Pria di China Kerja 104 Hari Cuma Dapat Libur Sekali, Meninggal karena Gagal Organ

Seorang pria berusia 30 tahun di China timur meninggal karena gagal organ setelah 104 hari kerja berturut-turut dengan hanya satu hari istirahat.

oleh Sulung Lahitani diperbarui 08 Sep 2024, 17:10 WIB
Diterbitkan 08 Sep 2024, 17:10 WIB
Ilustrasi tekun, bekerja keras, lembur
Ilustrasi tekun, bekerja keras, lembur. (Image by ArthurHidden on Freepik)

Liputan6.com, Jakarta Budaya kerja China yang terlalu banyak bekerja kembali menjadi sorotan setelah seorang pria berusia 30 tahun di China timur meninggal karena gagal organ setelah 104 hari kerja berturut-turut dengan hanya satu hari istirahat.

Pengadilan di provinsi Zhejiang memutuskan bahwa perusahaan tersebut bertanggung jawab sebesar 20 persen atas kematian pria tersebut, yang diidentifikasi sebagai A'bao, lapor Guangzhou Daily.

Pengadilan menemukan bahwa A'bao meninggal karena gagal organ ganda akibat infeksi pneumokokus, yang sering dikaitkan dengan sistem kekebalan tubuh yang melemah.

Insiden tersebut telah memicu kemarahan yang meluas di China dan memicu perbincangan tentang bagaimana pekerja diperlakukan di negara tersebut.

Pada bulan Februari tahun lalu, A'bao menandatangani kontrak untuk bekerja sebagai pelukis untuk sebuah perusahaan yang namanya tidak diungkapkan oleh pengadilan. Kontrak tersebut dimaksudkan untuk berlangsung hingga Januari tahun ini. Ia kemudian ditugaskan ke sebuah proyek di Zhoushan di provinsi Zhejiang di China timur.

A’bao bekerja setiap hari selama 104 hari dari Februari hingga Mei tahun lalu setelah menandatangani kontrak, dengan hanya satu hari istirahat pada tanggal 6 April. Pada tanggal 25 Mei, ia mengambil cuti sakit karena merasa tidak enak badan dan menghabiskan hari itu untuk beristirahat di asramanya.

Pada tanggal 28 Mei, kondisi A’bao memburuk dengan cepat. Ia dilarikan ke rumah sakit oleh rekan-rekannya, di mana ia didiagnosis menderita infeksi paru-paru dan gagal napas. Ia meninggal pada tanggal 1 Juni.

Selama penyelidikan awal atas kematiannya, pejabat jaminan sosial mengatakan bahwa, karena lebih dari 48 jam telah berlalu antara sakitnya A’bao dan kematiannya, hal itu tidak dapat diklasifikasikan sebagai cedera terkait pekerjaan.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Keluarga mengajukan gugatan

[Bintang] Ilustrasi Stres Lembur
Jangan sampai kamu begini karena sering lembur ya! (Sumber Foto: SheKnows.com)

Keluarganya kemudian mengajukan gugatan untuk kompensasi, dengan tuduhan kelalaian perusahaan.

Sebagai tanggapan, perusahaan berpendapat bahwa beban kerja A’bao dapat dikelola dan bahwa setiap lembur bersifat sukarela. Mereka lebih lanjut berpendapat bahwa kematiannya disebabkan oleh masalah kesehatan yang sudah ada sebelumnya dan kurangnya intervensi medis yang tepat waktu, yang memperburuk kondisinya.

Pengadilan memutuskan bahwa kapasitas A'bao untuk bekerja selama 104 hari berturut-turut merupakan pelanggaran yang jelas terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan Tiongkok, yang mengamanatkan maksimal 8 jam kerja per hari dan rata-rata 44 jam per minggu.

Pengadilan memutuskan bahwa pelanggaran peraturan ketenagakerjaan oleh perusahaan memainkan peran penting dalam memburuknya sistem kekebalan tubuh A'bao dan akhirnya kematian, dengan menjadikan perusahaan bertanggung jawab sebesar 20 persen atas tragedi tersebut.

Pengadilan memberikan keluarga tersebut total 400.000 yuan atau sekitar Rp 872 juta sebagai kompensasi, termasuk Rp 21 juta untuk tekanan emosional yang disebabkan oleh kematian tersebut.

 


Perusahaan mengajukan banding

Ilustrasi Stres (Sumber: Freepik)
Ilustrasi Stres (Sumber: Freepik)

Perusahaan mengajukan banding atas putusan tersebut, tetapi Pengadilan Menengah Rakyat Zhoushan menguatkan putusan awal pada bulan Agustus.

Kasus tersebut memicu diskusi dan kemarahan yang meluas di media sosial Tiongkok.

"Melukis adalah pekerjaan yang secara inheren berbahaya bagi kesehatan kita. Pada usia 30, ia kehilangan nyawanya, dan keluarganya hancur. Pengadilan hanya memberikan Rp 872 juta. Yang lebih keterlaluan lagi adalah perusahaan tersebut mengajukan banding atas putusan awal, tidak menunjukkan simpati, kemanusiaan yang mendasar, atau refleksi diri,” tulis seseorang secara daring.

Orang lain menyuarakan hal yang sama: “Sungguh memilukan melihat ini. Bekerja seperti ini benar-benar menukar hidup seseorang dengan uang.”

Orang ketiga menulis: “Biaya pelanggaran hukum bagi perusahaan terlalu rendah, dan tampaknya undang-undang ketenagakerjaan hanya ada untuk mengekang para pekerja.”

 


Bukan insiden yang pertama

Ilustrasi stres, sedang dihadapi berbagai masalah hidup
Ilustrasi stres, sedang dihadapi berbagai masalah hidup. (Photo created by @wavebreakmedia_micro on www.freepik.com)

Kematian A’bao bukanlah insiden yang terisolasi, karena kematian tragis yang terkait dengan kondisi kerja yang keras di Tiongkok relatif umum terjadi.

Pada bulan Agustus 2019, seorang karyawan yang dikenal dengan nama samaran Zhu Bin meninggal tiba-tiba saat pulang kerja. Zhu kemudian diketahui telah bekerja sepanjang bulan Juli tanpa istirahat dan bekerja lembur selama 130 jam.

Pengadilan memutuskan bahwa majikan Zhu bertanggung jawab sebesar 30 persen atas kematian Zhu dan memerintahkan kompensasi sebesar 360.000 yuan atau sekitar Rp 785 juta.

Infografis Kemiskinan
Pemerintah telah menjalankan program-program untuk menurunkan angka kemiskinan.
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya