Liputan6.com, Jakarta - Lesti Kejora mencabut laporan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan sang suami, Rizky Billar pada Kamis 13 Oktober 2022.
Kabar mengejutkan itu datang hanya beberapa jam setelah Rizky Billar ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus KDRT dan ditahan polisi.
Baca Juga
Sebelumnya, banyak warganet bersimpati kepada pelantun “Tirani” itu karena apa yang telah dialaminya. Lesti mendapatkan tindakan kekerasan dari Rizky Billar dan melaporkannya pada kepolisian pada Rabu 28 September 2022.
Advertisement
Lesti sempat mengalami kekerasan dari Billar seperti dibanting dan dicekik. Sontak warganet membela Lesti dan mendukung penuh Lesti yang melaporkan suaminya itu.
Akan tetapi, kini Lesti telah mencabut laporannya. Akankah hal itu memilki dampak untuk pedangdut tersebut?
Pencabutan laporan yang dilakukan oleh seorang korban kepada pelaku KDRT akan memiliki dampak baik internal maupun eksternal. Hal itu terjadi ketika banyak orang sudah mati-matian membela korban, tetapi korban malah memilih mencabut laporan.
Seorang psikolog, Ayoe Sutomo dari organisasi Tiga Generasi mengungkapkan, terdapat beberapa hal yang harus diwaspadai. Dia mengatakan, yang paling utama yakni kepada korban itu sendiri.
"Umumnya kekerasan dalam rumah tangga itu ada cycle of abuse, sesuatu yang memang berputar, nanti ada potensi yang sangat besar, banyak riset bahkan bilang potensinya besar untuk berulang,”"ujar Ayoe kepada Liputan6.com, Jumat (14/10/2022).
Kejadian yang Terus Berulang
Ayoe mengatakan, probabilitas atau peluang dengan skala yang lebih besar bisa saja terjadi cycle of abuse atau siklus penganiayaan.
"Dimulai dari yang marah banget, ada tension (ketegangan) yang kencang, kemudian itu tidak bisa tertangani dengan baik oleh pelaku, kemudian terjadilah kekerasan tersebut," ungkap Ayoe.
"Setelah terjadi kekerasan tersebut, kondisinya (pelaku) lebih tenang, tension-nya lebih tenang sehingga kemudian pelaku lebih calming, tenang. Setelah itu, menunjukkan kembali sikap kasih sayang, dan kemudian meminta maaf kepada korban," jelas Ayoe.
Ayoe menambahkan, setelah pelaku meminta maaf, tetap saja akan ada pemicu untuk terulang lagi. Hal itu karena dari yang namanya kehidupan relasi, rumah tangga, kemudian di dalam keseharian, sangat jarang sekali orang tidak berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tidak berkonflik atau tidak ada tekanan sama sekali.
Advertisement
Siklus Penganiayaan
Ayoe mengatakan, kejadian KDRT akan berulang yang pada akhirnya pelaku kekerasan akan meminta maaf.
"Makanya kalau berhadapan dengan situasi yang mungkin ‘kencang lagi’, secara emosi probabilitas untuk itu terjadi lagi, ngulang lagi, jadi tension atau tekanannya naik lagi, kemudian kencang lagi, habis itu melakukan kekerasan lagi, lalu sayang-sayang lagi karena merasa ‘oh iya ya sudah tenang, sudah calming akhirnya pelaku menyayangi korban lagi," tutur Ayoe.
"Satu lagi, pada akhirnya minta maaf. Berulang seperti itu," imbuhnya.
Ayoe menuturkan, secara teori dan riset, yang namanya kekerasan dalam rumah tangga itu ada cycle-nya. Kemudian, ada potensi berulang dan dengan skala yang bisa jadi lebih besar daripada yang sekarang.
"Itu sebenarnya yang harus jadi pertimbangan sesungguhnya oleh korban. ‘Siap tidak dalam konsekuensi ini? Sampai sejauh mana mau memberikan toleransi?’," ujar Ayoe.
Konsekuensi Sosial
Ayoe menambahkan, terlepas dari penilaian sosial, kemudian orang-orang sudah memberikan dukungan, tetapi pada akhirnya tidak dilaporkan atau dicabut, itu ada konsekuensi-konsekuensi sosial tertentu.
"Mungkin orang tidak lagi simpati, ada sentimen-sentimen atau penilaian-penilaian yang mungkin menjadi kurang oke lagi terhadap kondisi atau keputusan tersebut, tetapi itu semuanya eksternal, walaupun memang perlu dipertimbangkan," jelasnya.
Ayoe menekankan untuk lebih memberi perhatian pada kondisi korban.
"Mengingat, ini berpotensi untuk berulang, ini sebuah siklus yang berulang, lalu sampai sejauh mana mau memberikan toleransi dan sampai sejauh mana bisa menerima kondisi atau situasi ini," imbuh Ayoe menegaskan.
Advertisement