Liputan6.com, Jakarta - Selama seminggu belakangan di bulan Agustus, Ruchika Tandon, seorang ahli saraf berusia 44 tahun di salah satu rumah sakit terkemuka di India, terjerat dalam penyelidikan yang disebut kejahatan federal berisiko tinggi.
Dilansir dari BBC, ia terjerat oleh penipuan yang memanipulasi setiap gerakannya dan menguras seluruh tabungannya dan keluarganya.
Dengan kedok "penangkapan digital" istilah yang direkayasa oleh para pelakunya, Dr. Tandon dipaksa mengambil cuti dari pekerjaannya, mematuhi pengawasan dan instruksi tanpa hentidari orang-orang asing di telepon, yang membuatnya yakin bahwa dia sedang menjadi pusat penyelidikan yang serius.
Advertisement
Penipuan "penangkapan digital" melibatkan penipu yang menyamar sebagai petugas penegak hukum melalui panggilan video, mengancam korban dengan penangkapan atas tuduhan palsu, dan menekan mereka untuk mentransfer sejumlah besar uang.
Dalam kasus Dr. Tandon, penipu menguras uangnya dan keluarganya hampir 25 juta rupee baik itu dari seluruh rekening bank, reksa dana, dana pensiun, dan asuransi jiwa. Tabungan bertahun-tahun miliknya pun lenyap begitu saja.
Tidak hanya dia, menurut data resmi, warga India kehilangan lebih dari 1,2 juta rupee akibat tipuan "penangkapan digital" antara Januari dan April tahun ini.
Angka-angka ini hanya menyentuh permukaan, karena banyak korban tidak melaporkan kejahatan tersebut. Dana yang dicuri sering kali disalurkan ke rekening luar negeri atau dompet mata uang kripto. Lebih dari 40 persen penipuan telah ditelusuri kembali ke Myanmar, Kamboja, dan Laos.
Kasus penipuan ini dianggap sangat berbahaya. Tak heran Perdana Menteri Narendra Modi berbicara tentang penipuan tersebut dalam pidato radio bulanannya, Oktober lalu.
"Setiap kali Anda menerima panggilan seperti itu, jangan takut. Anda harus tahu bahwa tidak ada lembaga investigasi yang pernah menanyakan hal seperti ini melalui panggilan telepon atau panggilan video," katanya. India menghadapi berbagai kejahatan dunia maya, mulai dari investasi dan perdagangan palsu hingga penipuan kencan.
Namun, penipuan "penangkapan digital" ini tampak sangat rumit dan menyeramkan, direncanakan dengan cermat, tanpa henti, dan mengganggu setiap aspek kehidupan korban. Terkadang penipu mengungkap diri mereka selama panggilan video, sementara di waktu lain mereka tetap tersembunyi, hanya mengandalkan audio.
Pada hari pertama, penipu yang menyamar sebagai pejabat regulator telekomunikasi India menelepon Dr. Tandon yang berdomisili di Lucknow, dengan klaim bahwa nomor teleponnya akan diputus karena ada "22 pengaduan" pesan pelecehan yang dikirim dari nomor tersebut.
Beberapa saat kemudian, seorang pria yang mengaku sebagai perwira polisi senior datang. Ia menuduh korban menggunakan rekening bank bersama dengan ibunya untuk mencuci uang hasil perdagangan perempuan dan anak.
Di balik telepon, terdengar suara-suara yang mengagetkan, "Tangkap dia, tangkap dia! Polisi akan datang dalam lima menit untuk menangkapmu. Semua kantor polisi telah disiagakan," pria itu memperingatkan.
"Saya marah dan frustrasi. Saya terus mengatakan bahwa ini tidak mungkin benar," ujar Dr.Tandon mengenang.
Petugas itu tampak melunak, tetapi dengan nada tegas. Ia mengatakan badan detektif federal India, Biro Investigasi Pusat (CBI), akan mengambil alih karena ini adalah "masalah kerahasiaan nasional."
"Saya akan mencoba berbicara dan membujuk mereka agar tidak menahan Anda secara fisik. Namun, Anda harus berada dalam tahanan digital," ujarnya menegaskan.
Dr. Tandon menggunakan telepon fitur yang tidak memiliki fitur panggilan video, sehingga para penipu tidak dapat melanjutkan aksinya. Jadi, mereka memaksanya untuk pergi ke toko dan membeli telepon pintar.
Selama enam hari berikutnya, tiga pria dan seorang wanita, yang menyamar sebagai polisi dan seorang hakim, terus mengawasinya melalui Skype, sementara kamera telepon genggamnya terus menyala tanpa henti.
Mereka menyuruh membangunkan murid-muridnya di malam hari untuk membeli paket data tambahan agar penipuannya terus berlanjut. Ia diminta untuk meletakkan telepon di seluruh rumah, saat memasak, tidur, dan bahkan di luar kamar mandi untuk melacak setiap gerakannya.
Ia juga dipaksa berbohong kepada rumah sakit dan kerabatnya, dengan mengatakan bahwa ia terlalu sakit untuk bekerja atau bertemu siapa pun. Ketika pamannya datang berkunjung, mereka memerintahkannya untuk bersembunyi di bawah tempat tidur, dengan kamera telepon genggam menyala.
Selama seminggu penuh, Dr. Tandon menghadapi lebih dari 700 pertanyaan tentang kehidupan dan pekerjaannya, persidangan yang direkayasa, dokumen pengadilan yang dipalsukan, dan janji "jaminan" digital sebagai ganti tabungan seumur hidupnya.
Di pengadilan palsu itu, ia diperintahkan untuk mengenakan pakaian putih untuk "menunjukkan rasa hormat kepada hakim". Para penelepon telah mematikan video mereka, hanya menyisakan nama palsu dan lencana yang tampak asli yang ditampilkan di layar kosong.
Selama cobaan itu, para penipu bahkan berbicara kepada ibu Dr. Tandon yang berusia 70 tahun, mendesaknya untuk tetap diam "demi putrinya".
Ketika dokter itu berulang kali menangis di depan kamera, para penipu itu berkata kepadanya,"Tarik napas dalam-dalam dan rileks. Anda tidak melakukan pembunuhan. Anda hanya mencuci uang."
Dalam upaya putus asa untuk mendapatkan kebebasan, dia mentransfer seluruh tabungannya dari rekening bank yang berbeda ke rekening yang dikendalikan oleh para penipu, dengan keyakinan bahwa uangnya akan dikembalikan setelah "verifikasi pemerintah".
Namun, dia kehilangan segalanya. Para penelepon memutuskan sambungan telepon setelah transfer selesai.
Kembali bekerja setelah seminggu, Dr Tandon mencoba mencari istilah-istilah seperti "penahanan digital" dan "metode investigasi CBI baru" di internet.
Hal ini menyebabkan munculnya berita-berita di surat kabar yang merinci penipuan "penangkapan digital" serupa di seluruh negeri.
Dia tetap menolak untuk menerima bahwa dirinya adalah korban penipuan, dan bergegas ke kantor polisi, berharap bahwa "kantor polisi dan petugasnya nyata". Dr Tandon mengatakan dia mendatangi kantor polisi dengan perasaan cemas.
"Saya menerima telepon aneh selama berhari-hari," dia mencoba menjelaskan kepada pihak kepolisian.
Sebelum dia bisa berkata lebih lanjut, seorang petugas wanita menyela dengan tajam, "Apakah Anda sudah mentransfer uang?"
Di kantor polisi lain, "Saat mereka mendengar kasus saya, mereka mulai tertawa," Dr.Tandon kembali mengenang. "Ini sudah sangat umum sekarang," kata seorang polisi.
Lebih dari 500 km (310 mil) jauhnya di Delhi, penulis dan jurnalis Nilanjan Mukhopadhyay nyaris lolos dari penipuan pada bulan Juli.
Ia ditahan selama 28 jam dalam "penangkapan digital" karena para penipu mengklaim bahwa rekening banknya yang sudah tidak aktif telah digunakan untuk mencuci uang.
Kecurigaan Mukhopadhyay muncul ketika seorang penelepon bertanya kepadanya mengapa ia tidak mencairkan dana investasinya, bukan pertanyaan yang biasanya ditanyakan oleh seorang polisi melalui telepon.
Mukhopadhyay menyelinap dari ruang kerjanya, tempat para penipu mengawasinya di desktop-nya, dan berbicara sebentar dengan istrinya. Teman-temannya, yang waspada dengan pesannya, segera meminta istrinya untuk memutus sambungan modemnya, membebaskannya dari cengkeraman mereka.
"Saya menjadi budak digital hingga teman-teman saya mengungkap penipuan itu. Saya telah memindahkan dana saya ke rekening saya, siap untuk mentransfer semuanya kepada mereka. Saya merasa seperti orang bodoh ketika semuanya berakhir," kata Mukhopadhyay.
Kemajuan dalam menangkap penipu ini masih belum jelas, banyak korban frustrasi atas proses pengaduan yang lambat.
Atas hasil laporan Dr Tandon, polisi telah menangkap 18 tersangka, termasuk seorang wanita, dari seluruh India. Sekitar sepertiga dari uang yang dicuri telah dikembalikan dalam bentuk tunai dan disita di berbagai rekening bank.
Dia baru menerima 1,2 juta dari 25 juta rupee uanghasil jarahannya sejauh ini, itu adalah uang tunai yang berhasil dikembalikan. Petugas investigasi Deepak Kumar Singh mengatakan para penipu menjalankan operasi yang rumit.
"Para penipu adalah pria dan wanita terpelajar, fasih berbahasa Inggris dan berbagai bahasa India, termasuk lulusan teknik, pakar keamanan siber, dan profesional perbankan. Sebagian besar beroperasi melalui saluran Telegram," kata Tn. Singh, seorang pejabat senior kepolisian.
Para penyelidik yakin para penipu itu cerdik, menggunakan informasi yang ditargetkan dari media sosial korbannya.
"Mereka melacak Anda, mengumpulkan informasi pribadi, dan mengidentifikasi kelemahan Anda. Kemudian mereka menyerang dengan cepat, menggunakan pendekatan tabrak lari terhadap calon korban," kata Tn. Singh.
Para penipu itu tahu bahwa Mukhopadhyay adalah seorang jurnalis dan penulis, penulis biografi Perdana Menteri Modi.
Mereka tahu Dr. Tandon adalah seorang dokter dan pernah menghadiri sebuah konferensi di Goa. Mereka memiliki nomor identitas nasional biometrik.
Mukhopadhyay bertanya-tanya apakah mereka tahu bahwa dia termasuk di antara jurnalis yang rumahnya digerebek oleh polisi Delhi pada bulan Oktober 2023 sebagai bagian dari penyelidikan atas pendanaan NewsClick (Para kritikus mengecam tindakan itu sebagai serangan terhadap kebebasan pers, tuduhan yang dibantah oleh pemerintah.)
Mereka juga melakukan kesalahan. Penelepon Mukhopadhyay tidak menyadari berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencairkan dana, yang menimbulkan kecurigaannya. Hakim palsu Dr. Tandon, menyebut dirinya Hakim Dhananjay dan menunjukkan lencana palsu dengan gambar Ketua Mahkamah Agung Dhananjay Chandrachud yang baru saja pensiun.
Namun, karena kewalahan dengan momen itu, dia tidak menyadari petunjuknya. Dr Tandon kebingungan, berjuang untuk memisahkan kenyataan dari mimpi buruk yang telah merenggut hidupnya. Bahkan ketika dia mengajukan pengaduan ke polisi, dia bertanya-tanya, "Apakah kantor polisi itu juga palsu?"
Setiap panggilan telepon menimbulkan kecemasan baru, "Saat bekerja, saya terkadang merasa hampa, dipenuhi ketakutan. Siang hari terasa lebih baik, tetapi setelah senja, semuanya menjadi sulit. Saya mengalami mimpi buruk."
Tentang Cek Fakta Liputan6.com
Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.
Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi partner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.
Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.
Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.
Advertisement