Mitos dan Fakta Tentang Vaksin: Mengungkap Kebenaran di Balik Vaksinasi

Artikel ini mengupas tuntas berbagai mitos dan fakta seputar vaksin. Dari kekhawatiran tentang efek samping hingga klaim konspirasi, kami akan membahas dan mengklarifikasi informasi yang seringkali menyesatkan masyarakat. Dengan pemahaman yang lebih baik, diharapkan pembaca dapat membuat keputusan yang lebih informasional tentang vaksinasi.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 01 Agu 2024, 10:49 WIB
Diterbitkan 31 Jul 2024, 21:00 WIB
Ilustrasi vaksin Covid-19.
Ilustrasi vaksin Covid-19. (Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Vaksin telah menjadi salah satu alat kesehatan masyarakat paling efektif dalam sejarah medis. Mereka telah membantu mengendalikan dan bahkan memberantas penyakit yang pernah menjadi ancaman besar bagi populasi global. Namun, meskipun manfaat vaksinasi sudah terbukti, masih banyak mitos dan kesalahpahaman yang beredar di masyarakat. 

Berikut mitos dan fakta seputar vaksin yang beredar di tengah masyarakat.

Mitos 1: Vaksin Menyebabkan Autisme

Salah satu mitos paling meresahkan yang beredar adalah bahwa vaksin, khususnya vaksin Measles, Mumps, Rubella (MMR), dapat menyebabkan autisme.

Mitos ini berasal dari sebuah studi yang diterbitkan pada tahun 1998 oleh Andrew Wakefield yang kemudian ditemukan memiliki banyak kekurangan metodologis dan bias. Studi tersebut telah ditarik kembali oleh jurnal medis yang menerbitkannya, dan Wakefield kehilangan lisensi medisnya.

Fakta:

Banyak penelitian besar yang dilakukan oleh berbagai lembaga kesehatan di seluruh dunia, termasuk Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan World Health Organization (WHO), telah menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara vaksin MMR dan autisme. Vaksin aman dan efektif dalam mencegah penyakit serius.

Mitos 2: Vaksin Mengandung Bahan Berbahaya

Beberapa orang percaya bahwa vaksin mengandung bahan kimia berbahaya seperti merkuri, aluminium, dan formaldehida yang dapat menyebabkan masalah kesehatan.

Fakta:

Vaksin memang mengandung zat-zat tersebut, tetapi dalam jumlah yang sangat kecil dan aman. Misalnya, etilmerkuri yang digunakan dalam thimerosal (pengawet vaksin) berbeda dari metilmerkuri yang berbahaya. Etilmerkuri cepat dipecah dan dikeluarkan dari tubuh.

Aluminium dalam vaksin digunakan sebagai adjuvan untuk meningkatkan respons imun dan jumlahnya jauh lebih rendah daripada yang kita dapatkan dari makanan sehari-hari. Formaldehida, yang digunakan dalam proses pembuatan vaksin, juga ada dalam jumlah kecil yang aman dan bahkan diproduksi secara alami oleh tubuh manusia.

Mitos 3: Vaksin Tidak Efektif dan Penyakit Sudah Hilang

Beberapa orang berpendapat bahwa vaksin tidak efektif dan penyakit yang ditargetkan oleh vaksin sudah hilang, sehingga vaksinasi tidak lagi diperlukan.

Fakta:

Vaksin sangat efektif dalam mencegah penyakit. Misalnya, vaksin polio telah hampir memberantas penyakit polio di seluruh dunia. Namun, penyakit tersebut belum sepenuhnya hilang dan bisa kembali jika vaksinasi dihentikan.

Kekebalan kelompok (herd immunity) sangat penting untuk melindungi mereka yang tidak bisa divaksinasi, seperti bayi, orang tua, dan mereka yang memiliki sistem imun yang lemah.

Mitos 4: Vaksin Menyebabkan Efek Samping yang Serius

Kekhawatiran tentang efek samping serius dari vaksin sering menjadi alasan orang menolak vaksinasi.

Fakta:

Sebagian besar efek samping vaksin bersifat ringan dan sementara, seperti nyeri di tempat suntikan atau demam ringan. Efek samping serius sangat jarang terjadi. Manfaat vaksin jauh lebih besar daripada risiko potensialnya. Misalnya, risiko komplikasi serius dari penyakit campak jauh lebih besar daripada risiko efek samping dari vaksin campak.

Mitos 5: Vaksinasi Hanya Diperlukan untuk Anak-anak

Ada anggapan bahwa vaksinasi hanya penting untuk anak-anak dan orang dewasa tidak perlu divaksinasi.

Fakta:

Vaksinasi penting untuk semua kelompok usia. Orang dewasa juga memerlukan vaksinasi untuk melindungi diri mereka sendiri dan orang lain. Misalnya, vaksin flu dianjurkan setiap tahun untuk semua orang dewasa, dan vaksin tetanus perlu diperbarui setiap 10 tahun. Selain itu, beberapa vaksin, seperti Human Papillomavirus ( HPV), dianjurkan untuk remaja dan dewasa muda untuk mencegah kanker terkait HPV.

 

Mitos dan Fakta Berikutnya

Mitos 6: Vaksinasi Alamiah Lebih Baik daripada Vaksin

Beberapa orang percaya bahwa lebih baik mendapatkan kekebalan melalui infeksi alami daripada melalui vaksinasi.

Fakta:

Mendapatkan kekebalan melalui infeksi alami bisa sangat berbahaya dan berpotensi mematikan. Misalnya, penyakit seperti campak, difteri, dan pertusis (batuk rejan) bisa menyebabkan komplikasi serius dan kematian. Vaksin memberikan cara yang aman dan terkontrol untuk mendapatkan kekebalan tanpa risiko penyakit serius.

Mitos 7: Vaksin Hanya Menguntungkan Perusahaan Farmasi

Ada pandangan skeptis bahwa vaksinasi hanya menguntungkan perusahaan farmasi yang memproduksi vaksin.

Fakta:

Vaksinasi memberikan manfaat yang jauh lebih luas daripada keuntungan finansial bagi perusahaan farmasi. Vaksinasi membantu mengurangi beban penyakit, mencegah wabah, dan menghemat biaya perawatan kesehatan jangka panjang.

Banyak program vaksinasi didanai oleh pemerintah dan organisasi nirlaba untuk memastikan akses yang adil dan terjangkau bagi semua orang.

Mitos 8: Vaksinasi Dapat Ditunda Tanpa Risiko

Beberapa orang berpikir bahwa menunda vaksinasi tidak akan menimbulkan risiko.

Fakta:

Menunda vaksinasi dapat meningkatkan risiko terkena penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin. Misalnya, bayi yang belum divaksinasi penuh lebih rentan terhadap penyakit seperti pertusis, yang bisa sangat berbahaya bagi mereka.

Jadwal vaksinasi yang direkomendasikan telah dirancang untuk memberikan perlindungan optimal pada waktu yang tepat.

Mitos 9: Vaksinasi Tidak Diperlukan Jika Semua Orang Lain Sudah Divaksinasi

Ada anggapan bahwa jika sebagian besar orang sudah divaksinasi, individu tidak perlu divaksinasi karena sudah ada kekebalan kelompok.

Fakta:

Kekebalan kelompok hanya efektif jika sebagian besar populasi divaksinasi. Jika terlalu banyak orang menolak vaksinasi, kekebalan kelompok bisa hilang, dan penyakit bisa kembali menyebar. Setiap individu yang divaksinasi berkontribusi pada perlindungan keseluruhan masyarakat.

Mitos 10: Vaksinasi Bisa Mengubah DNA

Beberapa orang khawatir bahwa vaksin, terutama vaksin mRNA seperti vaksin COVID-19, bisa mengubah DNA manusia.

Fakta:

Vaksin mRNA tidak mengubah atau berinteraksi dengan DNA manusia. Vaksin mRNA bekerja dengan memberikan instruksi kepada sel-sel tubuh untuk menghasilkan protein yang memicu respons imun. Setelah instruksi ini digunakan, mRNA dipecah dan dibuang oleh tubuh. Tidak ada perubahan pada DNA yang terjadi.

Tentang Cek Fakta Liputan6.com

Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.

Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi partner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.

Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.

Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya