Liputan6.com, Jakarta Di tengah masyarakat Indonesia, sudah menjadi kebiasaan untuk memberikan amplop berisi uang saat menghadiri acara walimah atau tasyakuran, seperti pernikahan, khitanan, dan acara lainnya. Tradisi yang dikenal dengan sebutan amplop kondangan ini merupakan bentuk kebersamaan dan solidaritas sosial dalam menjaga hubungan persaudaraan.
Namun, penting untuk memahami bagaimana hukum amplop kondangan dalam perspektif fiqih Islam. Apakah pemberian tersebut dianggap sebagai hadiah (hibah) atau justru sebagai utang?
Jika dalam fiqih dianggap sebagai hadiah, maka penerima tidak memiliki kewajiban untuk mengembalikannya saat pemberi mengadakan acara serupa di kemudian hari. Sebaliknya, jika dianggap sebagai utang, maka penerima harus mengembalikan dalam jumlah yang sama ketika tiba gilirannya menggelar acara.
Advertisement
Lantas, bagaimana sebenarnya status hukum amplop kondangan dalam Islam? Apakah lebih condong ke hibah atau utang? Simak penjelasan lengkap yang dirangkum dari berbagai sumber pada Selasa (25/3/2025).
Pandangan Ulama Terkait Hukum Amplop Kondangan
Sebagian ulama berpendapat bahwa uang amplop kondangan memiliki status sebagai hutang, yang berarti penerima berkewajiban untuk mengembalikannya ketika pihak pemberi mengadakan acara serupa di lain waktu. Sementara itu, pendapat lain menyatakan bahwa uang amplop tersebut adalah hadiah biasa, sehingga tidak ada kewajiban bagi penerima untuk mengembalikannya.
Pendapat ketiga menyesuaikan status uang amplop dengan kebiasaan masyarakat setempat. Jika dalam suatu budaya atau lingkungan tidak ada tuntutan untuk mengembalikannya, maka uang tersebut dianggap sebagai pemberian murni atau hadiah. Namun, jika terdapat kebiasaan untuk saling membalas dalam acara yang serupa, maka uang amplop tersebut berstatus sebagai utang yang harus dikembalikan ketika pemberi menyelenggarakan walimah di masa mendatang.
Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abu Bakar Syatha dalam kitab I’anatut Thalibin berikut;
وَمَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ فِيْ زَمَانِنَا مِنْ دَفْعِ النُّقُوْطِ فِي الْأَفْرَاحِ لِصَاحِبِ الْفَرْحِ فِيْ يَدِهِ أَوْ يَدِ مَأْذُوْنِهِ هَلْ يَكُوْنُ هِبَّةً أَوْ قَرْضًا؟ أَطْلَقَ الثَّانِيَ جمْعٌ وَجَرَى عَلَى الْأَوَّلِ بَعْضُهُمْ..وَجَمَّعَ بَعْضُهُمْ بَيْنَهُمَا بِحَمْلِ الْأَوَّلِ عَلَى مَا إِذَا لَمْ يُعْتَدِ الرُّجُوُعُ وَيَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَشْخَاصِ وَالْمِقْدَارِ وَالْبِلَادِ وَالثَّانِيْ عَلَى مَا إِذَا اِعْتِيْدَ وَحَيْثُ عُلِمَ اخْتِلَافٌ تَعَيَّنَ مَا ذُكِرَ Artinya:
Kebiasaan yang berlaku di zaman kita, yaitu memberikan semacam uang dalam sebuah perayaan, baik secara langsung kepada tuan rumahnya atau kepada wakilnya, apakah semacam itu termasuk ketegori pemberian cuma-cuma atau dikategorikan sebagai utang? Mayoritas ulama memilih mengategorikannya sebagai utang.
Namun ulama lain lebih memilih untuk mengkategorikannya sebagai hibah atau pemberian cuma-cuma. Dari perbedaan pendapat ini para ulama mencari titik temu dan menggabungkan dua pendapat tersebut dengan kesimpulan bahwa status pemberian itu dihukumi pemberian cuma-cuma apabila kebiasaan di daerah itu tidak menuntut untuk dikembalikan.
Advertisement
Tradisi Lokal dan Hukum Memberi Amplop
Di berbagai daerah di Indonesia, memberikan amplop kondangan telah menjadi tradisi yang kuat. Namun, tradisi ini perlu dikaji lebih lanjut dalam konteks hukum Islam. Jika tradisi tersebut mengharuskan adanya balasan yang setara di kemudian hari, maka pemberian amplop tersebut lebih cenderung dianggap sebagai utang piutang, bukan sedekah.
Namun, jika tradisi tersebut lebih menekankan pada rasa kebersamaan dan saling membantu, maka hal tersebut dapat dimaklumi. Yang terpenting adalah menjaga niat agar tetap ikhlas dan menghindari ekspetasi balasan. Komunikasi yang baik dengan keluarga atau kerabat juga penting untuk menghindari kesalahpahaman.
Dalam konteks tradisi, penting untuk bijak dan memahami konteks sosial. Jangan sampai tradisi justru mengalahkan nilai-nilai keikhlasan dan kesederhanaan dalam Islam. Komunikasi yang terbuka dan jujur juga penting untuk menghindari kesalahpahaman dan menjaga silaturahmi.
Memberi Amplop Kosong dan dengan Uang Hasil Hutang
Memberikan amplop kosong tentu saja tidak dianjurkan. Hal ini dianggap tidak sopan dan dapat melukai perasaan tuan rumah. Lebih baik jujur dan menyampaikan keterbatasan finansial dengan sopan. Kejujuran lebih dihargai daripada pemberian yang dipaksakan.
Begitu pula dengan memberikan amplop berisi uang hasil hutang. Hal ini tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan beban finansial dan mengurangi nilai ibadah sedekah. Lebih baik memberi sesuai kemampuan dan dengan niat yang tulus. Jangan sampai pemberian amplop justru menambah masalah finansial.
Ingatlah bahwa memberi sedekah adalah ibadah yang mulia. Namun, sedekah yang baik adalah sedekah yang ikhlas dan tidak memberatkan diri sendiri. Lebih baik memberi sedikit dengan ikhlas daripada memberi banyak dengan terpaksa.
Memberikan amplop kondangan dalam Islam pada dasarnya adalah sunnah, namun hukumnya bisa berubah tergantung niat dan konteks sosial. Yang terpenting adalah keikhlasan dalam memberi dan menghindari niat yang dapat mengurangi nilai ibadah. Jika tradisi setempat mengharuskan adanya balasan, maka sebaiknya dipertimbangkan kembali dan dikomunikasikan dengan baik agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Kejujuran dan keterbukaan dalam menyampaikan keterbatasan finansial juga sangat penting.
Advertisement
