Liputan6.com, Jakarta - Tahun berganti, namun tekanan yang dirasakan Josep Guardiola tak juga menipis. Kemenangan atas Burnley tak lantas mengenyahkan kritik yang meluncur deras ke arah manajer Manchester City tersebut. Kritik bermunculan seiring laju City yang tersendat-sendat belakangan ini.
Sebenarnya keadaan yang dihadapi Guardiola saat ini tidaklah mengejutkan. Ketika dia dipastikan menangani Manchester City, kolom ini sudah memperkirakan hal itu. Selain soal persaingan di Premier League yang jauh lebih ketat, Guardiola akan kesulitan karena The Citizens tak memiliki fondasi bagi gaya sepak bola yang diusungnya. Sudah begitu, skuat yang ada terbilang uzur.
Baca Juga
Hal yang membuat Guardiola kesulitan adalah sikapnya yang keras kepala. Dia berkeras menerapkan sepak bola yang ada di dalam pikirannya. Dia tak mau berkompromi dan beradaptasi dengan kultur yang telah terlebih dulu eksis. Pendepakan Joe Hart, kiper nomor satu Inggris, membuktikan hal itu. Guardiola menutup pintu hanya karena Hart bukan ball-playing goalkeeper.
Lalu, simak saja komentarnya usai kekalahan 2-4 dari Leicester City. "Kami tidak akan mengubah cara main. Saya tidak akan melakukan hal yang tak saya suka. Untuk kembali menang, kami hanya perlu meminimalkan kesalahan," kata Guardiola.
Advertisement
Sikap ini sangat bisa dimengerti. Guardiola adalah anak ideologis Johan Cruyff. Guardiola tentu memegang teguh prinsip bahwa sepak bola harus dimainkan dengan indah seperti yang diungkapkan Cruyff dalam autobiografinya, My Turn. "Saya selalu mengatakan bahwa sepak bola harus dimainkan dengan indah, dan dengan cara menyerang. Sepak bola harus menjadi sebuah tontonan," ucap Cruyff.
Itu bukanlah sesuatu yang keliru. Namun, itu menjadi masalah serius karena membuat Guardiola kurang atau bahkan tidak fleksibel. Ini lantas menjadi faktor penghambat adaptasinya di Inggris. Padahal, jauh-jauh hari, sudah banyak yang memperingatkan nilai penting adaptasi karena Premier League memang benar-benar berbeda dari liga-liga lain di Eropa.
"Ketika datang ke lingkungan berbeda, Anda tentu akan kesulitan. Premier League benar-benar berbeda. Hingga Anda tiba dan hidup di dalamnya, Anda tak akan tahu rasanya," ujar Mauricio Pochettino, manajer Tottenham Hotspur.
Sementara itu, Antonio Conte yang mengasuh Chelsea berujar, "Saya kira, secara umum, ketika Anda berganti negara, menghadapi habitat dan bahasa baru, dan Anda harus menerapkan metode dan filosofi Anda, itu bukan perkara mudah."
Cara Conte
Conte tak asal bicara. Dia menghadapi hal serupa. Seperti Guardiola, dia baru menangani Chelsea pada musim ini. Masalah yang dihadapinya pun mirip. Filosofinya berbeda dengan kultur yang telah terbangun di The Blues. Itu sebabnya dia pun agak kesulitan pada awal-awal kiprahnya sebagai manajer Chelsea.
Berbeda dengan Guardiola yang langsung berupaya keras menerapkan metode dan filosofinya begitu tiba di Stadion Etihad, Conte memilih langkah lain. Dia tak serta-merta menerapkan pola tiga bek di timnya. "Dalam sejarah Chelsea, ini (bermain dengan tiga bek) tak pernah terjadi, bukan? Mengubah hal ini, situasi ini, secara total, tidaklah mudah. Anda harus pelan-pelan," kata dia.
Di sinilah letak kecerdikan Conte. Dia menunggu waktu yang tepat dengan tetap menaati kultur lama. Adapun metode dan filosofi sepak bolanya sedikit demi sedikit saja yang dimasukkannya. Begitu kekalahan dari Liverpool dan Arsenal datang, barulah dia melakukan perubahan besar, menerapkan pola 3-4-3.
Secara tidak langsung, dengan hasil tak memuaskan yang dituai selama memakai pola lama, Conte meyakinkan anak-anak asuhnya untuk mau berubah. Ketika pola baru yang diterapkannya berbuah manis, para pemain pun menaruh kepercayaan lebih besar kepada pria asal Italia tersebut.
Di City, dengan pola dan gaya main baru, Guardiola memang langsung menuai hasil bagus, sepuluh kemenangan beruntun. Namun, ketika rentetan hasil buruk dituai, keresahan muncul. Sangat mungkin ada kerinduan pada gaya main lama. Mungkin pula tumbuh keraguan pada sang manajer. Apalagi ketika upaya-upaya yang dilakukan Guardiola tak mengembalikan City ke jalur kemenangan dan kejayaan.
Mau tidak mau, Guardiola harus menemukan jurus jitu. Untuk itu, dia harus lebih fleksibel dan akomodatif. Dia wajib menghilangkan kesan "tak mengerjakan PR sebelum pertandingan". Eks pelatih Barcelona dan Bayern Muenchen itu tak perlu keukeuh memegang teguh filosofinya. Bukankah, dalam beberapa hal, bersikap realistis, bahkan agak pragmatis, justru lebih baik?
Lagi pula, keberhasilan City meraup sepuluh kemenangan pada awal musim sebenarnya tak terlepas dari gaya main yang agak menyimpang dari pakem Guardiola. Saat itu, mereka bermain dengan lebih direct dan mengandalkan kecepatan para pemain di sektor penyerangan.
Advertisement
Kans Juara
Perubahan besar itu sangat dibutuhkan karena kans juara belum tertutup. Mereka memang tertinggal tujuh poin dari Chelsea yang kini berada di puncak klasemen. Selisih itu terbilang lebar di tengah persaingan ketat yang terjadi di Premier League. Namun, koleksi 42 poin adalah modal tersendiri. Dalam sepuluh musim terakhir, juara Premier League selalu mengantongi setidaknya 40 poin setelah melewati 20 pertandingan. Musim lalu, Leicester City juara dengan koleksi 40 poin pada pekan tersebut.
Kans Sergio Aguero cs. masih terbilang sama dengan Liverpool yang berada di posisi kedua dengan 44 poin. Dalam satu dekade terakhir, hanya empat kali tim juara menuai kurang dari 45 poin setelah 20 pekan berlalu. Beda halnya dengan Manchester United yang saat ini hanya meraup 39 poin. Laju kencang belakangan ini sepertinya sulit berbuah manis karena sudah tercecer terlalu jauh dalam perburuan gelar juara.
Adapun kans terbesar tentu saja milik The Blues. Koleksi 49 angka adalah modal berharga. Di samping itu, mereka pun unggul lima poin dari peringkat kedua. Keunggulan lebih dari tiga poin dari rival terdekat pada pekan ke-20 biasanya membuat pemuncak klasemen tak teradang untuk juara.
Belum lagi status pemuncak klasemen saat Natal lalu. Dalam tujuh musim terakhir, enam pemuncak klasemen saat Natal mengakhiri musim sebagai juara. Saat juara dalam empat kesempatan terakhir, yakni musim 2004-05, 2005-06, 2009-10, dan 2014-15, The Blues juga selalu berada di puncak klasemen saat Natal.
Fakta tersebut jelas menjadi sinyal kuning bagi City. Untuk membuat menggalkan The Blues, mereka harus membuat gebrakan besar dan tak boleh membuat kekeliruan fatal. Bila tak hati-hati dan Guardiola gagal menurunkan egonya, bisa saja mereka malah gagal finis di big four. Patut diingat, Tottenham, Liverpool, dan Arsenal menunjukkan performa yang tak kalah apik. Demikian pula Man. United belakangan ini.
Pertanyaannya, relakah Guardiola mengkhianati nuraninya? Sudikah dia mendengarkan nasihat para koleganya dan kritik yang berhamburan? Maukah dia belajar dari Conte? Bukankah soal tackle saja dia dengan tegas mengatakan bukan pelatih tackle dan tak akan melatih para pemainnya untuk melakukan tackle?
Setiap manajer punya cara dan filosofi tersendiri. Namun, pada akhirnya, sepak bola adalah pertempuran yang harus dimenangi. Sepak bola juga soal menang dan kalah. Tanpa adaptasi yang baik dan fleksibilitas terhadap kondisi yang ada, tentu sulit meraih kemenangan dan kejayaan.
*Penulis adalah komentator dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz.