Liputan6.com, Jakarta Pada pengujung September 2012, pelatih senior Znedek Zeman sempat melontarkan kritik terhadap dinamika sepak bola. Menurut dia, orientasi saat ini bukan lagi terhadap kualitas permainan, melainkan sisi-sisi lain.
Baca Juga
- Uji Coba Hari Keempat:Rio Haryanto Lahap 43 Lap di Sesi Pagi
- Reaksi Manor Usai Mobil Rio Haryanto Melintir di Debut F1
- Messi Kantong Kresek Akhirnya Pakai Jersey Asli Messi
"Sepak bola sekarang ini lebih merupakan bisnis dan politik ketimbang olahraga. Dan bisnis punya aturan berbeda," kata Zeman kepada Kicker.
Tak bisa dipungkiri, pada era sepak bola modern saat ini, aroma bisnis jauh lebih menyengat. Klub-klub sepak bola bukan lagi hanya lembaga olahraga, melainkan institusi bisnis yang bergerak mencari profit sebesar-besarnya.
Musim depan, booming akan terjadi di Premier League. Seiring kesepakatan hak siar baru, pendapatan klub-klub divisi teratas kompetisi sepak bola Inggris dipastikan melonjak berlipat-lipat. Itu karena nilai hak siar yang fantastis, 5,136 miliar pounds atau sekitar Rp96 triliun. Itu naik 71 persen dari kesepakatan sebelumnya.
Berdasarkan simulasi pembagian uang hak siar yang dilakukan Total Sportek, tim yang menjadi juru kunci saja akan mendapatkan jatah 97 juta pounds. Di liga-liga lain, angka itu hanya bisa didapatkan oleh klub-klub papan atas.
Itu baru dari hak siar. Jika ditambah dari sektor komersial dan tiket, sangat mungkin 100 juta pounds adalah pendapatan minimum klub Premier League mulai musim depan.
Advertisement
Maka tak akan mengherankan bila pada tahun-tahun ke depan, seluruh klub Premier League berada dalam daftar 30 klub berpendapatan terbesar yang rutin dirilis lembaga keuangan Deloitte.
AKHIR DOMINASI
Peningkatan pendapatan secara drastis ini tentu saja akan meningkatkan persaingan di Premier League. Klub-klub semenjana pun akan lebih berdaya di bursa transfer.
Selain mampu mendatangkan pemain bintang berharga mahal, mereka pun akan bisa memagari bintang-bintang yang ada agar tak pergi begitu saja.
Secara khusus, ini akan mengakhiri dominasi klub-klub tertentu. Selama bertahun-tahun, Premier League hanya dikuasai oleh empat klub besar, yakni Manchester United, Arsenal, Chelsea, dan liverpool. Keempatnya disebut big four.
Dominasi big four ini sempat dicibir oleh Nick Davidson dan Shaun Hunt dalam buku Modern Football is Rubbish yang pertama kali dirilis pada 2008. Di bawah tajuk "Big Four, the", Davidson dan Hunt menulis, "They're big, there are four of them and they won't let anyone else play."
Di bagian lain, dalam tulisan berjudul "Leagues within Leagues", mereka antara lain menulis, "... It appears only Arsenal, Chelsea, Liverpool and Manchester United are allowed to compete for the title and Champions League qualification. ..."
Belakangan ini saja, dominasi big four sudah goyah. Dalam lima musim terakhir, dua kali Manchester City menjuarai Premier League. Sementara itu, Liverpool dan Manchester United sempat terlempar dari papan atas.
Musim ini lebih dahsyat. Leicester City dan Tottenham Hotspur berada di pole position dalam perburuan gelar. Adapun, Chelsea, Liverpool, dan Man. United tertatih-tatih menempuhi kompetisi.
Ke depan, sangat mungkin bukan hanya Leicester yang membuat kejutan. Southampton, West Ham United atau bahkan Stoke City bisa saja muncul ke papan atas dan meramaikan perebutan trofi juara.
Advertisement
GALACTICOS BARU
Akan tetapi, bagi klub-klub di bagian lain Eropa, booming di Premier League ini adalah ancaman serius. Ada kekhawatiran, dengan kekuatan uang yang dimiliki klub-klubnya, Premier League akan menjadi sebuah galaksi tersendiri yang tak tertandingi.
"Ketika orang bertanya tentang sosok yang menjadi rival kami, saya selalu menjawab, ‘Premier League.’ Hak siar televisi, organisasi kompetisi, partai-partai menarik secara permanen, persaingan yang sangat seimbang. Semuanya," kata Josep Maria Bartomeu, Presiden Barcelona, kepada BBC, Senin (22/2/2016).
Adapun hal yang dicemaskan pria berumur 53 tahun itu adalah kemungkinan berkumpulnya para pemain terbaik di Premier League. Ke depan, sangat mungkin muncul tim-tim super seperti Los Galacticos yang sempat dibuat Real Madrid pada awal 2000-an.
Saat itu, Madrid mengumpulkan para bintang dunia, dari Roberto Carlos, Ronaldo, Zinedine Zidane, hingga Luis Figo dan David Beckham. Belum lagi para bintang lokal macam Raul Gonzalez, Guti, dan Iker Casillas.
“"Kami harus mengambil langkah-langkah terbaik untuk meningkatkan pendapatan dan situasi keuangan kami sehingga para talenta yang kami miliki tak lantas pergi,"” ujar Bartomeu.
Hal serupa dirasakan Bayern München. Saat menanggapi kritik soal kesepakatan dengan Bandara Internasional Hamad (Qatar), Presiden Karl Hopfner pada awal Februari kepada SportBild menjelaskan, "“Bagi kami, ini adalah kesepakatan ekonomi yang perlu dilakukan. Kami sekarang harus memastikan bahwa dana yang sangat besar dari Inggris tak akan menggoyang skuat kami.”"
Kecemasan itu sangat beralasan. Sejak lama, klub-klub teras Premier League selalu menjadi pemburu utama talenta-talenta apik di pelbagai penjuru dunia. Mereka selalu merayu para bintang klub-klub lain di Eropa untuk hengkang ke Inggris.
Berbekal dana yang jauh lebih besar, bukan hal yang mengejutkan bila mereka akan lebih “kalap” di bursa transfer. Apalagi klub-klub Premier League belakangan ini kerap inferior di kancah antarklub Eropa.
Sejak 2011-12, Chelsea adalah satu-satunya klub Premier League yang sanggup menembus semifinal Liga Champions. Bagi kompetisi yang sangat glamor, ini tentu saja aib tersendiri.
Hasrat mengembalikan pamor Premier League di Eropa inilah yang bisa membangkitkan hasrat klub-klub besar Inggris untuk menggaet para bintang dan membentuk Los Galacticos baru.
Apalagi klub-klub besar itu memang tengah berada dalam masa transisi. Tengok saja Man. United, Liverpool, Chelsea, dan Man. City yang membutuhkan perombakan besar terhadap skuat masing-masing.
Terlepas dari geliat nyata yang akan ditunjukkan klub-klub Inggris nanti, nilai fantastis hak siar baru Premier League telah mulai menjadi momok bagi klub-klub lain di Eropa.
*Penulis adalah pemerhati sepak bola yang kerap menjadi komentator di beberapa stasiun televisi nasional. Penulis juga pernah jadi jurnalis di Tabloid Soccer.