KOLOM BAHASA: Pasca- dan Kebingungan Penulisan Bentuk Terikat

'Pasca-' rupanya telah menjadi semacam fenomena tersendiri dalam bahasa Indonesia.

oleh Hotnida Novita Sary diperbarui 21 Jan 2017, 09:02 WIB
Diterbitkan 21 Jan 2017, 09:02 WIB
Kolom Bahasa
Dalam bahasa Indonesia ada kata-kata yang memiliki arti hampir serupa.

Liputan6.com, Jakarta “Pasca-“ rupanya telah menjadi semacam fenomena tersendiri dalam bahasa Indonesia. Mungkin tiga atau empat dekade yang lalu penggunaan “pasca-“ masih jarang dipakai di media massa kita. Bentukan yang digunakan saat itu lebih banyak “usai” atau “setelah”.

Namun, tampaknya masa reformasi mengubah banyak hal dalam kehidupan, tak hanya dalam politik, tapi juga urusan kebahasaan. Kalau sebelumnya "pasca-" hanya banyak digunakan dalam bentukan “pascasarjana” atau “pasca-Perang Dunia”, kini kita melihat bentukan “pascamelahirkan”, “pascadebat”, bahkan “pascamotoran telanjang”! Celakanya, penggunaan “pasca-” diikuti oleh ketidakkonsistenan (bisa juga disebut kebingungan) penulisan.

Banyak yang salah kaprah dengan mengira bentuk “pasca-” berasal dari bahasa Inggris “post-“. Keduanya memang memiliki makna ‘setelah, sesudah’. Misalnya “postgraduate” dan “pascasarjana”. Oleh karena anggapan itu pula, banyak yang melafalkan “pasca” menjadi “paska”. Mirip ketika kita mengindonesiakan "component" menjadi "komponen". Misalnya dalam sebuah berita televisi, sang anchor mengucapkan “paskapenggerebekan, para pelaku judi I diamankan di Polres Tulungagung”. Lama-lama tampaknya bisa membuat panas telinga.

Lalu kalau bukan dari bahasa Inggris atau bahasa Eropa lain, dari mana kata “pasca-“ kita dapatkan?

JS Badudu dalam Kamus Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia (2003) terdapat entri “pasca-“ yang dilengkapi dengan keterangan “Sans” yang bermakna berasal dari bahasa Sansekerta. “Pasca-“ menurut Badudu bermakna ‘sesudah, bakda (Arab)’, contoh pemakaian pascabedah (pengobatan), studi pascasarjana, dan situasi pascapanen.

Sementara itu, Kamus Dewan (Iskandar, 1984) juga telah memasukkan entri "pasca-". Uniknya, Kamus Dewan mengakui “pasca-“ sebagai kata serapan dari bahasa Indonesia, menambahkan keterangan “Id” di entri “pasca-“ yang bermakna ‘setelah’, contoh ~ mati ‘setelah mati’.

Sementara itu, menurut Badan Bahasa, "pasca-" adalah unsur terikat yang kita serap dari bahasa Sanskerta, yaitu pasca-. Badan Bahasa menambahkan, sebagai unsur terikat, penulisan pasca- juga digabung dengan unsur yang menyertainya. "Pasca-" dalam hal ini bermakna ‘sesudah’. Petunjuk lain mengenai etomologi “pasca-“ juga terdapat pada SEAlang.net yang bermakna ‘post-, after’; etimologi Sanskrit: paścā.

Tampaknya SEAlang.net dan Kamus Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia (2003) lebih dalam menelusuri asal kata “pasca-“, ketimbang Kamus Dewan. Kemungkinan lain, bentuk “pasca-“ sudah ada sangat lama digunakan dalam bahasa Indonesia sehingga terjadi kesalahkaprahan.

Jadi, oleh karena “pasca-“ merupakan serapan dari bahasa Sansekerta, bukan bahasa Inggris, kita tidak melafalkan huruf “c” sebagai “k” seperti yang dilakukan beberapa orang. Pelafalan “pasca-” tetaplah /pasca-/.

Selain itu, “pasca-“ sebagai unsur terikat juga ditulis serangkai dengan kata yang diikutinya. Seperti pascatsunami, pascapanen, dan pascareformasi. Dengan catatan, penulisan ditambahkan tanda hubung (-) ketika diikuti oleh kata yang berawalan huruf kapital. Misalnya pasca-Perang Dingin.

Lalu bagaimana dengan bentukan pascamelahirkan, pascaperampokan, pascapenembakan? Sudah tepatkah? Bentuk “pasca-” mewakili suatu kurun (rentang waktu) atau suatu konsep berkaitan dengan waktu. Keduanya tidak tepat dipakai untuk selalu menggantikan “setelah” atau “sesudah”, khususnya dalam rangkaian sebab-akibat.

“Pasca-“ cenderung digunakan untuk hal/peristiwa untuk hal-hal bersifat periodik (waktu) atau momentum yang sangat jarang terulang kembali. Misalnya, pascareformasi, pascatsunami, pascapanen. Nah, oleh karena melahirkan, penembakan, perampokan bukan sesuatu yang bersifat periodik atau momentum yang langka terjadi, jadi dapat menggunakan “setelah”, “usai”, atau “sesudah”.

Kesadaran penuh harus diterapkan para insan jurnalis yang menyampaikan berita lewat bahasa (baca: kata-kata). Jangan sampai apa yang dituliskan justru menimbulkan kebingungan atau bahkan ketidakefektifan.

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya