Liputan6.com, Jakarta - Manusia boleh berencana, Tuhan juga yang menentukan. Pada 18 Mei 2013, Jupp Heynckes dengan mantap meyakini lawatan Bayern Muenchen ke Borussia Park milik Borussia Moenchengladbach adalah hari terakhirnya sebagai pelatih. Itu juga menjadi penutup kariernya di kancah sepak bola dunia.
Hari itu, Heynckes sampai tak bisa menahan haru. Dalam konferensi pers usai pertandingan yang dimenangi Bayern dengan skor 4-3, emosinya campur aduk. Dia terharu karena laga terakhirnya di Bundesliga 1 ternyata berlangsung di markas klub yang dulu membesarkan namanya sebagai striker ulung.
Advertisement
Baca Juga
Sejak hari itu, Heynckes menutup pintu kembali ke lapangan hijau. Ketukan dari siapa pun tak digubrisnya. Dia bertekad bulat, bab sepak bola sudah tamat dalam kisah hidupnya. Tak perlu dan tak akan ada lagi tambahan kisah yang dipaksakan seperti sinetron-sinetron kejar tayang.
Empat tahun berlalu, semuanya tampak sesuai rencana. Hingga datang sebuah permintaan dari Uli Hoeness dan Karl-Heinz Rummenigge, akhir September lalu. Mereka meminta sang pelatih kawakan untuk turun gunung, mengambil alih kemudi Bayern yang oleng di tangan Carlo Ancelotti.
Heynckes gundah. Setiap kali Hoeness meminta kembali ke Saebener Strasse, hatinya selalu tak kuasa untuk menolak. Ini kali ketiga hal itu terjadi. Seperti pada dua kesempatan terdahulu, hatinya dilanda perang sabil. Ujungnya selalu sama. Dia bersedia mengulurkan tangan. Demi persahabatan, demi cinta.
Bagi Heynckes, Bayern sudah menjadi cinta kedua di samping Gladbach. Namun, menariknya, kecintaan terhadap Die Roten justru lebih tampak nyata. "Andai bukan Bayern, saya tak akan bersedia menerima tawaran ini," kata dia saat diperkenalkan sebagai pelatih anyar Die Roten hingga akhir musim.
Mantan striker ulung era 1970-an itu memperkuat pernyataan itu dengan mengatakan, "Sebenarnya ada beberapa tawaran yang datang kepada saya sebelum ini. Namun, saya menampik semuanya."
Kebesaran Jiwa
Itu sungguh di luar dugaan. Akan lebih masuk akal bila kecintaan luar biasa itu ada untuk Gladbach. Bagaimanapun, Die Fohlen adalah klub yang membesarkan namanya sebagai pemain dan stasiun pertamanya sebagai pelatih.
Lagi pula, dia sempat disakiti oleh Die Roten. Pada 1991, Heynckes dipecat oleh Bayern. Itu sungguh menyakitkan karena dia sebelumnya membawa Die Roten juara Bundesliga 1 musim 1988-89 dan 1989-90. Dia seolah tak dihargai.
Lalu, saat pergi pada 2013, pria yang juga kerap dijuluki Don Jupp karena pernah lama berkiprah di Spanyol itu juga diiringi sakit hati. Sebabnya, Hoeness dkk. melakukan pendekatan kepada Pep Guardiola di belakang punggungnya. Lalu, Rummenigge selalu mengatakan, kandidat pelatih musim depan tetaplah Heynckes.
Don Jupp kecewa berat. Pasalnya, dia baru diberitahu hal itu setelah Die Roten mencapai kesepakatan dengan Guardiola. Bahkan, dia lebih dulu tahu dari pemberitaan media massa. Dalam wawancara dengan Der Spiegel, dia dengan tegas mengatakan, "Tentu saja saya tak suka atas perilaku mereka. Saya tunjukkan hal itu kepada mereka."
Meskipun demikian, dia mampu mencerna semuanya dengan akal sehat dan perasaan yang jernih. "Saya marah, tapi itu tak mengubah fakta bahwa mereka membuat putusan yang benar," kata mantan pelatih Tenerife itu soal penunjukan Guardiola pada 2013.
Heynckes tahu betul bahwa cinta sejati itu bukanlah harus memiliki sepenuhnya hingga mati. Cinta sejati itu adalah kerelaan untuk melihat pihak yang dicintai bisa bahagia, bahkan mungkin lebih bahagia, tanpa keberadaannya.
Bukan hanya itu, Heynckes juga tak memendam dendam dan sakit hati. Dia menunjukkan hal itu terhadap Guardiola. Andai mau, dia bisa saja mengambil jabatan di Bayern yang membuat dia bisa menghantui sang penerus. Dia juga bisa menerima tawaran menjadi pundit. Namun, dia menepikan semuanya. Alasannya sederhana saja, "Saya tak mau mencampuri urusan kolega saya."
Advertisement
Selalu Serius
Setiap kali menerima undangan pulang ke Saebener Strasse, Heynckes selalu serius dan penuh tanggung jawab. Tak terkecuali saat dia hanya menjadi pelatih sementara pada pengujung musim 2008-09. Hanya bertugas dalam lima pertandingan tak lantas membuat dia bekerja setengah hati.
Kini pun begitu. Walau dalam umur 72 tahun, Heynckes menunjukkan profesionalisme luar biasa. Ketika datang, dia tak mau mengumbar janji. Dia membeberkan bahwa hal terpenting adalah mengurai masalah dan menemukan solusinya.
Salah satu bukti keseriusannya tentu saja kengototan mengajak Peter Hermann, mantan asistennya. Bahkan, dia menyatakan keberadaan Hermann sebagai prasyarat untuk kepulangannya ke Saebener Strasse. Ini cukup pelik karena Hermann terikat kontrak sebagai asisten pelatih Friedhelm Funkel di Fortuna Duesseldorf.
Heynckes memang bukan pelatih revolusioner macam Rinus Michels, Johan Cruyff atau Guardiola. Namun, dia juga sangat serius dalam menganalisis lawan. Sampai-sampai, sangat sulit bagi Hoeness untuk sekadar mengajaknya makan malam. "Saya selalu jawab, 'Saya harus mempelajari lawan berikut.' Dia jelas tak senang mendengar itu," kata dia.
Atas nama tanggung jawab itu pula, Heynckes terbilang tegas terhadap para pemainnya. Seiring kedatangannya, dia menetapkan sejumlah peraturan. Dari larangan menggunakan handphone di area latihan hingga keharusan membereskan ruang ganti.
Soal kedisiplinan, Heynckes tidak kenal ampun. Dalam pemusatan latihan di Doha (Qatar) pada Januari 2013, dia mendenda Toni Kroos dan Bastian Schweinsteiger. Gara-garanya, kedua bintang itu alpa memakai kaus kaki yang sudah ditetapkan dalam salah satu sesi latihan. Mereka memakai kaus kaki putih sementara sang pelatih meminta semua pemain memakai kaus kaki hitam.
Meskipun demikian, Don Jupp bukan seorang diktator. Dia selalu mengedepankan prinsip bahwa anak-anak asuhnya bukan hanya pesepak bola yang dibebani target dan misi, melainkan juga manusia biasa. Dalam bahasa Jerome Boateng, dia itu perpaduan figur ayah sekaligus pelatih sepak bola.
Entah bagaimana dunia akan mengenang Heynckes nantinya. Satu hal yang pasti, musim ini, dia memberikan pelajaran kepada kita tentang makna cinta dan profesionalisme yang sesungguhnya. Dia juga membuktikan bahwa umur memang hanyalah angka yang tak bisa menghalangi hasrat untuk berkarya.
*Penulis adalah jurnalis dan pemerhati sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz dan @defrisaeful