Liputan6.com, Jakarta - Kapan Bayern Munchen akan juara? Bisakah lebih cepat dari musim 2013-14? Pertanyaan itu mulai muncul ke permukaan sejak akhir Januari lalu. Sebabnya jelas, Bayern melaju terus, sementara klub-klub lain di papan atas tetap rajin kehilangan angka.
Akhir pekan lalu, jarak Bayern dengan pesaing terdekat di klasemen Bundesliga 1 kembali bertambah. Di saat Bayern menang 2-0 atas 1.FSV Mainz 05, FC Schalke 04 takluk 1-2 di tangan SV Werder Bremen, Bayer Leverkusen ditahan 0-0 oleh SC Freiburg, lalu Eintracht Frankfurt kalah 0-3 dari FC Augsburg.
Advertisement
Baca Juga
Hasil-hasil itu membuat Die Roten kini unggul 18 poin dari Leverkusen yang sementara ini berada di posisi kedua. Itu adalah rekor di Bundesliga 1. Sebelumnya, keunggulan terbesar pemuncak klasemen atas pesaing terdekat pada spieltag ke-21 adalah 16 poin. Itu terjadi pada 2013-14. Ketika itu, Bayern Munchen mengoleksi 59 poin, sedangkan Leverkusen hanya mengemas 43 angka.
Karena pada musim 2013-14 itu Bayern memastikan gelar juara pada pekan ke-27 pada pengujung Maret, tak heran bila banyak orang sekarang sudah pasrah. Musim ini, mereka akan bersiap melihat Bayern kembali mengulangi hal itu. Sungguh mengecewakan. Sebuah antiklimaks bagi kompetisi yang pada awalnya begitu menggairahkan karena Die Roten tertatih-tatih.
Deltatre, perusahaan yang bergerak di bidang statistik olahraga, menambah pesimisme banyak orang. Menurut perhitungan mereka, armada Jupp Heynckes akan memastikan juara saat menghadapi Freiburg pada spieltag ke-25, 4 Maret mendatang. Itu dengan estimasi rerata poin Bayern tetap 2,8 per pertandingan, sementara klub-klub pesaing juga tetap berkutat di angka 1,55 hingga 1,76 poin per laga.
Ini jelas indikasi kompetisi yang antiklimaks. Bahkan, bisa jadi inilah musim terburuk dalam sejarah Bundesliga 1. Pasalnya, saat Heynckes mengambil alih tongkat kepelatihan pada awal Oktober 2017, Bayern Munchen tertinggal 5 poin dari Borussia Dortmund yang kala itu memuncaki klasemen.
Maka tak perlu heran bila sumpah serapah mulai tercurah dari mereka yang menganggap Bundesliga 1 adalah kompetisi sampah. Biarpun di liga-liga besar Eropa lain ada tim dengan keunggulan besar atas pesaing terdekat, tetap saja Bundesliga 1 yang paling membosankan.
Â
Â
Kritik Nowotny
Kondisi seperti ini tak ayal membuat banyak orang menyumpahi Bayern. Bagi banyak orang, klub asal Bavaria itulah biang keladi semua ini. Ya, apa pun hal buruk yang terjadi di Bundesliga 1 pasti gara-gara Bayern, sebangsat-bangsatnya klub di dunia ini. Hanya Die Roten yang dengan sendirian bisa merusak sebuah liga.
Anggapan itu membuat mantan bek Leverkusen, Jens Nowotny heran bukan kepalang. Baginya, menyalahkan Bayern atas kondisi Bundesliga 1 saat ini adalah lelucon luar biasa. Menurut dia, salah besar bila mengatakan Die Roten terlalu kuat dibanding klub-klub lain. Itu, kata dia, adalah teori yang terlalu mudah.
"Klub-klub lain seharusnya menganalisis diri sendiri, mengapa bisa kehilangan banyak poin dari klub-klub yang berada di papan bawah?" kata Nowotny. "Semua mengatakan bahwa Bayern bermain di liganya sendiri dan secara kualitas terlalu kuat untuk disaingi. Mereka lupa, misalnya, BVB bisa berada di atas andai tak mengalami krisis."
Bagi Nowotny, Bayern tidaklah benar-benar digdaya. Faktanya memang demikian. Tengok saja bagaimana kiprah mereka pada awal musim ini bersama Carlo Ancelotti. Andai saja pelatih asal Italia itu masih di Saebener Strasse, tentu cerita akan berbeda.
Akan tetapi, Uli Hoeness dan Karl-Heinz Rummenigge cepat bertindak. Begitu mengendus ketidakberesan, mereka mengambil putusan tegas. Ancelotti diberhentikan, Heynckes dipanggil pulang. Menurut Nowotny, inilah yang jadi pembeda utama antara Bayern dan klub-klub lain.
"Jadi, ini bukan soal kekuatan Bayern, tapi fakta bahwa banyak klub tidak menyelesaikan pekerjaan rumah mereka sepanjang paruh pertama," papar mantan bek timnas Jerman itu.
Secara tidak langsung, Nowotny menyindir Dortmund yang membiarkan Peter Bosz bertahan hingga jelang paruh pertama usai. Mereka tak memedulikan rangkaian hasil buruk yang dituai di Bundesliga 1 dan Liga Champions. Tak seperti Die Roten, manajemen Die Schwarzgelben terlalu lamban dan tak berani mengambil langkah tegas untuk mengubah situasi.
Advertisement
Melemahkan Bayern
Fenomena kompetisi yang cenderung membosankan itu membuat beberapa orang mengusulkan cara agar hal itu tak lagi terulang. Usulan yang dibuat pun beragam. Ada yang benar-benar serius, ada yang sekadar lelucon.
Di antara usulan yang serius antara lain penghapusan Aturan 50+1 yang akan membuka pintu bagi para investor besar dari luar negeri datang ke klub-klub Bundesliga 1. Kedatangan mereka diyakini akan membuat Bayern mendapatkan pesaing sepadan, tak lagi dominan dalam hal finansial.
Ada pula usulan soal draft pemain ala NBA setiap awal musim. Itu juga dinilai bisa menghentikan kecenderungan Bayern mendapatkan talenta-talenta terbaik. Pasalnya, klub-klub terlemah justru berpeluang mendapatkan talenta-talenta yang ada di rangking teratas.
Usulan lainnya adalah mengadakan babak play-off seperti yang dilakukan di kompetisi-kompetisi olahraga di Amerika Serikat. Lalu, pemberlakuan salary cap yang juga umum dilakukan di Negeri Paman Sam.
Stefan Effenberg, mantan kapten Die Roten, bahkan mengusulkan perubahan format kompetisi. Dia menyarankan 18 klub Bundesliga 1 dibagi ke dalam dua grup dan berkompetisi hingga Natal. Lalu, sejak awal Januari, empat klub terbaik setiap grup plus peringkat ke-5 terbaik berkompetisi untuk memperebutkan tiket ke Eropa. Sisanya, sembilan klub lain berkompetisi di grup terpisah untuk menentukan tim yang terdegradasi ke Bundesliga 2.
Adapun usulan nyeleneh dibuat Felix Kronawitter dalam tajuknya di Mittelbayerische Zeitung. Jika usulan-usulan lain mengarah pada peningkatan kualitas kompetisi dan klub-klub selain Bayern, dia fokus pada upaya melemahkan Die Roten. Di antaranya, untuk musim-musim berikutnya, Bayern hanya akan menerima dua poin untuk setiap kemenangan.
Selanjutnya, dalam lima spieltag awal, Die Roten setidaknya harus menurunkan tiga pemain junior dengan tinggi tidak lebih dari 140 cm. Lalu, Arjen Robben hanya boleh mencetak gol dengan kaki kanan. Apabila melakukannya dengan kaki kiri, gol Robben akan dianulir. Terakhir, Bayern tak boleh lagi ditangani Heynckes, apa pun alasannya.
Berbagai usulan itu, terlepas sekadar satir, sungguh menarik untuk disimak. Pada akhirnya, memang hanya ada dua cara untuk menjadikan Bundesliga 1 kembali menarik dan atraktif. Pertama, menaikkan kelas klub-klub lain. Kedua, menurunkan kelas Bayern. Sudah barang tentu lebih sulit menaikkan kelas 17 klub ketimbang menurunkan kelas satu klub, kan? Namun, siapa sudi turun kelas dari klub besar menjadi klub semenjana dengan begitu saja?
*Penulis adalah pengamat sepak bola dan jurnalis. Tanggapi kolom ini @seppginz.