Ayah Dengarkan, Aku Ingin Bicara

Awalnya aku selalu berusaha menerima sikap ayah yang keras, mungkin itu sudah wataknya dalam mendidik kami, pikirku.

oleh Angga Utomo diperbarui 12 Mei 2016, 20:16 WIB
Diterbitkan 12 Mei 2016, 20:16 WIB
Ayah, Dengarkan Aku
Awalnya aku selalu berusaha menerima sikap ayah yang keras, mungkin itu sudah wataknya dalam mendidik kami, pikirku.

Campus CJ- Setiap Ayah, tentunya selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi keluarganya. Aku selalu merindukan sesuatu, hal yang paling kudamba-dambakan dalam hidupku. Selama lebih 20 tahun, aku masih belum mendapatkannya. Terkadang aku berpikir, apakah sebenarnya orang tuaku benar mencintaiku? Atau apakah aku yang telah salah menilai mereka selama ini.

Ayah, sosok yang keras. Memang ia keturunan Batak asli, inilah yang mungkin mempengaruhi sikapnya. Karena masa lalunya yang buruk, aku sebagai anaknya harus menanggung penderitaan yang sangat menyakitkan. Jangankan harta, saudara pun kini kami nyaris tak punya. Itulah alasan yang membuat Ayah dan Ibu selalu berpindah, merantau jauh dari keluarga mereka. Aku memang satu-satunya anak perempuan. Anak bungsu, dari empat bersaudara. Tapi aku dibesarkan seperti abang-abangku lainnya, tak ada kata ataupun masa untukku bermanja-manja.

Awalnya aku selalu berusaha menerima sikap ayah yang keras, mungkin itu sudah wataknya dalam mendidik kami, pikirku. Ternyata, setelah aku mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP), baru lah aku sadar bahwa Ayah memang tidak pernah peduli. Meskipun Ayah bekerja sebagai supir mobil besar, dan berpenghasilan lumayan, tetapi tampaknya ia tak mempedulikan pendidikan kami.

Buktinya, tak ada dari ketiga abangku yang mau melanjutkan sekolahnya hanya karena Ayah tak pernah peduli dengan biaya sekolah mereka. Dari situlah aku mulai berpikir, di dalam keluargaku setidaknya harus ada yang dapat meningkatkan harkat martabat keluarga ini. Semenjak itu, hidupku pun hanya berkutat di antara buku.

“Berprestasi, berprestasi, berprestasi,” itulah yang selalu menggebu di otakku. Karena dengan demikian, aku akan dapat beasiswa ataupun mampu memenuhi kebutuhan sekolahku sendiri. Meski aku berprestasi, sering mendapat juara umum, namun hal itu belum cukup untuk menyadarkan ayahku bahwa aku memang bersungguh-sungguh dalam belajar.

Melihat sikapnya yang dingin, pemarah, sering kasar kepada ibu, membuat aku kian membencinya. Selalu begitu, walau kini aku sudah beranjak ke pendidikan yang lebih tinggi, Sekolah Menengah Atas (SMA). Hingga suatu hari, Kepala Sekolah meminta Ayah untuk hadir di hari penerimaan raportku.

Baru sekali seumur hidupku, akhirnya Ayah peduli padaku. Tapi setelah itu, ia tak pernah mau tahu lagi. Padahal, yang kupersembahkan untuk Ayah adalah juara umum. Aku selalu membawa piala juara saat pulang ke rumah. Amarahku mulai memuncak, selama SMA aku harus mengajar les privat dan mengaji agar dapat membayar biaya SPP bulanan.

Aku tak pernah merepotkan Ayah, aku juga berprestasi, tapi kenapa Ayah tak kunjung mempedulikan aku? Ketika suatu hari, aku menanyakan pendapat pada Ayah mengenai tanggapannya jika aku kuliah. Dengan santai tanpa menoleh ke arahku, Ayah hanya menjawab bahwa ia tak tahu, ia mengatakan tak punya cukup uang untuk membiayai kuliahku. Rasa bahagiaku diterima di Perguruan Tinggi seakan hilang, buyar oleh ucapan yang kudengar dari tutur Ayah.

belajar mandiri

Aku pun mulai berusaha sendiri, memohon dana kesana-sini agar bisa kuliah. Ketika itu, aku tak berpikiran apa-apa selain ingin jauh dari keluargaku. Tak peduli apakah aku bisa makan di rantau nanti, ataupun bagaimana kehidupanku nanti di pulau seberang? Aku tak menghiraukan semua itu, yang jelas aku berjanji akan meraih cita-citaku.

Meski tanpa dukungan orang tua dan keluarga. Beruntungnya, aku dapat bantuan dari guru-guru SMA yang sayang padaku. Mereka menyayangkan kalau aku tak melanjutkan studiku. Bantuan dari pihak sekolah, OSIS, SMP ku yang dulu, dan orang-orang yang tak bisa kusebutkan satu per satu.

Syukurnya, terkumpullah uang untuk ongkos dan biaya daftar ulang di awal. Dengan modal nekad dan semangat yang kuat, aku terbang sendiri ke Jakarta, tanpa diantarkan oleh siapa-siapa. Bahkan, Ibu tercinta, ia hanya mengantarku sampai depan pintu rumah saja. Untuk pertama kalinya aku berkelana jauh dari Sumatera ke Pulau Jawa.

Aku tertantang untuk membuktikan pada Ayah dan Ibu, suatu hari nanti aku akan membahagiakan mereka. Apapun yang terjadi, aku tak rela jika keluarga ini terus dihina hanya karena tak memiliki cukup harta. Sampai sekarang aku masih bingung, Ayah masih saja ogah-ogahan membiayai kuliahku.

Aku tahu, situasi ekonomi keluargaku kian hari kian memburuk. Namun aku selalu saja berharap, Ayah akan menjadi seperti ayah pada umumnya. Berusaha keras dan peduli pada nasib anaknya. Rasa benciku semakin membeludak, karena Ayah seakan tak peduli dengan aku, anaknya yang selama ini tak pernah menuntut apa-apa.

Terkadang aku iri melihat teman sebayaku diantar jemput oleh keluarganya. Selalu ditelepon, ditanyai kabar dan kapan pulang ke kampung halaman. Meski begitu, aku merasa lebih nyaman begini. Tinggal sendiri, menangis sendiri, berjuang sendiri. Kalau memang Ayah tak bisa mengirim uang saku, aku tak pernah menuntutnya.

Ayah, andai kau tahu bahwa perjuangan anakmu ini hanya untukmu dan ibu. Ayah, andai kau tahu di sini aku selalu merindukan kasih sayang darimu dan juga Ibu. Ayah, andai kau tahu aku masih belum lupa semua perlakuan dingin yang kau lakukan pada anak-anakmu.

Ayah, aku di sini makan tak makan hanya untuk meraih cita-cita, agar bisa menjadi tulang punggung masa tuamu. Ayah, banyak kata yang ingin ku ungkapkan padamu dan juga ibu. Tapi jarak kita sangat jauh, sejak kecil Ayah dan Ibu selalu bertengkar. Ayah sibuk bekerja, hingga sebulan sekali pulang ke rumah. Ibu yang kau marahi, kabur dan meninggalkanku sendirian di rumah.

Ayah, aku sudah terbiasa dengan semua derita yang kau ajarkan sejak kecil. Apakah itu belum cukup bagimu Ayah? Apakah kau tak tahu bagaimana hatiku meronta dan berteriak seakan tak sanggup lagi menanggung beban hidup ini?.

Apakah kau tak merasakan bahwa anakmu ini lemah dan tak berdaya dalam kesendirian, sepi yang berkepanjangan Ayah? Aku terbiasa sendiri, semua serba sendiri. Masakan hangus dari tangan mungilku dulu tak pernah kau cicipi, cucian menumpuk setiap hari yang kuselesaikan dengan tangan mungilku tak pernah kau hargai?

Ayah, aku lelah. Abang-abang tak peduli padamu dan ibu, mereka benci terlahir di keluarga ini. Apakah kau juga mengajariku untuk selalu terus membencimu, seperti kebencian mereka kepadamu dan ibu? Ayah, banyak hal yang ingin ku ceritakan, tapi aku takut kau tak mau mendengarnya. Ayah, dengarkan aku Ayah.

 

Penulis :

Annisa Ramadhani - Politeknik Negeri Jakarta

Instagram :

@nheeza.ramadhan

 

Jadilah bagian dari Komunitas Campus CJ Liputan6.com dengan berbagi informasi & berita terkini melaluie-mail : campuscj6@gmail.com serta follow official instagram @campuscj6 untuk update informasi kegiatan-kegiatan offline kami.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya