Liputan6.com, Jakarta Seringkali, perang meletus karena pertikaian dan konflik para 'elit' penguasa yang mempunyai 'kebenaran'nya sendiri. Baik itu kebenaran akan keyakinannya, pun kebenaran akan wilayah mereka. Namun, yang akan selalu terjadi adalah berjuta-juta korban dari rakyat yang tak berdayalah, harga yang mereka bayarkan untuk perang dan pertikaian mereka. Dalam hal ini, anak-anak korban perang.
Sejarah mencatat kala Hitler dengan NAZI dan 'mimpi' pemurnian rasnya berkuasa di tanah Jerman. Jutaan anak-anak harus mengakhiri hidup mereka karena 'mimpi' gila Sang diktaktor tersebut. Lain lagi kisahnya bagi anak-anak korban perang di Vietnam, dalam buku The Sorrow of War. Generasi yang lahir setelah perang, terutama lahir dari keturunan para pelaku perang (parjurit Amerika) mereka dijuluki 'Amerasians' atau “children of the dust”. Setelah dewasa, anak-anak ini ada yang bersikap pasrah dan beranggapan hidup mereka memang terkutuk dari sejak dilahirkan.
Baca Juga
Dan kini, dunia tengah berhadapan dengan perang di negeri Timur Tengah. Pemberontakan dari para kelompok ekstrimis di Suriah yang mengakibatkan lebih dari 6,5 juta anak menderita karenanya. Puluhan ribu anak tewas, cacat badan, terusir dan alami trauma berat. Adakah tanya hadir dalam sejarah, tentang "Masa depan seperti apa yang akan mereka dapatkan dari kehidupan di tengah konflik perang tersebut?"
Advertisement
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini