Citizen6, Jakarta Tradisi halal bi halal seperti kita kenal sekarang bermula dari jauh hari. Dahulu kala, Mangkunegara 1 atau Raja Sambernyawa rutin mengadakan acara berkumpul seluruh keluarga kerajaan pasca Ramadhan. Dalam ruang tersebut, para punggawa dan semua orang di istana melakukan sungkem pada raja dan ratu. Namun kegiatan tersebut belum disebut dengan halal bi halal.
Lalu pada masa revolusi Indonesia pasca kemerdekaan, istilah halal bi halal digunakan. Pada mulanya, berawal dari kekhawatiran Soekarno melihat perpecahan yang menjadi gejala disintergerasi bangsa. Terjadinya beberapa pemberontakan seperti DI/TII dan PKI Madiun menjadi kegelisahan bagi Presiden RI pertama ini.
Pada pertengahan bulan Ramadhan, Soekarno memanggil Kyai Wahab untuk dimintai pendapat mengenai situasi politik yang tak sehat kala itu. Menjawab pertanyaan Soerkarno, Kyai Wahab lantas menjawab “Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah ‘halal bi halal’".
Advertisement
Atas pernyataan tersebut, pada hari raya Idul Fitri Soekarno kemudian mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk duduk bersama saling bersilaturahmi dan saling memaafkan. Keindahan pada hari kemenangan bahkan menjadi ruang untuk persatuan dan kesatuan bangsa. Bagaimana menurutmu? (Rn)