Jurus untuk Anak Muda Hadapi Konten Negatif di Era Disrupsi Informasi

Era disrupsi informasi punya tantangan yang cukup kompleks bagi generasi muda, mulai dari masifnya sebaran konten yang belum terbukti kebenarannya, intolerasi, hingga ujaran kebencian.

oleh Rida Rasidi diperbarui 09 Nov 2023, 09:00 WIB
Diterbitkan 09 Nov 2023, 09:00 WIB
Ilustrasi penggunaan internet
Kepraktisan internet membuat penggunanya jadi lebih mudah untuk mengakses segala informasi

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Komunikonten, Hariqo Wibawa Satria, menjelaskan generasi muda Indonesia harus disiapkan agar mampu menyikapi era disrupsi informasi.

Cara menyiapkan anak muda di era disrupsi informasi ini tidak dengan mengimbau mereka untuk menghindari konten-konten negatif. Tetapi, dengan mengajak mereka untuk ikut serta dalam melakukan filtrasi informasi dan menangkal isu-isu negatif yang ditemukan.

“Setelah anak-anak muda ini kita siapkan, lalu kita ajak mereka untuk meng-counter isu-isu negatif yang bisa mereka temukan. Tidak hanya di media sosial, upaya ini harus disampaikan secara langsung, seperti di rumah ibadah dan sekolah,” jelasnya dikutip dari Antara (08/11/2023).

Upaya tersebut perlu dilakukan sebab menurutnya generasi muda bisa terpapar konten-konten negatif, baik di pertemuan online maupun offline.

Lebih lanjut, Hariqo menjelaskan, era disrupsi informasi yang sedang terjadi memiliki tantangan yang cukup kompleks bagi generasi muda. Masifnya sebaran konten yang belum terbukti jelas kebenarannya mengharuskan remaja memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih mumpuni dibandingkan dengan generasi sebelumnya.

Dengan begitu, mereka tidak akan mudah dipengaruhi konten negatif, seperti berita hoaks dan intoleransi yang dapat merusak kesatuan bangsa.

Ia menambahkan, faktor penyebab generasi muda yang radikal dan menyebarkan berita hoaks harus ditelusuri secara keseluruhan. Menurutnya, jika ada siswa yang menyebarkan berita hoaks, bukan hanya siswanya yang salah, tetapi harus diselidiki pula peran wali kelas dan kepala sekolahnya.

“Ibarat orang sakit di umur 25 tahun, harus dicek latar belakangnya kan? Waktu balitanya dia bagaimana gizinya, waktu kecil dia makan apa, kok tiba-tiba dia umur 25 tahun sudah rusak ginjalnya? Begitu pula dengan tendensi penyebaran berita bohong dan konten intoleransi. Dia harus dicek secara komprehensif. Kapan dan di mana dia masuk sekolah? Siapa saja guru sekolah dan guru ngajinya? Apakah dia pernah mendapatkan literasi yang terkait berita bohong selama ini? Kalau memang kepolisian mau mendalami, pasti akan sampai pada kesimpulan bahwa itu bukan 100 persen salah dari pelajar itu,” tegas Hariqo.

Dukungan Negara Diperlukan

Hariqo menjelaskan pelaku penyebaran berita bohong seringkali sudah dibentuk dalam satu sistem yang memang membuat nalarnya tidak terasah. Seolah-olah sejak lahir, lingkungan telah mencetaknya sebagai penyebar berita bohong.

Menurutnya, berita bohong tidak hanya berkaitan dengan otak, tetapi juga menyangkut kecerdasan mental dan kestabilan emosional.

“Orang yang terlatih secara emosional, serta pendewasaan dirinya baik, maka tidak akan tergoda untuk menyebarkan informasi yang tidak jelas asal-usulnya. Sebenarnya pola penyebaran berita bohong seperti ini sudah terjadi sejak dulu. Bedanya, sekarang lebih mudah untuk dilakukan, karena adanya media sosial,” jelasnya.

Pakar Komunikasi dan Media Sosial ini pun menambahkan, penangkalan berita bohong dan ujaran kebencian memerlukan dukungan dari negara agar bisa dilakukan secara berkelanjutan.

“Negara perlu hadir untuk memberikan dukungan kepada mereka secara konkret dan konsisten, sehingga semangat dan niat yang baik dari generasi muda Indonesia dalam menangkal intoleransi bisa dilakukan secara berkelanjutan,” imbuhnya.

Selanjutnya, ia berpesan untuk Indonesia di masa depan membentuk program yang serius , yang dapat mencetak generasi yang tidak hanya dewasa dalam bersikap, tetapi juga punya daya tahan terhadap berita bohong dan ujaran kebencian.

Tentang Cek Fakta Liputan6.com

Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.

Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi partner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.

Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.

Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya