Liputan6.com, Warsawa - Sorot kamera langsung tertuju pada seorang pemain Sevilla jelang bubaran final final Europa League yang mempertemukan Sevilla kontra Dnipro Dnipropetrovsk.
Dia duduk sendiri di bench, sementara rekan lainnya sudah berdiri di pinggir lapangan. Dia sengaja menutupi wajah dengan dua telapak tangannya.
"Jangan sampai orang lain melihat muka saya," mungkin begitu sang pemain berkata dalam hati.
Advertisement
Persis seperti orang kecewa dan tidak ingin melihat hasil akhir pertandingan, seolah-olahnya timnya kalah dalam partai puncak di Stadion Narodowy, Warsawa, Polandia, Kamis dinihari WIB.
Tapi begitu peluit panjang dibunyikan wasit Martin Atkinson, pemain tersebut langsung membuka telapak tangannya yang penuh air mata. Ya, air mata bahagia meleleh deras dari pipi Carlos Arturo Bacca.Â
Pelatih Sevilla, Unai Emery yang menariknya keluar di menit 82 lalu menghampiri dan meminta pemain 28 itu bangkit dari duduknya untuk ikut merayakan pesta juara Sevilla.
Kemenangan Los Rojiblancos terasa mengharu biru bagi Bacca. Betapa tidak, pemain asal Kolombia itu mencetak dua gol untuk mengantarkan Sevilla menasbihkan diri sebagai Raja Europa League.
Gol di menit 73 mengantarkan Sevilla mengungguli Dnipro dengan skor 3-2. Gol terakhir Bacca memastikan torfi Europa League tetap bertahan di Andalusia. Trofi ini terasa spesial bagi eks pemain Club Brugge itu. Sepanjang karier profesionalnya, baru kali ini Bacca mencium trofi kejuaraan Eropa; mimpi seluruh pemain di belahan dunia.
"Trofi ini memang menjadi tujuan utama kami musim ini," kata Bacca dilansir dari Football Espana.
Malam itu menjadi milik Bacca. Pendukung Sevilla yang memadati tribun Stadion Narodowy berulang kali menyebut nama sang pemain. "Saya mendedikasikan kemenangan ini untuk Tuhan, masyarakat Kolombia, Istri dan keluarga saya. Ini sesuatu unik," sebut Bacca.
Kernet Bus Demi Menyambung Hidup
Mungkin, tidak pernah terlintas Bacca bisa memeluk trofi berharga Rp 400 miliar berkat kepiawaian mengolah si kulit bundar. Kemiskinan membuat pemain kelahiran Puerto Colombia itu harus banting tulang mencari uang. Dia bekerja paruh waktu sebagai kondektur bus untuk membantu perekonomian keluarga.
Sepakbola tidak ada dalam kamus hidupnya.Â
"Di usia 20 tahun saya masih tinggal di kampung halaman. Saya bekerja sebagai seorang kernet. Saat itu hidup terasa sulit. Pekerjaan saya menarik karcis bus. Saya berasal dari keluarga yang sangat miskin dan harus mengumpulkan uang untuk menyambung hidup," ungkap Bacca.
Ketika itu, dia bahkan tidak berpikir menjadi pemain sepakbola. Namun suatu ketika, timbul niat iseng ikut latihan dengan klub lokal, Atletico Junior yang menggelar latih tanding dengan pemain di sekitar tempat tinggalnya. Tanpa diduga, melihat kemampuan Bacca, tim tersebut mengajaknya bergabung.
Padahal, Bacca sempat ragu sepakbola bisa menghasilakan uang. "Tapi sekarang, Puji Tuhan, saya beruntung Atletico Junior merekrut saya." Dari situ, sang pemain sadar sepakbola mampu mengubah nasibnya.
Bacca mengakui sempat merasa kesulitan ketika meretas karier. Terlebih, ketika kariernya jalan di tempat. Perasaan menyesal menjadi pemain sepakbola sempat dirasakan Bacca di tengah ketidakpastian. Terutama karena harus bermain di Divisi Dua dengan status pemain pinjaman dari Atletico Junior.
"Masa kecil saya sangat keras. Ketika saya mulai mendapatkan uang, saya pikir saya mulai berhasil. Tapi saya salah," katanya.
Namun, semangat pantang menyerah membuatnya semakin bersinar terang. "Seorang pemberani tidak akan pernah membiarkan dirinya tenggelam, tetapi harus bangkit dan menjadi lebih kuat." Pedoman hidup itu dipegang teguh Bacca hingga kini.Â
Sampai akhirnya, jerih payah Bacca mulai terlihat ketika bermain untuk klub Belgia, Club Brugge periode 2012-2013. Di musim itu, Bacca merebut gelar top-scorer dan pemain terbaik. Tokcer di Belgia, Sevilla kemudian meminangnya dua musim lalu.Â
Klimaksnya terjadi 27 Mei 2015 malam ketika dia menangis bahagia di Warsaw Polandia menyaksikan Sevilla menasbihkan diri sebagai juara Europa League.
Advertisement