Liputan6.com, Jakarta Ilmu yang mempelajari soal naskah-naskah kuno alias filologi sering kali tidak diminati karena dianggap barang aneh. “Penelitinya orang-orang tua, penelitiannya lama dan berminggu-minggu filolog tidak keluar perpustakaan,” ujar Profesor Jan van der Putten dari Centre for the Study of Manuscript Cultures (CSMC) Universitas Hamburg, Jerman, di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Rabu (24/1/2018).
Baca Juga
Advertisement
Padahal, naskah adalah identitas budaya manusia. Dari naskah-naskah di masa lampau, banyak hal bisa dipelajari. Misalnya saja, catatan mengenai Perang Diponegoro yang menggetarkan Jawa itu didapat dari Babad Diponegoro yang ditulis oleh Pangeran Diponegoro sendiri saat dalam pengasingan di Fort Rotterdam, Makassar.
Belum lagi surat-menyurat yang memberi informasi perihal keuangan keraton atau resep dan teknik pengobatan yang masih diterapkan para pedanda di Bali. Naskah juga sering kali diperlakukan pusaka, utamanya bila dianggap memiliki tuah tertentu atau diperlakukan sebagai jimat.
Pengalaman menarik itu diungkapkan oleh Dr Munawar Cholil, Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), yang telah lama menekuni bidang filologi dalam acara yang sama, peluncuran DREAMSEA (Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts). Salah satunya ketika dia berkeliling Papua mencari naskah-naskah kuno untuk digitalisasikan.
“Papua sebenarnya tak memiliki tradisi tulis. Jadi, biasanya yang ada naskah Jawi, pengaruh Islam dari Ternate, Bugis, yang dibawa para transmigran. Waktu itu kami berkeliling ke Sorong, Fakfak, dan Misol, Raja Ampat,” ujar Kang Mumu, panggilan akrab Munawar.
Menurut Kang Mumu, ada yang unik dari tata cara perlakuan naskah di sana. Sebelum membuka naskah, dia harus mengikuti upacara adat dulu, membaca doa-doa dan diasapi, kemudian menyelipkan mahar yang besarannya terserah.
“Setelah itu baru kami diizinkan memotret naskah. Tapi sayang dia hanya punya satu. Jadi, upacaranya dua-tiga jam, tapi memotretnya setengah jam selesai,” ujarnya sambil tertawa.
Kang Mumu juga bercerita soal pemilik naskah yang memperlakukan naskahnya sebagai jimat. Naskah itu ditutupi dengan kain putih, kemudian dibukanya harus dengan upacara dan mahar juga.
“Namun karena banyak yang datang untuk memfoto, lama-lama dia sadar bahwa naskahnya punya nilai. Dan ini jadi masalah karena dipakai untuk kepentingan ekonomi,” dia menjelaskan.
Meski demikian, Kang Mumu juga tak memungkiri bahwa sulit memantau persebaran naskah di masyarakat. Sebab, naskah ada yang berpindah tangan, dijual, atau diwariskan. “Jadi meski sudah tercatat di katalog, bisa saja dua tahun kemudian kita cari lagi naskahnya sudah tidak ada,” ujarnya.
Manfaat Belajar Naskah Kuno
Dalam diskusi tersebut juga digarisbawahi bahwa orang masa kini lebih suka menggunakan naskah sebagai pusaka dan bukannya pustaka. Artinya, naskah disimpan begitu saja sebagai sebuah benda artefak. Padahal, banyak hal yang bisa dipelajari dari naskah. Misalnya, silsilah, sejarah, hingga ajaran budi pekerti. Salah satunya adalah Hikayat Kalillah dan Dimmah yang terkenal luas seantero Melayu dan merupakan saduran dari bahasa Arab. Melalui cerita fabel ini, banyak nilai moral yang bisa dijadikan pelajaran untuk anak-anak.
Selain itu, naskah ternyata juga bisa dipakai sebagai medium pembelajaran soal bencana. Trinirmalaningrum dari Perkumpulan Skala mengatakan, pihaknya menjadikan naskah-naskah kuno sebagai referensi penting yang relevan dengan kehidupan masa kini. “Kami membaca naskah kuno. Kalau bicara bencana, kami bicara masa lalu,” kata Rini, panggilan Trinirmalaningrum.
Dalam naskah Bo Sangaji Kai, kata Rini, disebutkan bahwa Gunung Rinjani adalah anak Gunung Salamas. Naskah itu juga menyebutkan adanya bantuan orang-orang Arab dan Tionghoa ketika penduduk Nusa Tenggara menghadapi bencana besar. Ia bilang, “Saya berharap naskah kuno dipromosikan secara masif untuk kesadaran bencana.”
Salah satunya di Jepang, ujar Rini, yang materi tanggap bencananya berdasarkan naskah kuno. “Di sana dari naskah dibuat dongeng untuk anak-anak soal tanggap bencana.”
Advertisement
Sudah Ada UU Pemajuan Kebudayaan
Dalam kesempatan yang sama Drs Suharja dari Subdit Sejarah menegaskan pentingnya pelestarian naskah untuk merawat keberagaman budaya Asia Tenggara. Hal ini pun sejalan dengan UU No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, termasuk naskah.
Suharja memaparkan, upaya stategis itu bisa didapat melalui program pelindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan melalui inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, penyelamatan, dan publikasi.
Senada, Kepala Perpustakaan Pusat Republik Indonesia Muh Syarif Bando, MM mengatakan, “Negara Indonesia dibangun oleh orang-orang yang suka membaca. Karena itulah perpustakaan menjadi jembatan pengetahuan untuk belajar dari masa lalu, masa kini, untuk meramalkan masa depan.”
Prof Jan van der Putten menjelaskan penyelamatan naskah-naskah di ASIA Tenggara didasarkan pada tradisi keagamaan dan falsafah, linguistik, serta geopolitik-historis. Naskah yang masuk kepada DREAMSEA akan dibagi menjadi naskah daratan dan kepulauan karena memiliki karakteristik yang berbeda.
Ia juga meminta agar digitalisasi yang akan dilakukan DREAMSEA, yang merupakan tindakan modern, tidak dipertentangkan dengan sifat naskah yang kuno. "Bahwa yang modern adalah yang serba baru dan tradisi yang serba kolot. Sebab, tradisi seharusnya menjadi rantai transmisi pengetahuan berlanjut," ujarnya.
Sesuai visinya, DREAMSEA berniat untuk mementingkan keserupaan dan kebersamaan. Selain itu, DREAMSEA menyadari masih banyak naskah yang tersimpan di masyarakat sebagai koleksi pribadi, misalnya di pura seperti di Bali, pesantren di Jawa, atau wihara di Thailand. DREAMSEA pun ingin menjaga keragaman Asia Tenggara, melestarikan budaya minoritas, dan memulihkan hubungan lama yang terputus akibat kolonialisme.
Akan Ada Katalog Bersama
Dalam acara tersebut diketahui bahwa selama ini belum ada katalog bersama yang memuat seluruh naskah di Nusantara. Kepala Perpustakaan Nasional Muh Syarif Bando pun berjanji akan segera menindaklanjutinya berupa pembuatan katalog bersama.
Bagi masyarakat yang ingin berpartisipasi, DREAMSEA mengajak Anda menginformasikan keberadaan naskah di sekitar melalui surel ke dreamsea.mss@gmail.com
Kriteria yang disyaratkan oleh DREAMSEA, antara lain manuskrip adalah tulisan tangan yang bernilai historis, berada dalam kondisi yang tidak terawat, berisi dokumentasi penting tentang keragaman budaya, diutamakan disimpan oleh masyarakat lokal, bukan institusi, belum pernah dilakukan digitalisasi oleh lembaga mana pun, dan bersedia untuk mempublikasikan manuskrip digital dalam repositori DREAMSEA.
Advertisement