Liputan6.com, Jakarta - Hampir empat bulan sudah berlalu dari pertandingan menyesakkan di Stadion San Siro itu. Sebuah pertandingan tanpa berhias gol yang memaksa Italia gigit jari, gagal tampil di Piala Dunia. Sebuah pertandingan yang membuat "Il Capitano" Gianlugi Buffon berurai air mata dan "allenatore" Giampiero Ventura harus meletakkan jabatannya.
Pertandingan melawan Swedia itu adalah sejarah pahit bagi Gli Azzurri. Kalah agregat 0-1 dari Swedia membuat juara dunia empat kali itu absen untuk kali pertama dalam kurun enam dekade terakhir. Sejak kegagalan lolos pada 1958, Piala Dunia tanpa Italia adalah sesuatu yang tak terbayangkan.
Advertisement
Baca Juga
Empat bulan berlalu dari momen duka itu, tapi tanda-tanda perubahan belum tampak ke permukaan. Seperti orang yang masih "shock" berat, insan-insan sepak bola Negeri Piza gamang. Mereka seolah belum bisa "move on" atau melupakan dan segera bangkit dengan apa yang telah terjadi. Hingga kini, pengganti Ventura belum juga ada. Jangankan itu, mereka bahkan gagal menentukan presiden baru Federazione Italiana Giuoco Calcio (FIGC).
Kegamangan dalam menentukan pelatih baru sangat terlihat dari keterangan-keterangan yang dibuat Alessandro Costacurta, Wakil Ketua Komisioner FIGC. Dia tidak jua secara tegas mengungkapkan sosok yang benar-benar tengah didekati untuk menangani timnas Italia.
Entah siapa yang sebenarnya diinginkan sebagai pengganti Ventura. Soalnya, Claudio Ranieri yang menyatakan siap menerima tanggung jawab itu justru tak pernah dihubungi Costacurta dan para koleganya. Padahal, demi Gli Azzurri, Ranieri siap meminta FC Nantes memutus kontraknya. Waldemar Kita, Presiden Nantes, juga sudah memberikan lampu hijau.
Kegamangan juga diperlihatkan Luigi Di Biagio, pelatih Gli Azzurrini yang untuk sementara waktu ditugasi menangani Gli Azzurri. Dia memberikan isyarat akan memanggil kembali para pemain senior yang sudah menyatakan mundur sejak kegagalan lolos ke Rusia. Terutama Buffon dan Giorgio Chiellini. Dia berdalih, ini hanya untuk sementara.
Para pemain senior itu pun ternyata belum bisa "move on". Buffon siap kembali. Dia berdalih, Italia masih membutuhkan kehadirannya. Gelandang Daniele De Rossi dan bek tengah Chiellini pun begitu. Dia mengaku siap andai "allenatore" Gli Azzurri memanggilnya untuk kembali.
Kritik Cannavaro
Fenomena itu membuat Fabio Cannavaro mengelus dada. Dalam wawancara di suplemen Extra Time La Gazzetta dello Sport, dia terang-terangan mengaku terusik. Menurut dia, Italia masih berada di terowongan gelap dan cahaya belum terlihat di ujung sana.
Cannavaro menertawakan wacana kembalinya Buffon, De Rossi, dan para veteran lainnya. Bagi dia, ini adalah bukti bahwa insan-insan sepak bola negerinya tidak pernah belajar. Dia lantas mengingatkan kenyataan pahit di Piala Dunia 2010 saat mereka hanya menjadi juru kunci di fase grup.
Menurut kapten Gli Azzurri saat juara Piala Dunia di Jerman pada 2006 itu, ada satu pelajaran penting yang harusnya jadi pegangan pada saat ini. Itu adalah "move on". Di Afsel 2010, Italia gagal karena komposisi skuat yang tetap didominasi eks juara 2006. Sederet pemain veteran tetap bercokol. Salah satunya Cannavaro yang kala itu sudah berumur 36 tahun.
Cannavaro yakin, tak seharusnya Buffon cs. kembali ke Gli Azzurri. Dia merasa Italia tak kehabisan stok pemain yang pantas membela negaranya. Hal yang diperlukan hanyalah iktikad dan keberanian pelatih untuk memberikan kepercayaan kepada mereka.
Itu juga berlaku untuk pengganti Ventura. Ada banyak pelatih jempolan di Italia. Selain Ranieri, masih ada Carlo Ancelotti, Roberto Mancini, Massimiliano Allegri, Maurizio Sarri, hingga Antonio Conte, pelatih yang digantikan Ventura pada 2016.
Masalahnya itu tadi, Italia masih "shock" atas kegagalan lolos ke Piala Dunia. Itu masih menjadi hantu yang bergentayangan di kepal mereka. Chiellini bahkan mengatakan, dirinya tak mungkin nongkrong di depan televisi saat pertandingan-pertandingan Piala Dunia berlangsung nanti. Hal yang paling mungkin baginya hanyalah mengecek skor lewat ponsel pintarnya.
Inilah yang membedakan Italia dari Belanda. Tak menunggu terlalu lama, KNVB sudah menunjuk Ronald Koeman sebagai "bondscoach" anyar pengganti Dick Advocaat. Itu karena Oranje sudah akrab dengan kegagalan. Tak tampil di Rusia 2018 bukanlah hal yang terlalu mengejutkan. Mereka juga absen di Piala Dunia 1994 dan 2002. Apalagi, dua tahun lalu, mereka juga tak lolos ke putaran final Piala Eropa di Prancis.
Advertisement
Arsenal yang Janggal
Kegagalan-kegagalan itu membuat Belanda akrab dengan perubahan. Mereka tak takut melakukan hal tersebut karena hanya perubahan yang bisa menerbitkan harapan. Soal nantinya harapan itu nyata atau palsu, tak perlu dipikirkan dulu. Terpenting, berubah demi menerbitkan harapan.
Kiranya kesadaran itu yang patut ditumbuhkan pada diri insan-insan sepak bola Italia. Para pemain senior, seperti disarankan Cannavaro, baiknya memberi jalan kepada para pemain muda. Pelatih pun tinggal pilih dari opsi-opsi yang ada, tak perlu terus menunda-nunda.
Perubahan serupa juga kiranya harus dipikirkan Arsenal yang pada akhir pekan lalu dibantai 3-0 oleh Manchester City di final Piala Liga Inggris. Kekalahan itu memberikan gambaran jelas bahwa The Gunners tak pernah bisa lagi menjuarai Premier League bila hanya berkutat dengan kebijakan dan skuat yang sama.
Di Wembley, Arsenal mendapatkan pelajaran bahwa untuk sukses harus ada keinginan kuat dari manajemen, manajer jempolan, dan skuat yang berkualitas. The Citizens telah membuktikan, manajer bagus saja tak cukup. Musim lalu, Pep Guardiola gagal total. Tak satu pun trofi bisa diraihnya. Dari situ, mereka mendatangkan para pemain jempolan di semua lini. Hasilnya, kini mereka juara Piala Liga, unggul jauh di Premier League, dan jadi salah satu favorit di Liga Champions.
Di Arsenal, hasrat untuk berubah hanya ada di kalangan para suporter. Namun, apa daya, mereka bukanlah yang membuat putusan. Suara mereka tak ubahnya angin lalu. Di dalam klub, pemilik dan jajaran direksi seperti terjebak di zona nyaman. Mereka tetap puas walau The Gunners kian tercecer di klasemen dan kans meraih trofi berguguran. Sungguh janggal.
Manajer Arsene Wenger pun begitu. Dia tetap saja berkeras berada di posisinya. Padahal, suara-suara yang menginginkan dia mundur bergaung kencang dalam beberapa tahun terakhir. Wenger seperti Buffon. Dia merasa masih dibutuhkan timnya. Dia tak bisa membayangkan apa jadinya tim itu tanpa dirinya.
Harga sebuah perubahan memang besar. Biaya yang telah dikeluarkan Guardiola selama 21 bulan di Man. City saja sudah jauh melampaui dana transfer yang dikeluarkan Wenger selama 21 tahun. Arsenal harus berani mengambil risiko itu. Mereka mampu. Hanya kemauan yang belum ada. Tanpa itu, cerita musim ini pasti akan terus berulang hingga beberapa tahun ke depan. Entah sampai kapan.
*Penulis adalah jurnalis dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz