Liputan6.com, Jakarta Anak dan penyandang disabilitas adalah dua kelompok rentan terpapar COVID-19. Ini sejalan dengan pernyataan Ciput Purwianti Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Situasi Darurat dan Pornografi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Menurutnya, anak difabel memiliki kerentanan dua kali lipat dan membutuhkan pendampingan khusus.
Ia menyebutkan beberapa risiko utama pada anak difabel dalam masa pandemi COVID-19. Risiko-risiko tersebut antara lain kehilangan orangtua karena COVID-19 dan orangtua kehilangan mata pencaharian.
Baca Juga
Pandemi COVID-19 juga menimbulkan kesulitan anak dalam mengakses pendidikan yang berkualitas. Mengingat sekolah-sekolah tutup dan pembelajaran via daring belum tentu efektif untuk semua anak difabel.
Advertisement
“Penyandang disabilitas terputus akses ke layanan publik seperti layanan terapi, berbelanja, berkegiatan sosial, bahkan hingga sektor pendidikan karena ada pembatasan mobilitas. Sedangkan mereka membutuhkan terapi yang berkesinambungan, dengan pembatasan mobilitas maka akan menghambat perkembangan rehabilitasi mereka,” ujar Ciput dalam Media Talk Kemen PPPA, Jumat (3/7/2020).
Simak Video Berikut Ini:
Risiko Kekerasan Pada Anak
Risiko lainnya adalah kerentanan anak mendapatkan kekerasan dan eksploitasi. Situasi pandemi yang membuat segala sesuatunya sulit dapat memicu emosi orangtua dan tidak menutup kemungkinan kemarahan dilampiaskan pada anak.
Menurut Laporan Kasus Kekerasan Anak Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak pada 1 Januari hingga 19 Juni 2020 ada 2.454 anak perempuan dan 965 anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan. Dengan jumlah tertinggi adalah korban kekerasan seksual yang mencapai 1.848 anak dan korban kekerasan fisik di angka 852 anak.
“Untuk melindungi anak penyandang disabilitas, Gugus Tugas COVID-19 telah mengeluarkan Protokol Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas dalam Situasi Pandemi COVID-19,” ujar Ciput dalam webminar Kemen PPPA, Jumat (3/7/2020).
Protokol tersebut bertujuan memberikan dukungan, layanan, dan bantuan bagi anak penyandang disabilitas, baik yang berstatus tanpa gejala, dalam pemantauan, pasien dalam pengawasan, dan terkonfirmasi COVID-19.
Protokol ini merupakan salah satu dari lima protokol terkait perlindungan khusus anak yang telah disusun dan direkomendasikan Kemen PPPA kepada Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19.
Ciput menambahkan, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018 menunjukkan ada sejumlah 3,3% anak di Indonesia berusia 5-17 tahun yang menyandang disabilitas. Dalam upaya mencegah anak penyandang disabilitas tersebut dari paparan COVID-19 dan memenuhi hak-haknya, diperlukan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang mereka dengan mematuhi protokol perlindungan anak disabilitas dan protokol kesehatan yang ada.
“Upaya ini dapat dilakukan dengan melaksanakan protokol perlindungan anak disabilitas di empat lingkup pendampingan, yaitu di rumah oleh orangtua/wali/pendamping, di rumah sakit/layanan kesehatan oleh tenaga medis dan tenaga profesional.”
“Di panti oleh pemberi layanan sosial, serta melakukan koordinasi dan kerjasama dengan seluruh pihak yaitu Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, keluarga, petugas pemberi layanan sosial/medis, masyarakat, dan organisasi penyandang disabilitas,” pungkasnya.
Advertisement