Kolom: Manusia Nyaris

Airmata Ranieri usai mengalahkan Sunderland di Stadium of Light lewat dua gol Jamie Vardy pekan lalu adalah bentuk ketegangannya.

oleh Liputan6 diperbarui 13 Apr 2016, 18:30 WIB
Diterbitkan 13 Apr 2016, 18:30 WIB
Gita Suwondo
Gita Suwondo (Pengamat/Komentator Sepak Bola) (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Sepak bola selalu menarik karena hasil  akhir pertandingan yang kerap di luar dugaan.  Walaupun demikian, hasil akhir setiap kompetisi juaranya sering tertebak. Kejutan apapun yang dilakukan oleh sebuah tim underdog, jarang sekali hasil kompetisi keluar dari pakem langganan juara.  

Makanya cerita Nottingham Forest ketika jadi juara divisi utama Liga Inggris musim 1977/78 sangatlah fenomenal.  Juga ketika Kenny Dalglish membawa Blackburn Rovers juara Premier League 1994/95.  

Baca Juga

  • Ranieri: Leicester Bakal Hadapi 5 Laga Mengerikan
  • Vardy Ungkap Rahasia Ketajamannya Musim Ini
  • Tiket Laga Terakhir Leicester City Dijual dengan Harga Selangit

Apalagi ketika Montpellier mengejawantahkan kekuatan fulus Paris Saint-Germain saat Olivier Giroud dan kawan-kawan menjadi juara Ligue 1 musim 2011/12.  Sama dengan saat Genk jadi juara Belgia dan Mitjilland jadi juara Denmark musim lalu.
    
Tapi pernahkah ada cerita juara sebuah kompetisi elite oleh sebuah klub yang di musim sebelumnya nyaris terdegradasi. Cerita indah Leicester City yang ditangani Nigel Pearson dengan “ngebut” di sembilan laga terakhir musim lalu dan membukukan 22 poin untuk selamat dari degradasi seperti jadi cerita biasa usai The Foxes demikian luar biasa musim ini ditangani oleh Claudio Ranieri, yang untuk sementara unggul 7 angka dari saingan terdekat mereka Tottenham Hotspur dengan Premier League hanya menyisakan 5 laga lagi.  

Akankah cerita super fenomenal ini terjadi oleh seorang pelatih yang  sejarah pencapaian prestasinya sebagai manager luar biasa, tapi tidak pernah sampai ke puncak.

Tinker Man
Saat ditawari pekerjaan sebagai pelatih Leicester di musim panas 2015, Claudio Ranieri sebenarnya tengah berlibur dengan keluarganya di pantai Sardinia di Italia.  Usai masa suram  setahun sebelumnya ketika hanya empat bulan bertahan sebagai pelatih timnas Yunani paska piala dunia 2014, membuat sang kakek lebih memilih menjaga cucu cucunya berlibur ketimbang memikirkan sepakbola.
    
Bagaimana tidak, tekanan dan kritik datang bahwa Ranieri dianggap sebagai pelatih masa lalu akibat kegagalannya mengangkat Hellas di kualifikasi Euro 2016.  Padahal sebagai pelatih klub, namanya jadi jaminan hasil hasil baik.  Diawali ketika memegang Chelsea sejak tahun 2000.  

Claudio Ranier tengah menuai sukses bersama Leicester City. (Reuters/Carl Recine)
Puncaknya ketika Chelsea diambil alih oleh Roman Abramovic di tahun 2013.  Fulus sebesar 120 juta poundsterling bisa membuat Chelsea yang mendatangkan Damien Duff, Wayne Bridge, Joe Cole, Glen Johnson, Hernan Crespo, Juan Sebastian Veron, Claude Makelele dan Adrian Mutu membuat berbagai macam rekor klub dengan jumlah kemasukan paling sedikit dan pecapaian poin yang merupakan rekor Chelsea sepajang sejarah.
    
Dianggap sukseskah Ranieri ? Tidak, karena berada di bawah Arsenal di premier league, hanya mencapai semifinal di liga champion walaupun menyingkirkan Arsenal, tapi kalah dari AS Monaco yang memulai awal kritik kepadanya.  Chelsea lolos langsung ke putaran grup Liga Champions, tapi kegagalan Ranieri menjadi juara ditambah embel-embel kesalahannya yang mengkibatkan Chelsea kalah dari Arsenal semusim sebelumnya di final FA Cup dianggap sebagai titik kejatuhannya.  

Media Inggris menjulukinya The Tinker Man karena dianggap terlalu banyak merotasi pemain sehingga tidak ada pakem  dalam pola permainan The Blues.  2003 / 04 jadi musim terakhir The Tinker Man di Stamford Bridge dan posisinya digantikan oleh Jose Mourinho.

Berlanjut

Berlanjut
Fenomenal dalam permainan dan hasil tapi tidak dalam hal gelar terus berlanjut dalam karier Claudio Ranieri.  Sempat mengeluarkan buku dibulan September 2004 dengan judul Proud Man Walking tentang kiprah akhirnya di Stamford Bridge, Ranieri tetap seperti bukunya menunjukkan idealisme kepelatihannya yang tidak tergoyahkan, walaupun gelar terus menjauhi.
    
Awal yang menjanjikan bersama Valencia yang waktu itu bersatatus juara piala UEFA, Ranieri memang merebut gelar Piala Super Eropa dengan mengalahkan FC Porto yang telah ditinggalkan oleh Jose Mourinho dan pasukannya ke Chelsea, tapi Valencia kemudian hanya menempati urutan ke 6 La Liga dan berujung pada pemecatannya.
    
Cerita manusia nyaris terus berlanjut ketika bisa membawa Juventus yang baru kembali dari Serie B ke urutan ke tiga Serie A dan otomatis masuk ke Liga Champions kembali.  Tapi musim berikutnya ketika lebih banyak tertatih tatih dibawah bayang bayang mulut besar Jose Mourinho yang menangani Internazionale, Ranieri dipecat dan digantikan oleh Ciro Ferrara yang kemudian membawa kuda zebra ke urutan kedua.
    
Kisah yang sama ketika menangani AS Roma yang dibawanya dimusim 2009 / 10 melewati 23 pertandingan tanpa terkalahkan. Rekor fenomenal yang kembali tercoreng karena kalah perebutan scudetto dengan Internazionale dan juga final Coppa Italia dari lawan yang sama yang masih ditangani oleh The Special One.  Nasib untuk terus jadi nomor dua berlanjut di AS Monaco. Musim 2013/14, nyaris menjadi juara, klub kebanggaan keluarga Grimaldi ini harus puas berada di urutan kedua Ligue 1 dibawah Paris Saint-Germain.
    
Leicester City kini berpeluang besar menjadi juara Liga Inggris musim ini. (Reuters)
Sebaliknya ketika menangani tim tim dipapan bawah tangan dinginnya yang memang fenomenal justru lebih dihargai  Pujian ketika menyelamatkan Parma dari degradasi di musim 2006/07, setelah menggantikan Stefano Pioli sejak Februari 2007 di giornata 24.  Juga ketika membawa AS Monaco jadi juara Ligue 2 di musim pertama kepelatihannnya tahun 2012/13.
    
Itu sebabnya, ketika bersengketa dengan Nigel Pearson diawal musim 2015 / 16, ketua umum Leicester City, Vichai Srivaddhanaprabha menggantungkan harapan pada kakek kelahiran Roma, 20 Oktober 1951 ini. Tujuannya adalah membalikkan ramalan bahwa Leicester akan degradasi ke Championship dikahir musim. Target pun tidak muluk muluk. Hanya 40 poin, batas zona poin aman terdegradasi.
    
Hanya dengan mendatangan N’Golo Kante dan mempermanenkan Robert Huth, skema permainan Ranieri berputar pada kerja keras kolektif sisa pasukan Niger Pearson musim sebelumnya.  Memaksimalkan Jamie Vardy, Riyad Mahrez, Daniel Drinkwater dan Marc Albrighton, sejarah mencatat kisah fenomenal musim ini.
    
Masih lima laga lagi menuju cerita Nottingham Forest dan Blackburn Rovers.  Tapi target awal musim berupa 40 poin sudah dicapai Ranieri hanya lewat setengah musim. Target baru 79 poin hanya berselisih 7 poin lagi.  Ranieri memang masih memegang predikat manusia nyaris yang harus dipatahkannya dalam laga menjamu West Han United, Swansea City dan Everton serta tandang ke Old Trafford dan Stamford Bridge.
    
Sembilan laga pamungkas musim lalu harus diulang oleh Wes Morgan dkk dalam lima laga terakhir musim ini. Dan dengan menilik efektifnya mereka menata lini belakang dan menjebol gawang lawan dala liga laga terakhir, julukan The Tinker Man dan Manusia Nyaris milik Ranieri seharusnya bisa dihapus.

Ingat bahwa airmata Ranieri usai mengalahkan Sunderland di Stadium of Light lewat dua gol Jamie Vardy minggu lalu adalah bentuk ketegangan akibat tekanan raget baru juara musim ini. Tekanan yang harus dipatahkannya untuk mematahkan mitos Manusia Nyaris miliknya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya