Deepfake Menghantui Pemilu 2024, Ini Tips Mengetahuinya dan Tetap Aman

Konten-konten deepfake berpotensi digunakan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab menjelang Pemilu 2024.

oleh Bogi Triyadi diperbarui 15 Mar 2023, 17:13 WIB
Diterbitkan 15 Mar 2023, 17:13 WIB
Tak Mau Kalah dengan Suporter Bola, Peserta Parpol Bawa Poster Nomor Urut
Deepfake menghantui Pemilu 2024 karena konten-kontennya berpotensi digunakan pihak-pihak yang tak bertanggung jawab untuk saling menjatuhkan para kandidat peserta. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Deepfake menghantui Pemilu 2024. Bagaimana bisa? Ini lantaran konten-konten deepfake berpotensi digunakan pihak-pihak yang tak bertanggung jawab untuk saling menjatuhkan para kandidat peserta pemilu.

Deepfake bisa berbentuk video, foto, hingga rekaman suara yang dibuat melibatkan orang-orang serta dengan neural network. Dalam pembuatannya, alih-alih memakai teknik pengeditan gambar tradisional, penggunaan deep learning menggeser kebutuhan akan keterampilan dan membuat gambar atau suara palsu lebih meyakinkan.

Vladislav Tuskanov mengatakan deepfake adalah contoh utama dari teknologi yang berkembang lebih cepat dari pemahaman manusia dan cara mengelola komplikasinya.

"Deepfake dianggap memiliki dua sudut pandang. Di satu sisi, sebagai instrumen tambahan bagi seniman. Kedua, memberi celah untuk disinformasi yang dapat menjadi tantangan bagi masyarakat, mengenai apa yang kita percayai," kata ilmuwan data utama di Kaspersky itu.

Hal senada dikatakan Firman Kurniawan. Pengamat Budaya dan Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia itu meyakini konten-konten deepfake diyakini akan semakin banyak ditemukan, khususnya pada tahun politik seperti Pemilu 2024.

Karena itu, dia meminta masyarakat agar tidak langsung percaya hanya pada satu informasi sehingga bisa menghindari konten manipulasi deepfake. "Jadi masyarakat perlu mengkombinasikan sumber-sumber informasi, tidak hanya pada satu macam saja," kata Firman dikutip dari laman Antara, Rabu (15/3/2023).

 

Cara Mengetahui Deepfake

Deepfake
Ilustrasi deepfake (Foto: Kaspersky)

Ilmuwan data utama di Kaspersky Vladislav Tuskanov memaparkan cara agar pengguna untuk dapat mengenali atau mengetahui deepfake. Berikut pemaparannya:

  • Deepfake yang meyakinkan, seperti menampilkan Tom Cruise, masih membutuhkan banyak keahlian dan upaya, bahkan bagi peniru profesional sekalipun.
  • Deepfake yang dipakai untuk scam masih cenderung berkualitas rendah. Pengguna bisa memperhatikan gerakan bibir yang tidak wajar, rambut dibuat dengan buruk, bentuk wajah tak selaras, sedikit atau tidak ada kedipan, warna kulit tidak cocok, dan lain-lain.
  • Kesalahan dalam rendering pakaian atau tangan yang melewati wadah juga bisa memperlihatkan betapa amatirnya sebuah deepfake.
  • Jika melihat orang terkenal atau publik membuat klaim palsu atau penawaran yang terlalu baik, meski videonya meyakinkan, pastikan untuk mengecek informasi melalui sumber terpercaya.
  • Perhatikan bahwa penipu dapat sengaja membuat kode video untuk menyembunyikan kekurangan deepfake.
  • Strategi terbaik bukanlah menatap video untuk mencari petunjuk, tetapi memakai akal sehat dan keterampilan memeriksa fakta.
  • Terapkan solusi keamanan terpercaya. Pasalnya, deepfake berkualitas tinggi meyakinkan pengguna untuk mengunduh file atau program berbahaya, atau mengunjungi situs web phishing mencurigakan.
  • Jika pengguna jadi korban deepfake pornografi, pengguna bisa menghubungi kedua situs web untuk meminta video tersebut dihapus. 

Cari Sumber Lain

Ilustrasi Pemilu 2019
Badut berbentuk kotak suara Komisi Pemilihan Umum (KPU), ondel-ondel, dan marching band ikut meramaikan pawai Deklarasi Kampanye Damai di Monas, Minggu (23/9). (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Pengamat Budaya dan Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia Firman Kurniawan meminta masyarakat agar lebih selektif dalam memilah informasi yang diperoleh. Masyarakat diminta tidak langsung percaya terhadap informasi yang diperoleh hanya dari satu sumber.

Hal itu menurutnya penting agar terhindar dari filter bubble maupun echo chamber. "Kalau sumber informasinya dibaca oleh algoritma satu macam, itu akan terjebak yang namanya filter bubble dan echo chamber," paparnya.

"Jadi dia masuk ke sebuah ruangan yang sudah berisi dengan informasi-informasi sejenis. Dia mengira itulah kenyataan tentang kandidat yang saya dukung, padahal kalau kita pakai sumber informasi yang lain, itu bisa jadi bunyinya akan lain, dan itu perlu keterbukaan pikiran untuk memahami," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya