6 Dinasti Ayah & Anak di Dunia Sepak bola

Enam ayah dan anak yang sukses di dunia sepak bola.

oleh Arie Nugroho diperbarui 14 Feb 2015, 07:25 WIB
Diterbitkan 14 Feb 2015, 07:25 WIB
Ilustrasi Sepak Bola
Ilustrasi Sepak Bola

Liputan6.com, Jakarta - Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Pepatah ini mungkin sangat tepat untuk menggambarkan karier para pemain ini. Kesuksesan di jagat sepak bola menular hingga ke anak-cucu.

Istilah bakat merupakan faktor genetik memang benar adanya. Umumnya, kesuksesan ayah di bidang tertentu akan diikuti oleh keturunannya.

Hal ini juga berlaku di dunia sepak bola. Biasanya, sang anak bakal mengikuti jejak kesuksesan sang ayah di dunia lapangan hijau.

Sebagai bentuk penghargaan, klub akan memensiunkan sementara nomor sang ayah untuk kemudian diwariskan kepada anaknya.

Liputan6.com telah merangkum kesuksesan ayah dan anak di dunia sepak bola yang kemudian membentuk dinasti di klub tertentu.

Maldini

Paolo dan Cesare Maldini

1. Maldini

Keluarga Maldini mungkin saja menjadi pasangan ayah dan anak yang paling sukses di dunia sepakbla Italia. Sang ayah, Cesare Maldini, merupakan bek tengah AC Milan pada periode 1954-1966.

Cesare tercatat bermain sebanyak 347 kali untuk Milan dan mencetak tiga gol. Di timnas, Cesare memperkuat Italia di Piala Dunia 1962 dan 1966.

Sang anak, Paolo, tampil lebih gemilang daripada ayahnya. Seumur hidup, Paolo hanya membela satu klub, AC Milan, selama 24 tahun. Ia total bermain 647 kali di Rossoneri sekaligus menjadi pemain yang bermain terbanyak di Serie A. Nomor 3 yang dipakai Paolo tidak akan dipakai lagi oleh siapa pun kecuali jika anaknya kelak bermain di AC Milan.

Uniknya, Cesare dan Paolo sama-sama pernah mengangkat Piala Champions (di era Cesare bernama European Cup). Cesare mengangkat piala tersebut sebagai kapten AC Milan pada 1963 kala usianya 31 tahun. Paolo melakukannya pada 2003 di usia 35 tahun. Mereka tercatat sebagai satu-satunya ayah-anak yang bisa melakukan hal demikian.

Nomor punggung 3 di Milan kini diwariskan kepada Christian Maldini. Namun, Maldini muda kini kesulitan menyamai prestasi ayah dan kakeknya.

Maldini, yang berusia 17 tahun, dipinjamkan ke klub Serie B, Brescia, agar memiliki lebih banyak kesempatan bermain di tim utama.


Redknapp

Harry & Jammie Redknapp


2. Redknapp

Harry Redknapp adalah pemain reguler untuk West Ham United pada periode 1965 hingga 1972. Ia tercatat bermain 175 kali dalam 7 musim. Posisinya saat itu adalah gelandang.

Setelah pensiun,  Harry memulai karier kepelatihannya dengan menangani Bournemouth, klub yang juga pernah dibelanya selama 4 musim, pada 1983. Sembilan tahun menangani klub ini, Harry kemudian berhasil mendapatkan kesempatan untuk melatih tim-tim Premier League, yaitu Porstmouth, Southampton, dan terakhir Tottenham Hotspurs.

Memang prestasi tertingginya hanya mengantar Portsmouth menjuarai Piala FA 2008. Namun, Harry selalu memberikan sentuhan magis untuk tim yang diasuhnya. Bersama Tottenham, ia bisa mengantar kubu Spurs menembus Piala Champions musim lalu.

Sang anak, Jamie, memulai karier di bawah asuhan Harry di Bournemouth. Pada 1991, ia memutuskan hijrah ke Liverpool dan meraih kesuksesan bersama The Reds. Selama 11 tahun di Liverpool, Jamie bermain 238 kali.

Kritikan tajam mengarah kepadanya karena kehidupan Jamie di luar lapangan justru terlalu mengarah pada kehidupan selebritis. Setelah mendapatkan beberapa kali cedera serius, Jamie pensiun di Southampton pada 2005.

Dari segi penampilan di timnas, Jamie lebih baik daripada sang ayah. Jamie sudah 17 kali merumput bersama The Three Lions sedangkan Harry tidak pernah dipanggil ke timnas.

Lampard

Frank Lampard

3. Lampard

Ada dua Frank Lampard di Inggris, yang senior dan anaknya, si junior. Frank Lampard senior membela West Ham sejak 1967 hingga 1985 (18 tahun). Ia tampil sebanyak 551 kali untuk The Hammers di seluruh kompetisi. Frank Lampard senior gantung sepatu pada 1986 di Southend United.

Uniknya, Frank Lampard Senior sempat menjadi asisten pelatih West Ham pada 1994 hingga 2001. Ia sempat merasakan bekerjasama dengan Harry Redknapp yang merupakan saudara iparnya sendiri.

Frank Junior tampil lebih baik daripada sang ayah. Si Junior ini bahkan telah menjadi legenda saat ia masih bermain bersama Chelsea. Lampard tercatat sebagai gelandang tersubur sepanjang sejarah Premier League (139 gol).

Rekor lain, Lampard mencatatkan diri sebagai pencetak gol terbanyak untuk Inggris dari titik penalti (7 kali). Rekor ini didapatnya kala mengeksekusi penalti melawan Swiss 2-2 kemarin. Lampard juga tercatat sebagai pemain Chelsea dengan IQ tertinggi.


Hazard

Eden & Thorgan Hazard

4. Hazard

Ayah dan ibu Hazard adalah seorang pesepak bola. Sang ayah, Thierry, menghabiskan kariernya di klub semi profesional, La Louviere, yang berpartisipasi di Divisi II Liga Belgia.

Hazard tiga adik dan merteka semuanya berprofesi sebagai atlet sepak bola. Sang adik, Thorgan Hazard, bergabung bersama Chelsea pada 2012 lalu dan kini dipinjamkan ke Borussia Monchengladbach.

Adapun, adik kedua Hazard, Kylian, baru saja bergabung bersama Akademi Chelsea.

Sartono

img_nova-arianto-080211.jpg
Bek tengah Persib Bandung Nova Arianto beraksi dalam sebuah partai ISL melawan Persipura Jayapura di Stadion Mandala, Jayapura, 2 Februari 2011. FOTO ANTARA/Alexander W. Loen

5. Sartono

Sartono Anwar mengabdikan sepanjang hidupnya dengan berkarya di dunia sepak bola.  Bahkan dia rela meninggalkan hidup yang mapan, gaji dan bonus yang tertib di Pertamina serta jadwal kerja yang jelas. Semuanya ia tinggalkan demi bola dan lapangan rumput hijau.

Karier sepakbola Anwar dimulai saat berusia 13 tahun.  Saat itu Sartono muda bergabung di klub Sport Supaya Sehat (SSS), sebuah klub lokal di Kota Semarang. Bakat Sartono mengolah si kulit bundar menurun dari M. Anwar, sang bapak yang juga pemain bola di PS POP Semarang.

Sartono Anwar adalah ayah dari pemain mantan penggawa Timnas Indonesia, Nova Arianto Sartono. Nova berposisi sebagai bek tengah.

Vava memiliki julukan Suster Ngesot karena kerap merayakan gol dengan cara mengesot di lapangan. Saat ini, Vava bertugas sebagai asisten pelatih Pelita Bandung Raya.

Hadi

Muchlis Hadi Ning Syaifulloh
Muchlis Hadi Ning Syaifulloh (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

6. Hadi

Keterbatasan finansial tidak menghalangi niat Muchlis Hadi Ning Syaifullah untuk berprestasi di level internasional. Mengawali karier sebagai pesepakbola dengan seadanya, Muchlis pun kini menjadi pilar tim nasional Indonesia U-19 yang lolos ke putaran final Piala Asia 2014 di Myanmar.

Semasa kecilnya, Muchlis harus rela dilatih oleh orang tua sendiri lantaran tidak mampu membayar biaya masuk mengikuti Sekolah Sepak Bola (SSB). Keterbatasan dana membuat Muchlis kecil sehari-hari hanya berlatih di bawah pengawasan sang ayah, Samsul Hadi.

Samsul sendiri bukan asal-asalan dalam melatih Muchlis kecil, karena ia sebelumnya adalah mantan stopper tim Assyabab Surabaya, satu angkatan dengan Mustaqim dan Putut Wijanarko. Berbekal ilmu sebagai pemain bola inilah, Samsul lantas menempa Muchlis cara menggocek, menendang, menyundul, serta mengontrol bola.

Namun menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama, Samsul sadar Muchlis memang butuh masuk SSB untuk meningkatkan pengalamannya. Namun lagi-lagi Samsul menemui kendala dalam mendukung kiprah Muchlis, lantaran pada saat itu ia tidak bisa membelikan sang anak sepatu berkualitas.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya