KOLOM: Inggris Bukan Lagi Big Four di Liga Champions

Klub-klub asal Inggris mulai sering tampil mengecewakan di Liga Champions.

oleh Liputan6 diperbarui 17 Mar 2017, 08:00 WIB
Diterbitkan 17 Mar 2017, 08:00 WIB
Kolom Bola Asep Ginanjar
Kolom Bola Asep Ginanjar (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Big Four. They're big, there are four of them and they won't let anyone else play. Begitulah kata Nick Davidson dan Shaun Hunt dalam buku Modern Football is Rubbish. Manchester United, Liverpool, Arsenal, dan Chelsea memang begitu dominan saat memasuki milenium baru. Dari 2003-04 hingga 2008-09, lima kali keempatnya menguasai 4-besar Premier League. Anomali hanya musim 2004-05 ketika Everton finis di posisi ke-4.

Dominan di Premier League, big four secara otomatis jadi wajah Inggris di pelataran Eropa. Dalam 15 musim beruntun dari 1997-98 hingga 2011-12, selalu ada anggota big four yang lolos ke perempat final Liga Champions. Bahkan, dari 2006-07 hingga 2008-09, tiga dari kuartet big four selalu menghiasi semifinal Liga Champions, ajang antarklub terelite di Eropa. Pada 2008-09, Man. United dan Chelsea malah mewujudkan all English final.

Sungguh sulit membayangkan dominasi itu goyah atau bahkan runtuh. Tidak dalam mimpi tergila sekalipun. Klub-klub big four punya segalanya. Mereka punya tradisi yang apik dan kondisi keuangan yang luar biasa baik. Mereka bisa membeli pemain mana pun sesuai keinginan. Bahkan Kevin Keegan saja khawatir. "Jangan-jangan, Premier League bakal jadi kompetisi yang paling menjemukan," kata dia.

Ekspresi gelandang Manchester City,  Kelechi Iheanacho (kedua kanan) usai pertandingan melawan AS Monaco pada leg kedua babak 16 besar Liga Champions di stadion Louis II, Monaco (16/3). City takluk 3-1 atas AS Monaco. (AP/Claude Paris)

Toh, pergantian zaman selalu membawa perubahan. Masa-masa kejayaan big four sudah sirna. Di Premier League, dominasi mereka sudah direcoki Manchester City dan Leicester City. Di Liga Champions, lebih buruk lagi. Dalam tiga musim terakhir, tak ada klub big four yang berhasil menembus perempat final. Big four bukan lagi wajah Inggris di Liga Champions.

Jika musim lalu wajah Inggris adalah Man. City, musim ini giliran Leicester. Dari empat wakil Inggris, hanya The Foxes yang memastikan lolos ke perempat final. Kemenangan agregat 3-2 atas Sevilla, juara Liga Europa, membuat mereka menyamai jejak Chelsea yang juga menembus 8-besar saat menjalani musim perdana di ajang antarklub terelite di Eropa tersebut pada 1999-00. Juga Tottenham Hotspur pada 2010-11.

Tiga wakil Inggris lainnya babak belur. Arsenal, satu-satunya wakil big four di kancah Liga Champions musim ini, dipermak habis sang musuh bebuyutan, Bayern Muenchen, dengan agregat 2-10. Sementara itu, Man. City disingkirkan AS Monaco. Kekalahan 1-3 di Stade Louis II, Kamis (16/03/2017) dinihari WIB, membuat tim asuhan Pep Guardiola kalah agresivitas gol tandang. Adapun Tottenham lebih dulu tersungkur di fase grup dengan finis di bawah AS Monaco dan Bayer Leverkusen.

Para pemain Leicester City merayakan kemenangan setelah memastikan lolos ke perempat final Liga Champions di King Power Stadium, (14/3/2017). Leicester City menang agregat atas Sevilla 3-2 . (AP/Rui Vieira)

Ini jelas mengejutkan. Jangankan dibandingkan dengan para raksasa Eropa, di antara para wakil Inggris saja Leicester hanyalah anak bawang. Mereka memang berstatus juara Premier League, namun performa buruk sejak awal musim membuat The Foxes tak diperhitungkan. Banyak orang meyakini, tak akan bisa Leicester membuat dongeng seperti di Premier League musim lalu. Faktanya, Leicester ukir sejarah buat mereka sendiri di Liga Champions.

Mengejar Villarreal

Kini, seiring langkah hebat melewati Sevilla dan kebangkitan yang ditunjukkan sejak Claudio Ranieri dilengserkan, publik sepak bola dipaksa terpesona lagi, dibuat bertanya-tanya lagi. Akankah kejutan kembali dibuat Riyad Mahrez dkk.? Apakah mereka bisa menyamai atau bahkan melebihi langkah Villarreal yang dibuat pada 2005-06?

Hingga kini, Villarreal musim 2005-06 adalah debutan tersukses di Liga Champions. Finis di posisi ketiga Divisi Primera 2004-05, El Submarino Amarillo menjalani debut di Liga Champions lewat kualifikasi. Namun, mereka lantas digdaya. Di fase grup, anak-anak asuh Manuel Pellegrini tak terkalahkan. Di perempat final, Internazionale, raksasa Italia, dibuat gigit jari. Sayang, langkah mereka terhenti di semifinal gara-gara penalti Juan Roman Riquelme diselamatkan kiper Arsenal, Jens Lehmann.

Bagi Craig Shakespeare, caretaker manajer yang dipastikan menangani The Foxes hingga akhir musim, itu bukan kemustahilan. Dalam konferensi pers jelang timnya menjamu Sevilla, saat ditanya wartawan soal peluang juara, dia dengan elegan menjawab, "Kenapa tidak?"

Kegembiraan para pemain Leicester City merayakan gol Marc Albrighton (kanan) saat melawan Sevilla pada leg kedua Babak 16 Besar Liga Champions di Juventus stadium, (14/3/2017). Leicester City menang 2-0. (AP/Rui Vieira)

Kepercayaan diri kian terdongkrak usai mengandaskan Sevilla. Dia tahu persis The Foxes akan menghadapi lawan yang jauh lebih berat, sebagian adalah para raksasa Eropa. Namun, setelah melewati juara Liga Europa dan memuncaki klasemen grup yang juga dihuni FC Porto, tak ada yang perlu ditakutkan lagi. Asalkan spirit bisa tetap dijaga dan semua komponen tim menjalankan rencana dengan sempurna, tak ada yang tak mungkin.

Setelah menjuarai Premier League pada musim lalu, memang tak ada lagi hal yang mustahil bagi Leicester. The Foxes telah melewati kemustahilan terbesar. Kemustahilan yang ditandai oleh angka 5.000-1 di bursa taruhan sebelum Premier League 2015-16 bergulir.

Modal mereka bukan cuma rasa percaya diri. Danny Drinkwater cs. juga selalu menunjukkan motivasi berbeda di Liga Champions. Meski terpuruk di Premier League, jiwa petualang yang ada dalam diri para penggawa The Foxes terlihat nyata saat berlaga di Liga Champions. Seperti petualang, mereka ingin menaklukkan arena-arena baru, daerah-daerah yang belum pernah dijelajahi.

Pelatih Leicester City, Craig Shakespeare memberikan instruksi kepada anak asuhnya saat melawan Sevilla pada Babak 16 Besar Liga Champions di King Power Stadium, (14/3/2017). Leicester City menang agregat atas Sevilla 3-2 . (AP/Rui Vieira)

Para petualang pun selalu penuh kegembiraan. Setiap jejak baru yang dibuat dan langkah baru yang terayun, mereka selalu riang. Kegembiraan itu pula yang ditunjukkan Leicester. Sejak Craig Shakespeare mengambil alih tim dari Ranieri, Wes Morgan dkk. seolah mendapatkan kembali die Freude am Fussball, kegembiraan dalam memainkan sepak bola, yang sempat hilang seiring beberapa aturan baru dari Ranieri pada awal musim ini. Tak heran bila Gianluigi Buffon, kiper kawakan Juventus, menyebut The Foxes adalah lawan yang ingin dihindari di perempat final.

Ancaman Monaco


Meski demikian, The Foxes tentu tak boleh terjebak dalam rasa percaya diri yang terlalu tinggi. Apalagi, bukan hanya mereka yang tengah mendongeng di kancah Liga Champions kali ini. Monaco pun begitu. Karena memulai kiprahnya di babak kualifikasi III, bila juara, dongeng Monaco tak akan kalah fenomenal.

Seperti halnya Leicester, Monaco juga kuda hitam yang tak bisa dianggap enteng. Secara khusus, Radamel Falcao cs. adalah momok bagi klub-klub Inggris. Musim ini, Man. City dan Tottenham jadi korban mereka. Tottenham dua kali dikalahkan 2-1 di fase grup, sedangkan Man. City disingkirkan di 16-besar lewat keunggulan gol tandang. Dua musim lalu, Monaco pula yang mengandaskan Arsenal di babak 16-besar.

Bek AS Monaco, Fabinho melakukan selebrasi usai mencetak gol ke gawang Manchester City di leg kedua babak 16 besar Liga Champions di stadion Louis II, Monaco (16/3). Monaco berhasil lolos ke perempat final Liga Champions. (AP/Claude Paris)

Hal yang menarik dari Monaco tentu saja deretan pemain mudanya. Saat menjamu The Citizens, rerata umur starting XI Monaco adalah 24,7 tahun. Kylian Mbappe jadi mutiara yang paling menyedot perhatian karena aksi-aksi menawannya. Sejumlah klub teras Eropa belakangan ini mulai dihubung-hubungkan dengan pemain berumur 19 tahun tersebut. Belum lagi Thomas Lemar, Benjamin Mendy, Tiemoue Bakayoko, Fabinho, dan tentu saja Bernardo Silva.

Anak-anak muda itu pun berada di tangan yang tepat. Jardim, pria Portugal yang mengaku tak mau berkiprah sampai setua Sir Alex Ferguson itu, bukanlah pelatih biasa. Dia lebih tepat disebut filsuf. Dia menerapkan teori kompleksitas Edgar Morin, filsuf dan ahli sosilogi asal Prancis. Jardim sepakat dengan Morin bahwa segala sesuatu terjadi berkat interaksi faktor-faktor yang kompleks.

"Sepak bola juga begitu. Sebuah tim yang bermain baik, tak ubahnya orkestra yang terdiri dari beragam instrumen musik namun bermain dalam tempo yang sama. Ketika itu tak terwujud, yang ada hanyalah rangkaian kesalahan dan kekacauan," papar Jardim yang berusaha menyeimbangkan penekanan teknik, fisik dan psikologi dalam menangani timnya.

Jardim juga pendengar yang baik. Setelah dua musim dikritik karena timnya tak subur dan cenderung membosankan, dia memberikan jawaban dengan pendekatan menyerang pada musim ini. Dia membebaskan para gelandang serang dan striker bergerak membingungkan pertahanan lawan. Dia juga mendorong kedua bek sayapnya merangsek jauh ke wilayah lawan.

Hasilnya, Monaco menjadi tim yang sangat subur. Di Eropa musim ini, hanya Barcelona yang lebih dulu mencetak 100 gol dibanding mereka. Itu pun mereka terpaut beberapa menit saja. Dari 47 laga yang telah dilakoni, hanya lawatan ke kandang OGC Nice dan Bayer Leverkusen yang tak mampu mereka hiasi dengan gol.

Les Rouget et Blancs juga berpeluang merebut treble winners. Di Ligue 1, mereka masih memimpin klasemen dengan keunggulan tiga poin dari sang juara bertahan, PSG. Di Coupe de la Liga, Monaco akan menghadapi PSG pada final, awal April nanti. Adapun di Coupe de France, Mbappe dkk. dijadwalkan bertemu Lille OSC di perempat final hanya empat hari setelah final Coupe de la Ligue.

Penyerang AS Monaco, Kylian Mbappe (kiri) melakukan selebrasi usai mencetak gol ke gawang Manchester City di leg kedua babak 16 besar Liga Champions di stadion Louis II, Monaco (16/3). AS Monaco menang 3-1 atas City dengan aggregat 6-6. (AP/Claude Paris)

Ini tentu akan jadi tambahan motivasi untuk Fabinho cs. Bagaimanapun, bagi Monaco, kesempatan merebut treble winners tidak hadir setiap musim. Jardim tentu paham, ketika kesempatan itu datang, mereka tak boleh membiarkannya lewat begitu saja. Apalagi, karena berencana pensiun pada umur 50 tahun, waktu yang tersedia baginya untuk menorehkan prestasi istimewa tidaklah banyak.

*Penulis adalah komentator dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya