Pemerintah mengaku siap menghadapi segala bentuk perlawanan dari perusahaan-perusahaan tambang apabila ada ancaman penempuhan jalur arbitrase, termasuk dari dua perusahaan tambang raksasa di Indonesia, PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara. Hal ini terkait dengan penolakan pengusaha tambang terhadap pemberlakuan bea keluar (BK) mineral olahan sebesar 60% hingga 2016.
"(Arbitrase) itu hak dia (Freeport). Kami harus hadapi. Dan saya dengar Newmont juga ingin melakukan hal yang sama. Ini konsekuensi yang mesti dihadapi," tegas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa di kantornya, Jakarta, Kamis (31/1/2014).
Meski begitu, dia mengatakan bahwa Freeport Indonesia maupun perusahaan induknya yang bermarkas di Amerika Serikat (AS) tidak akan menempuh jalur arbitrase untuk menyelesaikan persoalan BK tersebut.
Hatta mengakui, hal ini diutarakan CEO dan Presiden Freeport McMoran and Gold Inc Amerika, Richard Adkerson saat menggelar rapat internal bersama dirinya, Menteri Perindustrian MS Hidayat dan Menteri Keuangan Chatib Basri, semalam (29/1/2014).
"Saya belum ketemu Newmont. Tapi Freeport memang bilang tidak bawa ke arbitrase," katanya.
Namun dia menegaskan, pemerintah akan tetap menjalankan kewajiban pengolahan dan pemurnian (smelter) meskipun dalam aturan Kontrak Karya (KK) tak mencantumkan hal tersebut. Namun ada Peraturan Pemerintah (PP) dan dua Peraturan Menteri (Permen) dari Kementerian ESDM serta Kementerian Perdagangan. Sedangkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengatur terkait BK 60%.
"Freeport memang mengatakan kalau sebesar itu (BK) tidak akan bisa beroperasi. Tapi saya tegaskan masalah BK itu lebih kepada memaksa karena dalam waktu tiga tahun sudah harus selesai smelternya," ujarnya.
Hatta mengakui bahwa pemerintah akan mempertimbangkan tenaga kerja dan keberlangsungan usaha perusahaan pertambangan. Dan ini sudah menjadi peraturan Menteri Keuangan.
"Intinya sampai sekarang (BK) masih seperti itu, belum ada perubahan. Bagaimana smelter dibangun secepat mungkin karena itu perintah UU. Kita harus laksanakan seluruh UU dan peraturan karena semua menteri punya pandangan yang sama," tutur dia.
Terkait kelanjutan pertemuan dengan Freeport, Hatta mengakui, pemerintah belum menentukan apakah akan kembali menggelar rapat atau tidak. "Kalau soal rapat, kapanpun bisa. Kalau rapat jangan diatur-atur orang. Mau rapat, ya rapat dan kalau nggak ya nggak," tandasnya. (Fik/Ndw)
"(Arbitrase) itu hak dia (Freeport). Kami harus hadapi. Dan saya dengar Newmont juga ingin melakukan hal yang sama. Ini konsekuensi yang mesti dihadapi," tegas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa di kantornya, Jakarta, Kamis (31/1/2014).
Meski begitu, dia mengatakan bahwa Freeport Indonesia maupun perusahaan induknya yang bermarkas di Amerika Serikat (AS) tidak akan menempuh jalur arbitrase untuk menyelesaikan persoalan BK tersebut.
Hatta mengakui, hal ini diutarakan CEO dan Presiden Freeport McMoran and Gold Inc Amerika, Richard Adkerson saat menggelar rapat internal bersama dirinya, Menteri Perindustrian MS Hidayat dan Menteri Keuangan Chatib Basri, semalam (29/1/2014).
"Saya belum ketemu Newmont. Tapi Freeport memang bilang tidak bawa ke arbitrase," katanya.
Namun dia menegaskan, pemerintah akan tetap menjalankan kewajiban pengolahan dan pemurnian (smelter) meskipun dalam aturan Kontrak Karya (KK) tak mencantumkan hal tersebut. Namun ada Peraturan Pemerintah (PP) dan dua Peraturan Menteri (Permen) dari Kementerian ESDM serta Kementerian Perdagangan. Sedangkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengatur terkait BK 60%.
"Freeport memang mengatakan kalau sebesar itu (BK) tidak akan bisa beroperasi. Tapi saya tegaskan masalah BK itu lebih kepada memaksa karena dalam waktu tiga tahun sudah harus selesai smelternya," ujarnya.
Hatta mengakui bahwa pemerintah akan mempertimbangkan tenaga kerja dan keberlangsungan usaha perusahaan pertambangan. Dan ini sudah menjadi peraturan Menteri Keuangan.
"Intinya sampai sekarang (BK) masih seperti itu, belum ada perubahan. Bagaimana smelter dibangun secepat mungkin karena itu perintah UU. Kita harus laksanakan seluruh UU dan peraturan karena semua menteri punya pandangan yang sama," tutur dia.
Terkait kelanjutan pertemuan dengan Freeport, Hatta mengakui, pemerintah belum menentukan apakah akan kembali menggelar rapat atau tidak. "Kalau soal rapat, kapanpun bisa. Kalau rapat jangan diatur-atur orang. Mau rapat, ya rapat dan kalau nggak ya nggak," tandasnya. (Fik/Ndw)