Wow, Ada Tombak Pusaka di Pameran Pangeran Diponegoro

Museum Nasional Indonesia mengadakan Seminar Sejarah Pangeran Diponegoro pada Rabu, 18 Mei 2018. Salah satunya tombak pusaka Kyai Rondo.

oleh Fadjriah Nurdiarsih diperbarui 18 Mei 2016, 17:27 WIB
Diterbitkan 18 Mei 2016, 17:27 WIB
Museum Nasional Gelar Pameran Pangeran Diponegoro
Museum Nasional Indonesia mengadakan Seminar Sejarah Pameran Pangeran Diponegoro

Liputan6.com, Jakarta Museum Nasional Indonesia mengadakan Seminar Sejarah Pameran Pangeran Diponegoro (1785-1855) dan peluncuran buku kurator Rijkmuseum, Amsterdam, Dr. Harm Stevens, berjudul Bitter Spice: Indonesia and the Netherlands since 1600 (Nijmegen: Vantilt, 2015) pada Rabu, 18 Mei 2016. Seminar yang unik ini mengambil tema utama pusaka (benda sakral) sang pangeran sebagai warisan negara.

Pameran pusaka Diponegoro dari koleksi Museum Nasional berupa tombak (Kyai Rondo), pelana kuda, dan tongkat ziarah (Kyai Cokro). Menariknya, menurut pengamatan Liputan6.com, di sekeliling arena pameran dan koleksi benda pusaka dan benda-benda sakral ini, bertebaran bunga melati dan bunga-bunga lainnya. Wangi dari bebungaan ini membuat suasana yang tercipta menjadi mistis.

Pameran pusaka Diponegoro dari koleksi Museum Nasional ini terbuka untuk umum antara Kamis, 19 Mei dan Minggu, 22 Mei 2016. Sejarah Diponegoro dan Perang Jawa (1825-1830) dihidupkan melalui sejumlah film dokumenter, potret, dan surat asli sang pangeran Jawa yang kharismatik ini. Beberapa gambar berwarna Perang Jawa yang dibuat pelukis Jawa dalam buku Kedung Kebo, naskah Jawa yang berupa babad yang dibuat oleh seorang musuh terkemuka sang pangeran, Raden Tumenggung Cokronegoro I Bupati Perworejo, Bagelen (menjabat 1830-1862) juga ditampilkan.

Museum Nasional Indonesia mengadakan Seminar Sejarah Pameran Pangeran Diponegoro

Tombak pusaka Diponegoro bernama Kyai Rondo diperkirakan berasal dari sekitar sebelum 1825, berbahan kayu, anyaman, emas, berlian, besi bertatahkan meteorit. Tombak ini merupakan senjata pusaka kesayangannya. Tombak ini dianggapnya suci, memberikan perlindungan dan peringatan (wangsit) akan datangnya bahaya. Pada 11 November 1829 saat Pangeran Diponegoro kehilangan senjata tersebut, saat itu pula ia disergap di Pegunungan Gowong oleh Pasukan Gerak Cepat ke-11 di bawah pimpinan Mayor A.V. Michiels.

Hilangnya Kyai Rondo sangat mempengaruhi Diponegoro. Bahkan, ia menganggap hal tersebut sebagai tanda bahwa ia telah dikhianati oleh tiga pemimpin yang paling dipercayainya di Mataram. Tombak pusaka, yang hendak diwariskan kepada putra tertuanya, kemudian dikirimkan kepada Raja Belanda, Willem I (1813-1840) bersama dengan pelana kudanya sebagai pampasan perang dan akhirnya dikembalikan kepada Indonesia oleh Ratu Juliana (1948-1980) pada tahun 1978 di bawah ketentuan Kesepakatan Budaya Belanda-Indonesia tahun 1968.

Kepala Museum Nasional Dra Intan Mardiana dalam sambutannya menyatakan pengembalian pusaka Diponegoro terakhir dilakukan tahun lalu atas jasa Dr Harms Stevens dari Rijkmuseum Amsterdam. Dalam sambutannya ia mengatakan, “Ini sangat menggembirakan sebab pameran dan seminar yang unik ini merupakan sebuah awal dari program koorperasi baru yang sangat menjanjikan antara Museum Nasional Indonesia dan Rijkmuseum di Amsterdam. Kita banyak berterima kasih kepada teman dan kolega kita dari Belanda.”

Yang juga menarik, selain benda-benda pusaka, dalam pameran ini turut ditampilkan foto surat tulisan tangan Pangeran Diponegoro. Berdasarkan kesaksian pengiringnya, saat di Batavia sebelum berangkat ke pengasingan di Manado pada 3 Mei 1830, sang pangeran sempat menulis surat untuk ibundanya dan anaknya. Ini adalah surat yang diketahui satu-satunya ditulis sendiri oleh Pangeran Diponegoro dengan tangannya dan bukan dengan jasa seorang juru tulis.

Museum Nasional Indonesia mengadakan Seminar Sejarah Pameran Pangeran Diponegoro

Tulisannya penuh dengan kesalahan tata bahasa, pengulangan aksara di beberapa bagian—semuanya memperkuat pengakuan Diponegoro kepada pasukan pengawal militer Jermannya, Letda Justus Heinrich Knoerle (1796-1833) bahwa “tulisannya dalam bahasa Jawa jelek sekali”. Aslinya surat ini ditulis di kertas gubernemen dan ditemukan di antara tumpukan surat-menyurat Bupati Jawa, komandan pos tentara, dan pejabat Belanda yang berkaitan dengan Perang Jawa (1825-1830) dalam Arsip Akademi Militer Kerajaan di Breda.

Pameran yang dilangsungkan dalam rangka memperingati Hari Museum Internasional ini diharapkan bisa mendekatkan museum kepada masyarakat sekaligus memberikan inspirasi dari apa yang telah dilakukan oleh Pangeran Diponegoro serta mengajak generasi muda untuk menghargai sejarah dan mengabdi kepada bangsa.

**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya