tetap hidup dalam kondisi melarat. Dari pekerjaannya tersebut ibunya bahkan tak bisa menyewa tempat tinggal. Keduanya tidur di kantor sang ibu, di atas meja kerjanya. Buku-buku digunakan sebagai bantal tidur. Selama berbulan-bulan, Zhang kecil hidup dengan cara seperti itu.

Membangun mimpi

Saat berusia 14 tahun, Zhang pindah ke Hong Kong untuk mencari pekerjaan. Namun ternyata nasib yang kurang beruntung masih menyertainya. Di sana dia bekerja sebagai buruh pabrik selama lima tahun tapi dia terus bermimpi untuk melepaskan diri dari lilitan kemiskinan. Saat dia punya cukup tabungan untuk membeli satu tiket ke London, dia pun memutuskan untuk pergi ke sana.

Di London, dia bekerja di toko kecil yang menyajikan hidangan laut dan keripik. Zhang benar-benar kesulitan, karena dia sama sekali tak bisa berbahasa Inggris. Seringkali dia merasa kesepian tapi dia terus bermimpi agar bisa memiliki kehidupan yang lebih baik. Dia pun mendaftar di sebuah sekolah untuk belajar bahasa Inggris.

Dari sekolah tersebut dia memperoleh beasiswa kuliah di University of Sussex. Dia lalu melanjutkan studinya untuk memperoleh gelar master di bidang ekonomi di University of Cambridge.

Saat dia menyelesaikan sekolahnya pada 1992, China baru mulai membuka sejumlah pasarnya untuk investor asing. Melihat pasar China yang terbuka, Zhang melamar pekerjaan sebagai bankir investasi di Goldman Sachs. Mantan buruh pabrik ini merasa telah menemukan impian yang sesungguhnya. Namun tak lama,  dia menyadari bahwa dunia investasi perbankan tak cocok untuknya.

Bertemu suami, Pan Shiyi

Dia memutuskan untuk kembali ke China. Tak lama tinggal di Beijing, dia pun bertemu suaminya saat ini, Pan Shiyi. Pan merupakan salah satu pemuda idealis yang berkomitmen untuk meliberalisasi China, khususnya di bidang bisnis. Bidang usaha yang dimaksud Pan adalah real estate.

Suatu hari, Pan mengajak Zhang untuk melihat lokasi konstruksi sebuah bangunan tinggi. Dia berkata pada Zhang, bangunan itu akan menjadi Manhattan-nya Beijing. Zhang hanya tertawa saat itu. Namun siapa sangka, dua pasangan ini ternyata menciptakan banyak bangunan yang jauh lebih besar dari `Manhattan` yang pernah ditunjukkan Pan.

Sama seperti Zhang, Pan juga berasal dari keluarga tak mampu. Dia berasal dari salah satu provinsi termiskin di China. Bahkan meski telah menikah dan mendirikan SOHO China, kehidupan keduanya tak berjalan lancar. Keduanya bertengkar dan Zhang pun menyerah lalu pindah ke Inggris. Beberapa waktu kemudian dia kembali lagi ke Beijing. Dari hasil pernikahannya, keduanya memiliki dua orang anak.

Perusahaan SOHO yang didirikan bersama tersebut benar-benar membutuhkan keahlian Zhang. Pan bertugas mengurus seluruh bisnis properti di dalam negeri, sementara sang istri dengan pengalaman `Wall Street`-nya fokus pada sejumlah urusan bisnis di luar negeri.

Dia bertugas merekrut arsitek untuk sejumlah proyek SOHO. Perusahaan pengembang real estate tersebut memiliki lahan komersial paling besar di China seluas 56 juta kaki persegi.

Pantang manjakan dua anaknya dengan harta

Meski sudah kaya raya, dia tetap sederhana dan rendah hati. Bahkan dia meminta anak laki-lakinya yang berusia 14 tahun untuk bekerja paruh waktu di McDonald's atau KFC. Anaknya pernah mencobanya, tapi terlalu sulit baginya.

Dia mencoba untuk tidak memanjakan kedua anaknya dengan harta. Dia selalu berusaha mengajarkan gaya hidup normal pada kedua buah hatinya tersebut.

Baginya, sulit sekali menjadi anak-anaknya sekarang. Hidup normal dengan harta berlimpah. Dia mengaku sangat ketat dalam penggunaan uang. Dia mengaku tak pernah memberi uang pada anaknya sampai mereka memintanya sendiri.

Salah satu kebutuhan anaknya seperti saat keduanya membutuhkan 100 yuan (Rp 180 ribu) untuk membayar kartu makan siangnya. Zhang mengaku tak pernah memberi lebih dari apa yang dibutuhkan kedua anaknya. Namun itu memang tak sebanding dengan kehidupan sulitnya dulu. Dia tidak ingin terjebak pada kehidupan mewah dan selalu ingat pada masa sulitnya dulu. (Sis/Igw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya