[Cek Fakta] Pemerintah Fasilitasi Orang dengan Gangguan Jiwa Mencoblos? Ini Faktanya

Pemerintah disebut-sebut sengaja mengakomodasi ODGJ mencoblos saat pemilu 2019. Jangan buru-buru percaya, simak faktanya!

oleh Hanz Jimenez Salim diperbarui 15 Apr 2019, 14:06 WIB
Diterbitkan 15 Apr 2019, 14:06 WIB
[Cek Fakta] Hak Suara Orang Dengan Gangguan Jiwa
[Cek Fakta] Hak Suara Orang Dengan Gangguan Jiwa

Liputan6.com, Jakarta - Kabar tentang orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang difasilitasi pemerintah untuk menggunakan hak suaranya pada Pemilu Serentak 2019 beredar luas di media sosial.

Kabar ini tersebar dalam sebuah gambar yang memperlihatkan ODGJ tengah mengantre dalam sebuah kegiatan. Beberapa di antaranya terlihat tengah didata oleh petugas.

Gambar ini kemudian dikaitkan dengan dugaan adanya upaya pemerintah yang sengaja memfasilitasi ODGJ untuk menggunakan hak suaranya. Sehingga capres cawapres tertentu bisa memenangkan Pemilu Serentak 2019.

Kabar ini seperti yang diunggah oleh akun facebook Prasetia Ridwan pada 10 April 2019. Dalam unggahannya akun ini juga menambahkan sebuah narasi.

"Orang2 gila didata buat nyoblos dan difasilitasi E-KTP.Ruaarrr biasah 🙈😜😅😅Hanya terjadi direzim jae kowi," tulis Prasetia Ridwan.

Konten yang diunggah Prasetua Ridwan telah 10.087 kali dibagikan dan mendapat 39 komentar warganet

 

Penelusuran Fakta

Dari penelusuran, ODGJ memang mendapat hak suara yang sama dengan masyarakat lainnya. Ketua KPU Arief Budiman sudah meluruskan kabar tersebut.

Hal ini sebagaimana dikutip dari situs merdeka.com dengan judul artikel 'Penjelasan Ketua KPU Soal Orang Gangguan Jiwa Punya Hak Pilih di Pemilu 2019'.

Merdeka.com - Orang dengan gangguan kejiwaan disarankan tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga tidak setuju bila orang dengan gangguan jiwa diberikan hak pilih dalam Pemilu. Alasannya, orang yang mengalami gangguan jiwa bisa asal-asalan mencoblos dan tidak mengetahui siapa yang mereka pilih.

Ketua KPU Arief Budiman hanya berpedoman pada Undang-Undang Pemilu. Disebutkan bahwa warga yang sudah berusia 17 tahun atau sudah menikah, bukan TNI dan Polri serta tak dicabut hak politiknya, wajib masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dengan kata lain, memiliki hak suara. Penyandang disabilitas juga memiliki hak suara. Gangguan jiwa termasuk dalam penyandang disabilitas.

"Tidak pernah ada istilah menggunakan orang gila. Itu tidak ada. Disabilitas itu macam-macam, salah satunya gangguan jiwa," ujar Arief Budiman di Gedung KPU RI, Senin (26/11).

Masuknya penyandang gangguan kejiwaan dalam DPT hanya sebagai bagian dari pendataan, sesuai amanat UU. Meski masuk dalam DPT, terbuka kemungkinan orang dengan gangguan jiwa tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pencoblosan. Namun, harus disertakan surat keterangan.

"Nah kalau pada hari pemungutan suara dia diberi keterangan karena saat itu tak mampu memilih, bisa karena sakit, atau macam-macam ya. Maka dia nanti tidak akan menggunakan hak pilihnya. Dianggap tidak mampu."

Pihaknya akan bekerja sama dengan berbagai pihak untuk melakukan pendataan pasien disabilitas. Kerja sama tidak hanya dengan lembaga pemerintah, tapi juga organisasi masyarakat atau LSM.

Dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan, penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai pemilih, sebagai calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon Presiden/Wakil Presiden, sebagai calon anggota DPRD, dan sebagai Penyelenggara Pemilu.

Apabila ODGJ yang ingin menggunakan hak suaranya, harus melampirkan surat keterangan dari dokter. Syarat ini tertunang dalam Pasal 4 ayat 3 Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2018. Bunyi pasal tersebut yakni "Pemilih yang sedang terganggu jiwa/ingatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai Pemilih, harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter."

Fakta ini sebagaimana dikutip dari situs Liputan6.com dengan judul artikel 'HEADLINE: Kontroversi 3.500 Pemilih dengan Gangguan Jiwa di Pemilu 2019, Aturannya?'.

Komisioner KPU Hasyim Ashari menjelaskan, penyandang disabilitas mental didaftarkan sebagai pemilih karena merupakan bagian dari warga negara. Namun, karena memilih merupakan bagian dari tindakan hukum, maka pemilih itu harus cakap secara hukum.

"Jadi penggunaan hak pilih (penyandang disabilitas mental), harus mendapatkan surat keterangan dari dokter," ujar Hasyim kepada Liputan6.com.

Hal itu sesuai dengan Pasal 4 ayat 3 Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2018 yang berbunyi, "Pemilih yang sedang terganggu jiwa/ingatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai Pemilih, harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter."

Dalam Pasal 5 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga disebutkan, penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai pemilih, sebagai calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon Presiden/Wakil Presiden, sebagai calon anggota DPRD, dan sebagai Penyelenggara Pemilu.

Sementara foto yang disebarkan oleh akun tersebut, berasal dari dokumentasi kegiatan pendataan dan perekaman KTP Elektronik kepada penyandang gangguan jiwa, di Bekasi, Jawa Barat. Kegiatan itu dilakukan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Bekasi pada Selasa 9 April 2019 lalu.

Foto tersebut mirip dengan foto yang diunggah situs antarafoto.com dengan judul 'PENDATAAN DPK PEMILU PENYANDANG GANGGUAN JIWA'.

Petugas Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil melakukan proses pendataan dan perekaman KTP Elektronik kepada penyandang gangguan jiwa, di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (9/4/2019). Disdukcapil bersama KPU Kota Bekasi melakukan proses perekaman KTP Elektronik bagi penyandang gangguan jiwa atau disabilitas mental guna pengecekan data serta pemuktahiran untuk Daftar Pemilih Khusus (DPK) Pemilu 2019. ANTARA FOTO/Risky Andrianto/ama.

Kesimpulan Klaim

Kabar tentang pemerintah yang sengaja mengakomodir ODGJ menggunakan hak suaranya dalam Pemilu Serentak 2019 ternyata tidak benar.

Dalam aturan perundang-undangan, ODGJ memang mempunyai hak suara sama seperti masyarakat lainnya. Narasi yang dibangun dan disebarkan dalam kabar tersebut tidak sesuai dengan fakta sebenarnya.

Banner Cek Fakta: Salah
Banner Cek Fakta: Salah (Liputan6.com/Triyasni)

Tentang Cek Fakta Liputan6.com

Liputan6.com merupakan media terverifikasi Jaringan Periksa Fakta Internasional atau International Fact Checking Network (IFCN) bersama 49 media massa lainnya di seluruh dunia.

Kami juga bekerjasama dengan 21 media nasional dan lokal dalam cekfakta.com untuk memverifikasi berbagai informasi hoax yang tersebar di masyarakat.

Jika anda memiliki informasi seputar hoax yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan kepada tim CEK FAKTA Liputan6.com di email cekfakta.liputan6@kly.id.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya