Nasi Goreng Lomba 17-an Itu Ludes Sebelum Disajikan ke Guru

Cerita 17-an ini membuat kami dheg-dheg sekaligus tertawa. Bakal terkenang sepanjang masa

oleh Liputan6.com diperbarui 18 Agu 2017, 17:16 WIB
Diterbitkan 18 Agu 2017, 17:16 WIB
Nasi goreng 17 Agustus
Cerita 17-an ini membuat kami dheg-dheg sekaligus tertawa. Bakal terkenang sepanjang masa/ Donda - SMAN 3 Sibolga

 

Liputan6.com, Jakarta Pagi itu, dalam suasana kemeriahan peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, Kamis (17/8) beberapa siswi salah satu sekolah menengah atas Sibolga, Sumatera Utara sibuk menyiapkan piring, menata meja belajar yang disulap jadi meja makan bak restoran bintang lima. Di atas meja, terhidanglah beberapa piring berisi nasi goreng beraroma menggoda. Rupanya, para siswa sedang lomba memasak nasi goreng antarkelas demi memeriahkan hari jadi negara kita, Republik Indonesia. Empat porsi nasi goreng terhidangkan dilengkapi empat gelas jus alpukat.

Gairah para pejuang kemerdekaan seolah membakar semangat kelas kami untuk memberikan yang terbaik pada lomba ini. Saat teman-teman menyiapkan nasi goreng bertabur jagung, udang dan ayam suwir, sulit bagi kami menahan godaan dan tak mencicipinya. Tampilan serta aroma nasi membuat perut serasa hendak berontak. Tapi kami coba tahan diri untuk tidak ‘menodai’ hidangan sebelum juri menilainya.

Selang beberapa waktu, penantian panjang berakhir. Dengan jantung berdebar tim juri yang terdiri dari beberapa guru masuk ruangan kelas. Saya ikut masuk menjawab pertanyaan juri seputar menu yang kami hidangkan. Mereka mulai menilai tampilan nasi goreng serta jus alpukat, kemudian mencicipi satu piring nasi goreng secara bergantian. Setelah itu, mereka diskusi sesaat, lalu melangkah keluar kelas.

Setelah tim juri keluar, saya keluar kelas dan dengan semangat memberi kabar pada teman-teman bahwa hanya satu dari empat porsi nasi goreng yang dicicipi tim juri. Masih tersisa tiga porsi bagi kami untuk dicicipi bersama. Teman-teman bersorak kegirangan sambil bertepuk tangan. Dengan antusias, anak-anak berhamburan masuk kelas sambil berteriak “serbuuuu…!!” bak pejuang kemerdekaan yang sedang maju perang menumpas penjajah di medan perang.

Dengan tertawa gembira, 30-an siswa berebut nasi goreng. Sendok demi sendok bergantian. Yang lain meraupnya langsung dengan tangan. Hiasan dengan tulisan nama kelas dan ucapan selamat hari kemerdekaan yang semula tertancap di atas nasi goreng sudah mendarat di tong sampah. Sisa persediaan nasi goreng di dalam lemari kelas pun akhirnya dikeluarkan. Dalam sekejap wadah baskom jadi sasaran serbuan berikut. Jus alpukat kami cicipi bergantian dari 4 gelas. Sungguh, tingkah kami bagai pengembara yang sudah seminggu terlantar kelaparan di gurun pasir.

Setelah tak ada lagi yang tersisa, kami langsung mencuci piring, gelas dan sendok kotor dan menyeka dengan lap sampai bersih. Ketika sedang menyusun peralatan makan, tiba-tiba ibu guru wali kelas kami masuk. Dengan panik, dia menanyakan mengapa nasi goreng dan jus yang kami buat tak kunjung diantar ke ruang guru?

Seketika kami semua terkesiap. Jantung berpacu kencang, bak si kancil yang tertangkap basah mencuri timun. Kami mengatakan bahwa tak ada pemberitahuan dari tim juri bahwa setelah dicicipi, nasi goreng tersebut harus diantar ke ruang guru. Dengan sangat takut kami beri tahu, semua nasi goreng beserta jusnya, tandas tak bersisa. Meledaklah amarah ibu guru. Katanya, para guru sedang makan bersama sekaligus menilai menu makanan yang dilombakan di ruang guru. Dia sudah malu dan memilih pulang, tidak ikut makan bersama di ruang guru.

Satu kelas merasa sangat bersalah dan takut. Seketika saat ibu wali kelas keluar, kami langsung merundingkan apa tindakan selanjutnya. Kami sepakat membeli empat porsi nasi goreng dari luar sekolah dan membeli buah alpukat utuh untuk dijus kembali dari kantong masing-masing. Segera dua orang teman pergi membeli segala keperluan.

Nasi goreng ditata ulang seperti sebelumnya, demikian juga minuman jus. Hiasan-hiasan yang sudah sempat masuk tong sampah terpaksa diambil lagi dan dibersihkan sembari berdoa agar kuman-kuman dari tong sampah tidak membuat para guru sakit perut. "Ya, Tuhan ampunilah kami,"batin saya. Lalu, kami antar hidangan itu ke kantor guru. Beruntung, makanan ini masih diterima meski disertai omelan lantaran terlalu lama datang.

Kami akhirnya bernapas lega walau masih merasa bersalah. Namun, sesampai di kelas, kami tertawa-tawa sampai sakit perut atas kejadian lucu nan mendebarkan itu. Sungguh, kejadian yang bakal terkenang sepanjang masa. (Donda H.T. Sihite)

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya